Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menimbang Rencana Pendirian Perguruan Tinggi Lamakera: Antara Peluang dan Tantangan

15 Mei 2024   20:14 Diperbarui: 15 Mei 2024   20:42 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Azis Maloko

Salah satu agenda pembangunan peradaban Lamakera yang santer dipercakapkan belakangan ini adalah rencana pendirian perguruan tinggi. Untuk pertama kali mendapat informasi mengenainya melalui "Draft Program Kerja Lamakera Hasil Musyawarah Reuni Akbar Keluarga Besar Lamakera Tahun 2023" yang dikirim melalui WhatsApp. Itupun secara khusus diminta untuk dikirimkan. Hal demikian perlu ditekankan oleh karena pernah minta beberapa kali pada orang berbeda, namun yang ada hanya "janji manis" yang tidak berwujud sama sekali. Alasan berkali-kali minta data semacam itu adalah hasrat ingin tahu karena tidak sempat ikut bergabung dalam kegiatan reuni yang berlangsung di Lamakera waktu itu.

Termasuk alasan lainnya adalah karena data tersebut merupakan rumusan konkrit masyarakat Lamakera, khususnya kalangan akademikus, birokrat, elit dan diaspora, tentang wajah peradaban Lamakera ke depannya. Ya, program kerja merupakan perwujudan dari gagasan besar dan brilian (big and brilliant ideas) kalangan akademikus, birokrat, elit dan diasporanya Lamakera tentang apa dan bagaimana wajah peradaban Lamakera ke depannya dalam horoskop waktu. Dalam kaitannya dengan grand thema kegiatan reuni, maka program kerja semacam itu sebagai upaya konkritisasi dan kristalisasi gagasan besar dan brilian masyarakat Lamakera dalam rangka untuk membangun Lamakera berkeadaban.

Meskipun, gagasan besar dan brilian semacam itu tidak ditulis dengan sedemikian rupa untuk dipublikasikan, baik dalam bentuk Buku Laporan Kegiatan Reuni maupun dipublikasi melalui kanal media yang tersedia. Bila dibandingkan dengan reuni sebelum-sebelumnya, sebut saja Reuni III dan IV yang berlangsung pada tahun 1996 dan 2011, di situ rupanya hasil kegiatan reuni didokumentasikan dengan sedemikian rupa hingga bisa dibaca oleh publik Lamakera. Kita ambil saja contoh untuk Reuni III. Di situ rangkaian kegiatannya didokumentasikan dengan judul "Capita Selekta Reuni III Warga Lamakera Solor Timur Juni 2023" berjumlah 67 halaman dengan visi misinya adalah "Membangun Lewotanah ke Depan".

Itulah di antara problem lain yang tengah terjadi di kalangan akademikus-intelektualnya Lamakera, pernah bahkan hingga kini masih berurusan dengan habitus literasi, namun kegiatan langka semacam itu malah luput dari habitus literasi. Bersamaan dengan itu, banyak juga menuntut agar kiranya ada "penulisan ulang" sejarah Lamakera. Sementara pada sisi lain, peristiwa yang begitu langka dan terjadi dalam konteks kekinian dan kedisinian (baca: masih begitu dekat dengan kita bila dibandingkan dengan sejarah Lamakera yang terpaut jauh sekali jaraknya dengan kita) malah tidak dituliskan dengan sedemikian rupa. Padahal habitus literasi merupakan kerja-kerja peradaban; menjaga dan merawat warisan original sejarah.

Kembali pada laptop! Dalam draft tersebut terdapat banyak rumusan konkrit dan sistematis terkait dengan program kerja sebagai hasil rekomendasi musyawarah reuni Akbar keluarga besar Lamakera yang akan ditindaklanjuti sesuai dengan kesepakatan bersama. Di dalamnya terdapat bidang, program, bentuk kegiatan, waktu pelaksanaan, sumber dana/biaya dan (termasuk) penanggung jawab masing-masing. Nah, rencana pendirian perguruan tinggi masuk dalam bidang pendidikan, salah satu bidang dari sekian banyak bidang yang dirumuskan (kalau tidak salah kurang lebih enam bidang, mulai dari bidang pemerintahan, pendidikan, ekonomi, sumberdaya manusia, organisasi dan kelembagaan serta keagamaan).

