Saat artikel ini dibuat, artinya sudah 5 bulan setelah UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ditetapkan. Itu artinya, pada 01 April 2022 nilai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara resmi akan naik menjadi 11% yang semulanya 10%. Kemudian paling lambat akan naik menjadi 12% pada 01 Januari 2025.
Peraturan ini diatur pada BAB 4 pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pasal tersebut berbunyi:
(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
b. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Lantas, apakah dengan naiknya PPN menjadi 11% akan "menyengsarakan" rakyat dan "memanjakan" negara?
Mengacu pada BAB 1 pasal 1 ayat 2 huruf a UU HPP, UU ini dibentuk dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian.
Mengutip dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata tarif PPN di dunia (rata-rata tarif PPN dunia mencapai 15%). Sri Mulyani menambahkan bahwa kenaikan tarif yang dilakukan pemerintah tidak berlebihan, walaupun masih lebih rendah dibanding tarif pajak di negara lain.
Tujuannya bukan untuk menyusahkan rakyat, justru akan kembali lagi ke masyarakat. Kebijakan naiknya tarif PPN akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, contohnya untuk membangun sekolah, infrastruktur, subsidi LPG, subsidi Listrik. Oleh karena itu Sri Mulyani menegaskan bahwa kenaikan pajak untuk menjaga Indonesia dan tidak menyusahkan rakyat.
Tentu dengan naiknya PPN akan berpengaruh langsung kepada harga-harga yang dikenai PPN, Â namun disisi yang lain kita bisa melihat bahwa hal ini untuk meningkatkan penerimaan negara.
Tapi tenang, tidak semua barang dikenakan pajak. Barang seperti kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan pelayanan jasa sosial diberikan kebebasan PPN. Sehingga tidak perlu khawatir yang berlebihan mengenai kabar tarif PPN menjadi 11%.
Mari kita asumsikan sebuah minuman kemasan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) seharga Rp 13.500.
Apabila menggunakan tarif PPN sebesar 10%, kita tinggal tambahkan Rp 13.500 dengan 10% maka didapatkan hasil Rp 14.850. Sedangkan dengan tarif PPN sebesar 11%, harganya menjadi Rp 14.958.
Memang akan tetap ada kenaikan harga barang, namun tidak signifikan barang-barang akan menjadi mahal dan menyengsarakan masyarakat. Kenaikan ini masih dalam tahap wajar, mengingat hanya 1% kenaikannya dan perlu diingat tidak semua barang dikenakan PPN.
Melihat dari kebijakan tersebut, semoga side effect yang terjadi diharapkan tidak akan membuat masyarakat menjadi buntung, mengingat kita masih dalam keadaan pandemi dan kondisi ekonomi baru mulai berangsur pulih.
Dengan bertambahnya pendapatan negara melalui Pajak Pertambahan Nilai, diharapkan pemerintah mampu memberikan dampak yang positif ke depannya untuk bangsa Indonesia. Sehingga negara tidak terkesan hanya mencari "untung".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H