Mohon tunggu...
Azizah Meirizja
Azizah Meirizja Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis fenomena sosial

Terus berproses

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemunculan Tren Bersepeda pada Masyarakat yang Biasa Bersepeda

5 Juli 2021   09:18 Diperbarui: 5 Juli 2021   09:28 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Pada awal kemunculan virus Covid-19 di Indonesia, banyak narasi yang disampaikan tentang virus ini oleh pemerintah. Tentang bahaya atau tidak bahayanya virus ini, tentang ramalan bahwa orang Indonesia tidak akan terkena virus ini karena sering mengkonsumi jamu dan makan nasi kucing atau tentang virus ini bisa diatasi dengan cara berjemur di pagi hari dan sering berolahraga. Corona yang mewabah saat ini berhasil mempengaruhi banyak bidang industri di seluruh dunia, termasuk Indonesia, namun sepertinya virus ini membawa sedikit dampak positif bagi penjual peralatan tokoh olahraga, terkhusus para penjual sepeda.

Tren bersepeda sebenarnya sudah ada jauh sebelum pandemi Covid-19 ada di dunia ataupun di Indonesia. Kita tentu sering melihat di jalanan pada pagi hari orang-orang yang bersepeda untuk berangkat ke kantor dengan simbol berupa tulisan “Bike to Work” atau orang-orang di sekitar kita yang memang menggunakan sepeda untuk melakukan setiap aktivitas mereka, seperti; belanja, pergi ke kantor ataupun sekolah, untuk bermain, bahkan sampai berkumpul sesama para komunitas pesepeda. Namun dengan maraknya tren bersepeda, unggahan di media sosial, serta pelabelan atau pengelompokkan bahwa tren bersepeda hanya untuk mereka yang mempunyai uang, apakah ini masih disebut budaya seperti yang dikatakan Raymond Williams yang berlawanan dengan konsep estetis dan elitis tentang kebudayaan?

Pembahasan

Menurut Barker (2004:39), Raymond Williams mengembangkan suatu pehamanan yang menekankan karakter keseharian kebudayaan sebagai “keseluruhan cara hidup”. Secara ringkas menurut Raymond Williams kebudayaan dibentuk oleh makna dan praktik laki-laki dan perempuan biasa. Kebudayaan adalah pengalaman yang dihidupi:teks, praktik dan makna bagi semua orang ketika mereka menjalani hidupnya. Jadi, makna kebudayaan yang dihidupi harus dieksplorasi di dalam konteks syarat produksinya, sehingga menjadikan kebudayan sebagai “keseluruhan cara hidup”

Melihat tren bersepeda saat ini dan pandangan Raymond Williams yang menganggap bahwa kebudayaan adalah masalah remeh-temeh kehidupan sehari-hari, apakah bersepeda masih bisa dianggap sebagai bentuk kebudayaan seperti yang dikatakan oleh Raymond Williams?

Pemberitaan-pemberitaan di media sosial, televisi atau radio perihal; harga-harga mahal sepeda, konflik pesepeda dan pengguna jalan lain, serta opini yang mengatakan bahwa para pesepeda pada hari ini sangat arogan, seolah membentuk jarak atau gap antara pesepeda dan bukan pesepeda. Jarak atau gap antara pesepeda dan bukan pesepeda ini tidak jarang dikaitkan dengan konflik kelas (yang mempunyai banyak uang dan tidak). Menurut Bungin (2006:77) budaya massa bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak mengerucut di tingkat elite, namun apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini, maka itu bagian dari basis massa itu sendiri.

Tren bersepeda dengan harga-harga sepeda yang mencapai puluhan juta sempat menjadi pembahasan di berbagai lina masa selama masa pandemi ini. Berbagai opini bermunculan tentang fenomena ini; tentang seberapa berkualitasnya sepeda ini, tingkat urgensinya dan polemik yang memperdebatkan bahwa ketika banyak orang yang dalam garis kemiskinan semakin terjerat tapi tetap ada pasar di Indonesia untuk membeli sepeda ini.

Raymond Williams sendiri mendefinisikan kebudayaan sebagai “culture as ordinary life” (budaya sebagai kehidupan sehari-hari manusia), yang berarti segala aspek kehidupan manusia, baik dalam rupa tindakkan, benda-benda material, ide ataupun gagasan, maupun pemikiran manusia merupakan bagian dari kebudayaan. 

Raymond Williams disini menentang pemikiran Arnold dan Leavis yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu hal terbaik yang dipikirkan dan dikatakan di dunia ini oleh manusia dan kebudayaan sebagai proses seleksi tentang apa yang disebut dengan budaya tingkat tinggi atau budaya elite dan yang termasuk dalam budaya tingkat rendah yang dilakukan masyarakat biasa. Dari kritik Raymond Williams terhadap Arnold dan Leavis, Williams mendefinisikan segala aspek kehidupan manusia dapat dimaknai sebagai bentuk kebudayaan, segala bentuk representasi dan praktik kehidupan sehari-hari yang dapat diamati maupun dipelajari oleh masyarakat.

Pandangan Raymond Williams yang menentang pemisahan yang menyebutkan budaya tingkat tinggi atau budaya elite dan budaya tingkat rendah melahirkan pertanyaan apakah tren bersepeda (jika menurut Williams termasuk kebudayaan karena merupakan praktik kehidupan sehari-hari) justru membuat jarak dan memisahkan diri dengan apa yang disebut masyarakat biasa. 

Menurut Storey (2009: 1-2), Raymond Williams mengatakan bahwa kata budaya atau culture merupakan salah satu kata yang paling sulit didefinisikan dalam bahasa Inggris. Raymond Williams sendiri menyarankan tiga pengertian yang dapat digunakan untuk mengerti apa yang dimaksud dengan budaya, ketiganya itu adalah:

  • Sebuah proses umum dari intelektual, spiritual dan perkembangan estetika
  • Cara hidup yang khusus baik dari seorang manusia, suatu periode, ataupun suatu kelompok
  • Mengacu kepada karya-karya atau praktik intelektual yang khususnya kegiatan-kegiatan yang bersifat seni

Jika membahas pada poin kedua tentang pengertian budaya yang dijelaskan oleh Raymond Williams, tren bersepeda merupakan sebuah wujud aktivitas atau tindakkan. Wujud Aktivitas atau Tindakan adalah wujud kebudayaan yang berupa tindakan yang berpola dari manusia di dalam suatu masyarakat. Sering juga wujud ini dikatakan sebagai sistem sosial. Wujud ini terjadi karena interaksi manusia dengan manusia lainnya ataupun juga dengan lingkungannya. Sifatnya konkret dan dapat diamati ataupun didokumentasikan.

Jika mengacu pada pernyataan di atas, tren bersepeda yang mencuat pada era pandemi termasuk dalam kebudayaan, meskipun kemunculannya membuat segmentasi dan pengelompokkan kepada mereka yang memiliki uang untuk membeli dan tidak. 

Tren bersepeda ini jelas terjadi karena ada interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam komunitas yang mereka miliki, sehingga kita sering melihat mereka secara bersamaan melakukan aktivitasnya. Seperti juga yang dikatakan Raymond Williams tentang pengertian dari budaya, tren bersepeda ini sifatnya konkret dan dapat diamati ataupun didokumentasikan, sehingga tidak sedikit kita melihat unggahan pada segala media digital tentang tren bersepeda ini.

Lantas apakah tren bersepeda hanya terbatas untuk golongan masyarakat tertentu? Kemunculan tren bersepeda yang mahal memang seolah memunculkan dibanyak pemikiran masyarakat bahwa bersepeda hanya untuk beberapa golongan masyarakat tertentu. 

Namun jauh sebelum pandemi Covid-19 tren bersepeda telah ada, seperti; tren bike to work, mereka yang memang menggunakan sepeda untuk segala aktivitas, komunitas sepeda unik seperti lowrider, atau mereka yang mencari pemasukkan menggunakan sepeda. Meskipun terjadi pengelompokkan pada tren bersepeda ini, namun tren bersepeda ini tidak serta-merta menghilangkan kegiatan bersepeda sehari-hari yang telah dilakukan banyak orang.

 

Kesimpulan

Kemunculan tren bersepeda pada era pandemi memunculkan sentimen dan anggapan bahwa bersepeda hanya untuk kelompok tertentu. Tentu ini sangat berlawanan dengan apa yang dikatakan Raymond Williams bahwa kebudayaan tidak tertuju hanya pada kelompok elite. Namun tren ini tentu tidak menghilangkan kebiasaan bersepeda yang sudah ada sebelumnya dari kebudayaan seperti yang dikatakan Raymond Williams, yang bisa dilakukan oleh semua masyarakat, yang dilakukan berulang-ulang, dan masalah remeh-temeh kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Bantul: Kreasi Wacana

Bungin, M. Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Storey, John. 2009. Theory and Populer Culture An Introdution Fifth Edition. London: Pearson Longman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun