Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menggagas Pesantren Humanis

22 Oktober 2020   16:17 Diperbarui: 23 Oktober 2020   19:05 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nggak ada mbak, pesantren yang humanis!"

Makjleb mendengar pernyataan sahabat saya ini beberapa tahun yang lalu. Benarkah tidak ada pesantren yang humanis? Saya lantas berusaha mengingat-ingat, bernostalgia, memutar waktu ke masa yang sudah dua puluhan takhun berlalu. Masa-masa saat saya tinggal di pesantren selama enam tahun. 

Sejak masih unyu-unyu, baru lulus Sekolah Dasar. Atau mengingat cerita beberapa teman tentang ketatnya aturan pesantren yang kadang jadi alasan untuk tidak betah dan ingin keluar, tidak mondok lagi. Tak ketinggalan cerita santri jaman now, anak-anak saya atau cerita teman sesama wali yang mempunya anak di pesantren.

Benar saja, saya jadi terbayang betapa malunya sorang santriwan yang harus keliling gelora yang memisahkan komplek putra dan putri. Berlari sendirian, kepalanya digundul tidak rapi, diberi tulisan bernada nyinyir terkait jenis pelanggarannya dan disaksikan santriwan dan santriwati. Mungkin secara lahir terlihat tegar bahkan tertawa, tapi bukankah tidak mungkin kalau hatinya menangis dan merasa sangat malu.

Saya juga teringat dan membayangkan betapa malunya seorang santriwati yang diarak sambil menyapu sepanjang  kompleks santriwati. Lehernya digantungi tulisan nyinyir 'pelanggar ulung'? Atau santri yang dipermalukan di depan jamaah sholat ashar, tampil di podium bukan untuk orasi atau membacakan pengumuman, namun diminta pengurus untuk membaca surat pernyataan atas pelanggarannya.

Belum lagi kalau bentuk pelanggarannya karena berhubungan dengan lawan jenis melalui surat, pelanggar akan diminta membacakan isi suratnya. Bisa dibayangkan seperti apa malunya.

Itu hanya sebagian dari berbagai bentuk 'iqab  atau hukuman yang diterapkan oleh pesantren yang dilakukan pengurus kepada para santri. Memang tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Aturan dibuat untuk ditaati. Ini berarti, kalau tidak taat, alias melanggar, harus diberi sanksi. 

Pernyataan ini berlaku hampir di seluruh pesantren. Bagi mereka yang taat, santri-santri yang sejak awal puya komitmen tinggi untuk menjadi santri, tentu hal ini menjadi motivasi untuk senantiasa tertib mematuhi aturan. 

Prinsipnya adalah aturan dibuat bukan untuk mengekang, namun untuk menjadikannya lebih baik. Namun tidak jarang, beberapa santri yang belum terbiasa dengan kedisiplinan, atau awalnya disiplin, tapi berteman dengan santri yang tidak takun dan terbiasa melanggar aturan, kondisinya menjadi berbeda. Bahkan melanggar aturan menjadi kebiasaan dan enjoy saja menjalaninya.

Nah, sebagai mantan santri dan punya anak yang juga nyantri tentu sangat memimpikan adanya pesantren yang mencambuk santrinya tidak hanya dengan cambukan fisik. Cambukan hati, mungkin akan lebih mengena dan mengesankan bagi santri untuk membuatnya kembali mematuhi aturan dengan suka rela. 

Berdasarkan pengalaman, kalau hukuman berupa kekerasan yang diberlakukan dengan alasan untuk membuat jera, seharusnya pelanggaran tidak terjadi pada santri yang sama. 

Tapi kenyataannya para pelanggar ternyata itu-itu saja. Dia lagi, dia lagi! Langganan. Mereka tidak lagi jera. Bahkan yang muncul justru perasaan tidak malu, tidak takut, bahkan bangga dengan pelanggarannya.

Ketika saya benar-benar dihadapkan dengan kewajiban mengurus santri, sayapun berpikir. Haruskah mereka saya perlakukan seperti saat saya menjadi santri? 

Dalam hal penanaman kedisiplinan, ketertiban beribadah, kemandirian, membiasakan berakhlakul karimah, saling peduli sesama teman tentu saja harga mati. Harus ditanamkan pada seluruh santri. 

Namun dalam memberikan sanksi ketika mereka melanggar, ini membutuhkan berbagai pertimbangan. Mengingat pesantren kami masih rintisan untuk melaksanakan amanah dari masyarakat dalam mendidik para santri.

