Mohon tunggu...
Aziz Abdul Ngashim
Aziz Abdul Ngashim Mohon Tunggu... Administrasi - pembaca tanda dan angka

suka dunia jurnalistik, sosial media strategy, kampanye media sosial, internet marketing. sisanya nulis buat enjoy aja. smile

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Menjadi Benar Itu Benar?

9 Desember 2010   05:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:53 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEBENARAN KITA BERKEMUNGKINAN SALAH
KESALAHAN ORANG BERKEMUNGKINAN BENAR
HANYA KEBENARAN TUHAN YANG
BENAR-BENAR BENAR

saya selalu ingat kata-kata itu, dan terus saya fahami dengan perlahan, namun saya lupa kapan serta dimana dan dari saiapa saya mendengar atau membaca kata-kata itu untuk pertama kali. diluar "copyright" pemilik kata-kata sakral itu saya merasa kalimat yang teruntai memiliki makna yang mendalam. kata-kata itu mengajarkan dalam baha sederhana untuk tidak ngotot merasa benar dalam setiap pemahaman dan pengetahuan yang kita miliki. semuanya dikekembalikan pada Tuhan sang pemilik dan penguasa alam Sang Rahman yang Ar-Rahim. Dzat yang berkuasa atas semua pengetahuan yang ada pada manusia, sumber-dari semua sumber keilmuan Allah jalla jalaluh. hal ini menjauhkan kita sebagai manusia untuk "keras kepala" mempertahankan kebenaran semua yang mungkin menurut Tuhan hanyalam pembenaran saja. kata-kata itu mengajarkan kepada saya bagaimana belajar perlahan dari yang kecil dari langkah perlahan hingga akhirnya sampai pada tujuan.

catatan kecil di atas hanyalah sebuah intro, untuk pengantar catatan-catatan kecil berikutnya tentang betapa saya sering menyaksikan orang berdebat dengan panas seolah dirinya paling benar hingga keluar kata-kata yang tak pantas diucapkan terutama pembicaraan tentang agama, sehiangga saya harus berfikir keras untuk memahami mengapa banyak kata-kata yang tidak pantas dan tidak sopan keluar dari atau oleh orang-orang yang mengaku beragama. lebih dari kata-kata kotor bahkan prilaku barbarian dan anarkis serta sangat kasar bisa dilakukan oleh banyak yang mengaku akademis dan bahkan oleh mereka yang merasa dirinya beriman kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

fenomena-fenomena ini saya baca dari sebuah pembelajaran yang "melompat" baik dalam sebuah ideologi kasus hingga agama. dalam pemahaman ideologi contohnya bagaiaman tindakan anarkis banyak dilakukan oleh para mahasiswa -yang seharusnya- terpelajar. dimana segalah tingkah lakunya difikirkan secara matang baik dan buruknya. tapi nyatanya masih banyak mahasiswa yang bersikap anarkis saat aksi, tentu saya tidak sedang "memojokan" para aktivis mahasiswa saja, tapi kenyataan banyak aksi yang dilakukan lebih banyak membuat susah masyarakatyang lain, disinilah ideologi "semua gue" berjalan dengan ideologi -sok- perubahan dan -sok- revolusi. maka harus dipertanyakan sebuah kebenaran apa yang sesungguhnya diperjuangkan. berteriak anti korupsi tapi berujung dengan pengrusakan, sungguh akal sehat saya yang miring ini tidak menemukan korelasi yang pas antara anti korupsi dan membakar ban.

pembelajaran yang melompat-lompat inilah yang akhirnya menjadi para juragan, contohnya banyak berteriak tentang pasal-pasal pendidikan tapi lupa pasal yang ada di UUD45.  atau  banyak para aktivis berteriak negara busuk dan bermasalah tapi justru yang berteriak ini lupa apa yang terjadi disekitarnya. bisa diambil contoh lagi yang lebih konkrit seperti mahasiswa berteriak presiden turun atau pemerintah salah, tapi lupa bertanya siapa dirinya menuntut presiden turun, bahkan tat cara hingga protap bagaimana menurunkan presiden saja tidak tahu, ini sangat menggelikan atau berteriak pemerintah salah tapi lupa apakah dirinya sudah benar sebagai "wakil-wakil" mahasiswa sebenarnya, apakah aspirasi itu beanr-atau hanya kepuasan sesaat.

