Sambil menunggu proses administrasi aku menghubungi temanku yang suaminya baru saja dirawat di sana. Diapun merekomendasikan RS Karima Utama Kartasura, yang memang khusus tulang. Judulnya aku nggak mau berlama-lama. Sebagaimana saran teman-teman yang paham aktivitasku. O ya,sambil menahan ngilu di ruang IGD,aku mengkomunikasikan berbagai hal yang sudah aku sanggupi. Harus bagaimana, diganti siapa, ada solusi apa dan berbagai alternatif solusi lain yang harus ditempuh saat aku harus rehat.
Aku pulang untuk berbenah dan persiapan menuju tujuan ditemani adikku. Perjalananku ditemani adik ipar, suami tercinta dan kakakku. Alhamdulillah di lokasi sudah ditunggu temanku seprofesi yang merekomendasi tadi bersama suami yang kebetulan pas masuk jadwal kontrol karena kondisi serupa. Mereka berdua ibarat sepasang malaikat yang dikirim oleh Allah untuk membantu kami di rantau. Mereka selalu standby untuk kami. Tak ketinggalan teman-teman alumni Assalaam juga berkenan ngaruhke meski harus mencuri waktu. Beruntung bangsalku ada di dekat tempat parkir motor yang dipisahkan oleh pagar jeruji. Jadi, kami tetap bisa hose-hose berreuni ria. Tentu saja seijin perawat bangsal yang tetap mengingatkan padaku, "Di depan situ saja ya, Bu!". "Siiiap!", jawabku sigap.
Satu hal yang istimewa, di kota ini ternyata aku dipertemukan dengan guru literasiku, Bu Kanjeng dan suami. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan. Kamipun ngobrol tentang literasi dan PR yang masih menunggu. Demikian pula mbak Warits Elhakim temanku tadi yang siap membangun budaya literasi di kota bengawan ini. Selalu ada hikmah di setiap kejadian.
Begitulah, selalu ada teman di rantau orang.Baik seprofesi, seorganisasi, sealmamater selama mondok maupun kuliah atau orang-orang tercinta lainnya yang selama ini baru kukenal melalui dunia maya. Saat ada yang terlihat heran melihat kami, akupun tanggap dan kukatakan padanya,"Maklum saya alumni sini, jadi teman-teman pada nyamperi." "Iya, Bu. Sini saya fotokan!", sahut Pak Satpam melihat kerempongan kami ambil posisi berswafoto, tapi terhalang jeruji.
Terimakasih, ya Allah. Kau tegur aku dengan cara indah ini. Semoga aku bisa lebih baik, tak jumawa, sok strong dan aneka keangkuhan yang sering tanpa sadar  a kulakukan. Kumohon dengan sungguh-sungguh, segera sembuhkan dan pulihkan sakitku. Aku rindu mereka yang menungguku. Tak ketinggalan yang rindu dengan cerewet dan hebohku.
Terimakasih untuk semua doa dan supportnya . Jazakumullah khairan katsiran. Aamiin.
Khusus suami tercinta mas Latif Muntilan , terimakasih segala cinta dan sabarnya ya.
Kangen kaybord laptop, mau bawa dikomentari adikku," Astaghfirullah, isih mikir, leren sik!". Benar saja, ada saat aku benar-benar di-cencang, tak bisa apa-apa. Tangan kanan diinfus dan kiri digips. Sempat sih nulis di hp sambil antri dan mau posting ke Kompasiana, tapi terus diinfus. Hilang deh sebelum posting. Bismillah segera pulih. "Tangan patah, Bu! Itu operasi kecil, setengah jam selesai!", kata salah seorang perawat di ruang operasi yang membaca kekhawatiranku. Alhamdulillah, ternyata benar, seperti mimpi. Perasaan tadi masih di ruang antri, begitu bangun kok perban sudah diganti. Suara tuut tuut di layar khas ruang bedahpun terdengar bersautan. Masyaallah.Â
Baru diuji tidak bisa menggunakan dua tangan saja kita sudah sangat kerepotan. Â Bagaimana jika nikmat yang lain dikurangi? Apalah kita ini.
#Berjuangmenulislagi
#hikmahdibalikmusibah
Muntilan, 5 Juni 2021