Pengalaman mendapat hukuman atau menghukum saat menjadi santri, menjadi bahan pertimbangan untuk memunculkan ide baru terkait hal ini. Pengalaman dari curhatan para santri lama yang merasakan sakit hati dan malunya mendapatkan sanksi yang kurang mendidik dari tahun sebelumnya, tentu juga menjadi bahan pertimbangan. 

Belum lagi reaksi para wali yang 'tidak terima' dengan sanksi yang ditimpakan pada anaknya. Tentu akan sangat berpengaruh pada keberlangsungan kepercayaan masyarakat untuk memasukkah putra putrinya.

Akhirnya kami membuat kesepakatan dengan para santri dan ustadz ustadzah pendamping. Aturan dibuat bersama, untuk ditaati dan tentu saja tetap ada sanksi bagi mereka yang melanggar. Nah, sanksi inilah yang harus mendidik, namun tetap memberikan efek jera sehingga tidak akan mengulang lagi.tahfidz 

Karena di pesantren kami ada program Tahfidz Al qur'an, maka salah satu sanksi bagi mereka adalah setor hafalan Al Qur'an. Tidak boleh ada bullying di pesantren kami, meski kenyataannya masih saja ada yang curhat kalau diperlakukan tidak nyaman oleh temannya. 

Budaya senioritas di lembaga pendidikan harus dikikis habis. Tumbuhkan sikap "Yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua". Nasehat dari hati ke hati menjadi salah satu solusi, sebelum akhirnya perlu diadakan pembinaan dan pendampingan terkait menjalin hubungan baik sesama teman dam para asatidz.

Sanksi lain yang disepakati dan diberlakukan adalah yang berkaitan dengan kebersihan dan ketertiban. Membersihkan lingkungan, menguras bak air dalam kamar mandi dan hal lain yang berkaitan dengan kebersihan dan ketertiban menjadi alternatif . 

Selain bermanfaat bagi sesama, juga membantu meringankan mereka yang giliran jadwal piket kebersihan. Prinsipnya, buatlah mereka nyaman, senang dan krasan. Dan tentu saja para wali santri tidak khawatir lagi, namun sebaliknya mereka senang melihat anak-anak mereka lebih dewasa dan mandiri.

Perlu juga menjadi catatan, bahwa pemberlakuan sanksi dengan cara ini bukan berarti pesantren tidak tegas. Saat ada yang sudah diberi teguran, peringatan, didudukkan di depan pengasuh, disampaikan ke orangtua, tapi tidak ada perubahan, maka jalan terakhir yang mungkin dirasa berat harus dilakukan.

Kadang ada pihak yang galau dengan cara ini. Mau jadi apa. Pesantren tidak tegas. Kurang pengawasan dan lain sebagainya. Misalnya pernah ada kasus yang melanda anak-anak yang memang masanya puber. 

Apalagi kalau bukan urusan cinta. Bagi Sebagian orang mungkin ancaman untuk dikurung atau dipulangkan dirasa paling tepat. Biar nggak diam-diam janjian lagi. Hemmm santri juga manusia. Perlu sentuhan hati untuk memahami mana yang baik dan mana yang belum saatnya bagi anak seusianya. Yang dikurung hatinya, bukan orangnya. 

Saya  jadi teringat romantika cinta teman-teman di pondok dulu. Dari cinta di balik tabir gelora, cintaku berakhir di qismul amn, kasih tak sampai dan aneka kisah cinta seru lainnya. Yang dibutuhkan adalah pendampingan bagi mereka untuk mendewasa. Mana yang sebaiknya dilakukan, mana yang tidak.

Saatnya menunjukkan bahwa pesantren itu humanis. Pesantern itu penuh cinta dan kasih sayang. Pesantren bukan ladang hukuman. Pesantren juga bukan tempat untuk mengancam. 

Ingat, Santri juga manusia. Buat mereka gembira. Tanamkan cinta, cinta Allah dan cinta sesama. So, para orangtua tak perlu lagi khawatir anaknya jadi santri. Nyantri itu asyik. Nyantri itu menyenangkan. Santri itu keren.

#Bangga jadi santri. Bangga punya bapak santri. Bangga kakak beradik santri. Bangga punya anak santri. Bangga ngurusi santri. Selamat Hari Santri Nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun