Mohon tunggu...
Azizah Saputri
Azizah Saputri Mohon Tunggu... Wiraswasta - ~

Semua akan kembali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Itu Luka

16 Maret 2022   13:53 Diperbarui: 16 Maret 2022   13:54 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Secercah sinar pagi memancar dari balik bukit sepi. Menyelinap pada sela-sela jendela yang tertutup rapat, seolah mengintip cemas terhadap bayangan yang tak kunjung tergambar pada dinding-dinding lembab yang telah lama menampung kepiluan.


Kembali kutatap layar ponsel yang senyap. Lama. Namun ia tak kunjung berdering. Tak sampai di situ, aku mengangkat dan menggoyangkan benda tersebut ke langit-langit, mungkin saja gangguan sinyal membuat kabarmu tertunda padaku.


Sayang, semua hanya ilusi yang kejam. Suara paraumu kala itu kembali menghantui. Seakan  sekali lagi menegaskan, bahwa alasanmu untuk pergi bukan muluk-muluk. Lungkrah. Sedetik kemudian netraku buram, tertutup gumpalan kaca penyesalan.

***


Awal kisah sebelum benih-benih cinta itu bermekaran. Nirmala, sahabatku, berguyon tanpa kusadari ada maksud dibaliknya. Memperkenalkanmu, hingga akhirnya mengatur pertemuan yang mengundang debaran hebat di dalam sana.


Kalau kalian tanya bagaimana perasaanku kala itu, entahlah. Aku tak tahu. Bahkan untuk mengekspresikan rasa gejolak tersebut aku limbung. Rasa yang berhasil membuat rona merah menyemai di wajahku.


Syarif. Pria jangkung berhidung mancung, persis seperti apa yang kulihat pada foto yang dikirim Nirmala kala itu, kini sudah berada tepat di hadapanku. Meja persegi panjang menjadi saksi bisu kegemetaran dan dinginnya ujung-ujung jariku. Sesekali kau melirik, begitupun denganku yang diam-diam mencuri pandang. Aku yang tak percaya sesekali mencubit kulit, memastikan ini bukan halusinasi. Hingga satu waktu tatapan itu tak sengaja bertemu. Ah, debaran apa ini?


Berjalannya waktu, perbincangan semakin serius. Berbagai pertanyaan darimu membuatku semakin yakin, jikalau beberapa bulan kemudian statusku akan berubah. Ya! Menjadi seorang istri.


Kau menaruh iba, setelah mendengar latar belakangku sebagai anak brokenhome. Kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan kehidupanmu yang masih memiliki keluarga lengkap.


Posisiku sebagai anak sulung, kini menjadi penyangga kerapuhan rumah tangga yang hancur oleh orang ketiga. Hari-hariku hanya dihabiskan untuk beribadah, dan mencari nafkah, hingga membuatku tak tahu bagaimana rasanya berfoya-foya dan menikmati masa remaja.


Beberapa tahun setelah perceraian. Semua harta habis tergadai untuk menutupi lubang-lubang hutang selingkar pinggang. Hak-hak atasku dan keempat adikku habis dimakan oleh ketamakan wanita perebut cinta pertamaku yang tak ingin kusebut namanya.
Hingga pada akhirnya memutuskan untuk melanglang buana ke kota,  mengubah keadaan dan melupakan pahit dan getirnya masa lalu. Tidak ada yang dibawa, semuanya habis tak tersisa.


Kau semakin terkesima. Perlahan kau mendekat dan menatap lekat kedua bola mataku yang basah, seakan mengatakan kalau aku adalah wanita yang kuat, tegar dan wanita yang selama ini kau idamkan.


Seminggu sejak cerita panjang mengalir, semburat kerinduan semakin bergejolak. Lama kutunggu kabarmu. Namun entah. Kau sirna bagai mentari yang tenggelam dalam lautan luas. Senyap. Tak ada yang tahu. Bahkan Nirmala acuh tak acuh, menghindar, saat kutanyakan tentangmu.


Beberapa hari kemudian, aku di kagetkan dengan rumor yang beredar. Mengenai perjodohanmu. Sayang, bukan namaku dan namamu yang  menjadi bahan pembicaraan mereka. Namun wanita lain, yang dianggap lebih salihah dan lebih baik dariku.


Butir bening mengalir dari sudut mataku. Lidahku kelu untuk mengungkapkan semuanya. Hatiku remuk redam. Bahkan membuatku frustasi akan takdir yang telah digariskan untukku. Berkali-kali kuulang pertanyaan yang sama, berkali-kali pula aku dibuat gila. Apakah aku telah melakukan kesalahan? Apakah perkataanku menyinggung perasaanmu?


Malam itu, denting notifikasi mengalihkan perhatianku. Dengan sisa tenaga kuraih benda tersebut sebisa mungkin. Beberapa detik kemudian, mataku membulat sempurna. Nama pengirimnya tertera jelas di sana. Dan aku yakin mataku belum rabun, meski sudah berhari-hari habis dibanjiri air mata. Ya! Itu adalah kau.


Namun, harapan itu patah. Aku mengulum senyum, getir. Tanpa angin, tanpa hujan tiba-tiba kau memintaku untuk melupakan semuanya dan mengakhiri hubungan ini secara sepihak dengan alasan yang tak kumengerti. Orangtuamu tak merestui. Aneh. Bukankah mereka dulu juga yang bersikukuh untuk menjadikanku menantunya?
Mataku menatap kosong ke depan.

 Seandainya bisa memutar waktu. Tentu aku tak menginginkan pertemuan denganmu terjadi. Tapi apa mau dikata. Kau sudah berhasil mengaduk semua perasaanku, dan menghancurkannya bertubi-tubi.

***

Aku kembali termangu. Pikiranku kosong. Mataku sembab dengan kelopak yang membengkak. Tiba-tiba ada bisikan menguatkan dari dalam sanubari. Lalu entah kekuatan dari mana, ia mengajakku untuk melihat indahnya dunia luar yang selama ini aku terkungkung di dalam kamar mungil yang suram. Perlahan aku beringsut menuju jendela. Membuka selebar-lebarnya. Menyambut ceracau burung yang bersenandung indah di dahan pohon yang rapuh. Inilah kabahagiaan! Suara semangat itu kembali berbisik di telingaku.


Hari-hari berlalu. Aku yang dirundung malang mencoba bangkit. Kembali menetralkan pikiranku yang kalut. Bodoh sekali rasanya bila diingat. Saat aku tak bisa membandingkan cinta yang tulus dengan cinta yang bulus.


 Begitu sia rasanya hari-hariku habis untuk orang yang tak memperdulikanku. Sedangkan mereka, keluarga yang selalu ada dalam suka dan duka senantiasa tanpa pamrih memberikan cinta dan sayangnya kepadaku.


Dari sini aku mengerti. Bahwa meletakkan harapan kepada selain Maha Cinta akan sangat melelahkan. Selain menjadi pelajaran bagiku, masa lalu juga membuatku sadar bahwa hakikatnya hati setiap manusia ada pemiliknya. Dan tak ada harapan yang indah selain kepada Dzat yang Maha membolak-balikkan hati para hambaNya.

(Pandeglang, Januari 2022)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun