Sejatinya kita hanyalah makhluk lemah tak berdaya. Apalah kita ini, jika dibandingkan dengan kuasa Allah yang maha segalanya. Kita cuma bisa berencana, tapi Allah-lah yang menentukan.
Akupun sangat menyadari hal itu, namun kadang lupa dan masih saja sok tangguh. Itulah yang kualami. Sepulang dari rumah ibu, sekitar pukul delapan malam  aku jatuh dan karena disenggol motor lain yang dikendarai emak-emak dengan dua penumpang dan bawaan yan cukup banyak. Lumayan, plat belakang lepas dan pelindung knalpot pecah karena nyangkut sayuran belanjaan. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya badan kecilku ini tertimpa motor Vario 125 SS yang lumayan gede. Tentu saja tubuhku pegel semua.
Suami sempat heran, kok lewat situ. Ya, itu memang jalan terpintas yang memang agak rusak. Kupikir karena belum terlalu malam dan ada beberapa PR yang sudah menunggu, sehingga aku memutuskan untuk melintasi jalan itu. Biasanya kalau sudah larut, aku memilih lewat jalan kota yang terang dan ramai meski harus ngalang.
Pagi harinya adalah hari pertama kerja dengan presensi finger print, setelah sebelumnya dilakukan secara online karena waspada penularan virus covid 19. Akupun bersiap lebih pagi. Seperti biasanya rencanaku dah thirik-thirik. Dari sini mau ke sana terus ke sana, ke mana lagi. Pokoknya full agenda. Hari ini aku berniat usai mencet mesin presensi aku mau servis motorku yang lumayan parah.Â
Kemudian melanjutkan perjalanan ke lokasi pembinaan Perkawinan atau Bimwin putaran pertama dengan juknis baru di Sawangan, kecamatan yang berada di seberang wilayah kerjaku. Akupun berencana nyambi di sela-sela jeda saat bertugas sebagai fasilitator kegiatan tersebut untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan yang kejar tayang dan terpancang deadline. Hal paling mendesak adalah finishing dua antologiku di mana aku bertugas sebagai kurator dan editor lapis satu.
Seperti biasa kalau waktu sudah mepet, aku parkir di depan kantor dan aku pun bersiap untuk itu. Namun, ketika melihat penunjuk waktu di motorku yang baru saja diganti karena selama ini sempat mati, tampak masih cukup waktu. Akupun mendadak berubah pikiran. Tanpa memperhatikan kelayakan medan, aku belokkan motorku ke parkiran. Ternyata aku terlalu mepet ke kiri, sehingga hilang keseimbangan. Motor oleng dan akupun jatuh lagi tertimpa motor. Kudengar suara krekkk dan seperti ada yang menjulur dari skoder jaketku. Aku mendadak ingat temanku yang pernah mengalami hal yang sama. Ternyata serem dan ngilu juga. Hiiiiii... Mataku berkunang-kunang. Teman-teman lari berhamburan dari kantor ketika mendengar teriakanku untuk menolongku. Begitu juga para tentara di kantor koramil sebelah.
Temanku yang tahu kejadian semalam mengatakan "Nopo Bu, kok tiba tibo wae?". Yaaah mungkin terlalu banyak kupikirkan. Allah punya cara untuk menghentikanku. Kepala kantorku mengatakan kalau tanganku retak bahkan patah.Disiapkanlah kayu penopang, kardus dan lakban untuk menahan tanganku.Aku sendiri dihibur sambil dielus-elus tangannya oleh  teman perempuan di ruang kerjaku. Sementara teman yang lain menyiapkan teh hangat untukku. "Nggak usah puasa,Bu! Ini untuk kekuatan", katanya.
Singkat cerita aku diantar teman-teman ke RS Aisyiyah Muntilan. Aku dirontgen dan hasilnya memang bikin miris. Patah tulang tak karuan. Bisa dipastikan karena aku terantuk buk pembatas selokan depan gerbang kantor plus tertimpa motor. Selama perjalanan banyak nasehat aku harus bagaimana. Ada beberapa alternatif pengobatan yang ditawarkan dan yang pasti dua opsi yang umum dipakai yakni alternatif melalui sangkal putung atau medis dengan operasi.
Bukan bermaksud mengabaikan usulan teman-teman terkait pengobatan alternatif yang populer tersebut, tapi aku sudah punya pengalaman tersendiri dari kasus ibuku. dulu ibuku mengalami hal yang sama persis denganku. Ibu takut operasi dan akhirnya dibawa ke sangkal putung. Â Apa yang terjadi? Ternyata tidak pulih dan eklek-eklek.Â
Mungkin faktor usia. Sebaliknya terkait medis, anak keduaku juga pernah mengalami, malah tangan kanan. Karena saat itu masih TK dan tulang masih muda, akhirmya digips tapi tidak dipasang pen. Hasilnya oke, meski aku harus ingat kalau menarik tangannya dari tidur, aku menghindari tangan kanannya. Khawatir lepas. Hahaha. Jadi geli, ternyata kami tiga generasi mengalami musibah yang sama. Ibuku, aku dan anakku. Sebuah tadzkirah yang luar biasa. Pengingat tentang kehati-hatian dan bagaimana kita harus pandai mengambil pelajaran.
Sambil menunggu proses administrasi aku menghubungi temanku yang suaminya baru saja dirawat di sana. Diapun merekomendasikan RS Karima Utama Kartasura, yang memang khusus tulang. Judulnya aku nggak mau berlama-lama. Sebagaimana saran teman-teman yang paham aktivitasku. O ya,sambil menahan ngilu di ruang IGD,aku mengkomunikasikan berbagai hal yang sudah aku sanggupi. Harus bagaimana, diganti siapa, ada solusi apa dan berbagai alternatif solusi lain yang harus ditempuh saat aku harus rehat.
Aku pulang untuk berbenah dan persiapan menuju tujuan ditemani adikku. Perjalananku ditemani adik ipar, suami tercinta dan kakakku. Alhamdulillah di lokasi sudah ditunggu temanku seprofesi yang merekomendasi tadi bersama suami yang kebetulan pas masuk jadwal kontrol karena kondisi serupa. Mereka berdua ibarat sepasang malaikat yang dikirim oleh Allah untuk membantu kami di rantau. Mereka selalu standby untuk kami. Tak ketinggalan teman-teman alumni Assalaam juga berkenan ngaruhke meski harus mencuri waktu. Beruntung bangsalku ada di dekat tempat parkir motor yang dipisahkan oleh pagar jeruji. Jadi, kami tetap bisa hose-hose berreuni ria. Tentu saja seijin perawat bangsal yang tetap mengingatkan padaku, "Di depan situ saja ya, Bu!". "Siiiap!", jawabku sigap.
Satu hal yang istimewa, di kota ini ternyata aku dipertemukan dengan guru literasiku, Bu Kanjeng dan suami. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan. Kamipun ngobrol tentang literasi dan PR yang masih menunggu. Demikian pula mbak Warits Elhakim temanku tadi yang siap membangun budaya literasi di kota bengawan ini. Selalu ada hikmah di setiap kejadian.
Begitulah, selalu ada teman di rantau orang.Baik seprofesi, seorganisasi, sealmamater selama mondok maupun kuliah atau orang-orang tercinta lainnya yang selama ini baru kukenal melalui dunia maya. Saat ada yang terlihat heran melihat kami, akupun tanggap dan kukatakan padanya,"Maklum saya alumni sini, jadi teman-teman pada nyamperi." "Iya, Bu. Sini saya fotokan!", sahut Pak Satpam melihat kerempongan kami ambil posisi berswafoto, tapi terhalang jeruji.
Terimakasih, ya Allah. Kau tegur aku dengan cara indah ini. Semoga aku bisa lebih baik, tak jumawa, sok strong dan aneka keangkuhan yang sering tanpa sadar  a kulakukan. Kumohon dengan sungguh-sungguh, segera sembuhkan dan pulihkan sakitku. Aku rindu mereka yang menungguku. Tak ketinggalan yang rindu dengan cerewet dan hebohku.
Terimakasih untuk semua doa dan supportnya . Jazakumullah khairan katsiran. Aamiin.
Khusus suami tercinta mas Latif Muntilan , terimakasih segala cinta dan sabarnya ya.
Kangen kaybord laptop, mau bawa dikomentari adikku," Astaghfirullah, isih mikir, leren sik!". Benar saja, ada saat aku benar-benar di-cencang, tak bisa apa-apa. Tangan kanan diinfus dan kiri digips. Sempat sih nulis di hp sambil antri dan mau posting ke Kompasiana, tapi terus diinfus. Hilang deh sebelum posting. Bismillah segera pulih. "Tangan patah, Bu! Itu operasi kecil, setengah jam selesai!", kata salah seorang perawat di ruang operasi yang membaca kekhawatiranku. Alhamdulillah, ternyata benar, seperti mimpi. Perasaan tadi masih di ruang antri, begitu bangun kok perban sudah diganti. Suara tuut tuut di layar khas ruang bedahpun terdengar bersautan. Masyaallah.Â
Baru diuji tidak bisa menggunakan dua tangan saja kita sudah sangat kerepotan. Â Bagaimana jika nikmat yang lain dikurangi? Apalah kita ini.
#Berjuangmenulislagi
#hikmahdibalikmusibah
Muntilan, 5 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H