belajar agama yang "melompat"

bukan hanya dalam kalangan civitas akademika saja dalam pembelajaran yang melompat itu, dalam kejadian ber-agama-pun banyak kita temui, banyak orang berteriak hebat terlihat keren sekali seolah ilmu agamanya begitu tinggi, sampa mengutip banyak hadist dan ayat, berfikir luas tentang Tuhan dan meneriaki sodaranya dengan kata-kata kasar. fenomena seperti ini bermunculan baik di dunia nyata maupun dunia maya. di dunia maya berargumen tentang agama membaw ayat dan hadist dan pemahaman tentang ketuhanan dan tahuhin ternyata bermodal "Google". di tanya langsung "search" terus seperti itu, dapat copy-paste dengan pemahaman katanya yang katanya dari katanya tanpa pembelajaran secara penuh.

sehingga "agama" google mungkin bisa disematkan karena menjadikan "google" sebagai tempat kembali sebala keresahan. apakah ini salah? tentu tidak google dan kawan-kawan adalah sarana pembelajaran yang ada dan bisa dimanfaatkan seperti sebuah perpustakaan dan web menjadi sebuah buku yang terus kita pelajari. tapi menjadikan "search engine" sebagai rujukan utama hanya demi nafsu tidak mau kalah debat adalah menjerumuskan diri kita pada sebuah keterbatasa hidup sebenarnya, demi sebuah hawa nafsu dan gengsi. banyak diantara kita berdebat merasa paling hebat dalam beragama, baik yang seiman maupun yang berbeda keyakinan, menjadiakn hawa nafsu "kesombongan" sebagai orang "faham" agama.

ada sebuah kisah dari serambi masjid kampus UGM, sebuah kegiatan pembelajar agama yang sering saya temui, di awal-awal saya kuliah beberapa kali saya "nongkrong" setiap jum'at atau minggu pagi di masjid kampus untuk ikut pengajian yang ada, belajar agama-agama dan dakwah seperti ini di kota besar menghasilkan "santri baru" yang -sepertinya- sangat faham agama. dilihat dari cara berpakaian yang katanya jejak rosul sampai gaya berbicara ke-arab-arab-an dengan sebutan "akhwat, antum, ukhti dll. kegiatan pembelajaran yang banyak dari mereka yang bagi saya nampak ‘melompat’.

Saya terbiasa di lingkungan kampung saya, dimana orang mempelajari dan mendiskusikan agama sesuai dengan tingkat penguasaan ilmunya masing-masing. Saat belajar fiqh, misalnya, seorang santri akan urut mulai dari thaharah (cara bersuci, baik dari najis maupun hadats). Mereka fokus betul di situ, mulai dari penguasaan ilmu hingga prakteknya. Sebelum rampung menguasai aspek thaharah, mereka tak akan melompat membicarakan topik besar seperti tauhid. Tapi yang saya temui di Gelanggang Mahasiswa atau Masjid Kampus UGM kerap sebaliknya. Banyak teman yang saya lihat masih melakukan wudlu’ dengan cara yang tidak sempurna, namun saat berdiskusi bisa begitu canggihnya berbicara tentang tauhid uluhiyah. Saya waktu itu kerap tertegun karenanya. Para ‘santri baru’ ini, demikian menurut saya ketika itu, benar-benar sembrono dan tidak urut dalam mempelajari agama.

banyak yang berbicara, antum, ukhti, akhi yang saya kira pintar bahasa arabnya ternyata tidak tahu apa arti nama belakang saya (ngashim). bahkan banyak pula yangkelihatan pintar bahas arab dari gaya bahasanya tidak tahu bagaimana menyebutkan angka 1 sampai 10 dalam bahasa arab. buat saya ini ironis, pembelajaran "melompat" ini terlihat dengan jelas dimata saya. ini tidak hanya terjadi di kampus, justru banyak juga terjadi di organisasi masa yang mengaku pejuang dan wakil-wakil Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun