Pendapat ulama dan KHI tentang perkawinan wanita hamil
- Ulama Hanafiyyah, berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil apabila yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamili wanita tersebut. Argument ini beralaskan karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk dalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi. Hal ini berdasarkan pada Q.S. An-Nisa' ayat 22, 23, 24.
- Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa hukumnya juga sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik itu yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya. Alasannya sama dengan pendapat Ulama Hanafiyyah ditambah karena akad nikah yang mereka lakukan itu hukumnya sah, dan halal hukumnya disetubuhi walaupun dalam keadaan hamil. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menganggap bahwa pernikahan itu dianggap sah karena tidak terikat dengan pernikahan lain (tidak ada masa iddahnya).
- Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita dalam keadaan hamil akibat zina, walaupun yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, apalagi yang bukan menghamilinya.
- Ulama Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya tidak sah menikahi wanita yang diketahui hamil karena berbuat zina, baik dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, terlebih-lebih dengan laki-laki yang menghamilinya. Kecuali wanita tersebut sudah memenuhi dua syarat berikut: pertama, telah habis masa iddahnya, yakni sampai ia melahirkan. Kedua, telah benar-benar bertaubat dari perbuatan zina.
Cara mencegah dan menghindari perceraian
- Menjaga komunikasi yang baik dengan pasangan
Kunci agar rumah tangga tetap harmonis adalah dengan menjaga komunikasi dengan pasangan. Ketika mampu berkomunikasi dengan baik maka kedepannya akan memudahkan dalam memahami pasangan dan menjadikan kita lebih terbuka serta jujur dengan pasangan.
- Menghargai pasangan dan memperlakukannya dengan baik
Tidak ada satu orang pun yang tidak ingin dihargai, apalagi pasangan. Dengan kita menghargai pasangan maka kita sendiri juga akan dihargai. Usahakan untuk selalu mengapresiasi hal-hal kecil yang pasangan lakukan untuk kita
- Menghindari tindakan kekerasan
Segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga tidak akan pernah dibenarkan apapun alasannya. Hal ini juga yang sering memicu perceraian. Maka dari itu jangan pernah melakukan kekerasan pada pasangan baik suami maupun istri.
- Memperbaiki kesalahan dengan tulus dan introspeksi diri
Ketika berbuat salah dengan pasangan sebisa mungkin untuk segera meminta maaf, agar selanjutnya tidak terjadi kesalah pahaman. Juga tidak lupa untuk senantiasa instropeksi diri agar tahu dimana letak salahnya.
- Senantiasa berdoa kepada Allah agar selalu dijaga keluarga dan rumah tangganya
Sekuat apapun kita berusaha menjaga rumah tangga kita, apabila tidak dibarengi dengan usaha dan berdoa kepada Allah maka tidak menutup kemungkinan akan mendapat musibah berupa perceraian. Maka dari itu kita harus senantiasa berdoa kepada Allah untuk meminta agar selalu dilingdungi rumah tangga dan keluarganya.
Ringkasan singkat dan inspirasi dari aktivitas review book
     Dari buku tulisan Rachmadi Usman yang berjudul "Hukum Perwakafan Di Indonesia" ini saya dapat menyimpulkan bahwa Menurut Undang-Undang Nomor 41 Pasal 1 Angka 1 Tahun 2004, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan Ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum dengan cara memisahkan sebagian harta milik dan dilembagakan untuk selama-lamanya bagi kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
      Dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Udang Pokok Agraria ini secara khusus berkenaan dengan perwakafan ditentukan, bahwa perwakafan tanah dilindungi dan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dan sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 49 Ayat (3) Undang-Udang Pokok Agraria tersebut, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang terbatas mengatur mengenai perwakafan tanah milik, karena dimaksudkan untuk menyempurnakan ketentuan perwakafan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial.
      Namun, dalam perkembangannya persoalan perwakafan pada umumnya diatur kembali dalam Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.  Yang mana dalam perspektif KHI tidak hanya terbatas pada tanah hak milik, tetapi juga benda lainnya, termasuk benda bergerak yang dapat diwakafkan. Dan seiring dengan dimungkinkan wakaf uang, ruang lingkup wakaf menjadi lebih luas, kini dapat mewakafkan sebagian kekayaan seseorang atau badan hukum berupa benda wakaf bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan inteletuak, dan benda bergerak lainnya. Maka untuk mengembangkan terkait perwakafan dan memenuhi kebutuhan hukum, dibentuklah ketentuan hukum yang mengatur mengenai perwakafan ini, yakni pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Yang ketentuan perwakafannya berdasarkan syariah dan peraturan perudang-udangan. Secara umum banyak hal baru dan berbeda yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang pembahasannya lebih luas dan luwes dibanding dengan undang-undang sebelumnya dan KHI.