Sebenarnya jauh sebelumnya sudah terdapat banyak ide bahkan catatan khusus sebagai rekomendasi untuk dipertimbangkan dalam forum musyawarah reuni. Salah satu catatan tersebut terekam dengan baik dalam tulisan yang bertajuk "Reuni dan Geliat Pengembangan Ekonomi Masyarakat Lamakera". Tulisan tersebut mengudara di kompasiana.com kurang-lebih enam hari sebelum pelaksanaan event reuni Akbar di Lamakera, yakni tanggal 19 Juni 2023. Di dalamnya terdapat beberapa rekomendasi penting di antaranya adalah "pendirian perguruan tinggi". Hal demikian selain sebagai wujud pemberdayaan SDM Lamakera, pun juga sebagai ikhtiar menyambung "tali sejarah" yang sempat diikhtiarkan alm. Ali Taher.

Masyarakat Lamakera (harus) tahu dan menyadari bahkan tidak boleh lupa akan sosok seorang alm. Ali Taher Perasong (selanjutnya disingkat ATP) meski raganya tidak lagi bersama kita. Sebab, ATP merupakan salah satu generasi geniusnya Lamakera, memiliki kontribusi yang begitu besar terhadap "kebangkitan" kembali pembangunan dan peradaban Lamakera. Banyak gagasan, karya dan rekam jejaknya terkait dengan pembangunan peradaban Lamakera, setidak-tidaknya beberapa tahun belakangan ini, yakni semenjak tahun 2011 yang ditandai dengan adanya kegiatan reuni akbar keluarga Lamakera se-Indonesia yang diprakarsai oleh PKLS Jakarta untuk kesekian kalinya setelah terakhir pada tahun 1996.

Renovasi masjid al-Ijtihad Lamakera yang begitu megah dan panoromatik beserta menaranya yang begitu tinggi (mencakar langit); pembangunan gedung MAN 2 Flores Timur (dulu bernama MA Plus) disertai dengan penegerian semua sekolah agama di Lamakera, mulai dari MIS, MTs dan MAS, dan beberapa sekolah lainnya di sekitar Lamakera; pembangunan abrasi tahapan pertama (karena rencananya dilanjutkan lagi) di bibir pantai Lamakera, mulai dari tanjung Motonwutun hingga di bawah Lembah Peradaban adalah kontribusi nyata yang dipersembahkan oleh seorang ATP untuk "memulai" kembali pembangunan dan peradaban Lamakera. Termasuk gagasan besarnya adalah membangun perguruan tinggi di Kupang.

Dalam konteks demikian, kita harus jujur membaca rencana pendirian perguruan tinggi Lamakera dalam frame melanjutkan misi seorang ATP yang belum sempat terwujud. Sekiranya seorang ATP sebagai sosok yang memulai kembali gagasan (ijtihad) dan ikhtiar dalam mendirikan perguruan tinggi, maka rencana pendirian perguruan tinggi Lamakera belakangan ini merupakan kelanjutan darinya. Sehingga, pelbagai rangkaian agenda pembangunan peradaban Lamakera dalam konteks kekinian dan kedisinian boleh diandaikan sebagai bagian dari upaya menyambung kembali "tali sejarah" yang dimulai para founding fathers Lamakera dalam sejarah, khususnya seorang ATP, yang sempat "terputus".

Rencana pendirian perguruan tinggi kembali mencuat dan mengudara dalam percakapan dan diskursus masyarakat Lamakera setelah Yayasan Amal Lamakera (yang disingkat dengan YAMALI) "mengafirmasi" apa yang menjadi rekomendasi dan program kerja hasil musyawarah reuni keluarga besar Lamakera pada tahun 2023 sebagai bagian dari program kerjanya yang mesti ditindaklanjuti dengan segara. Sama dengan beberapa program kerja hasil rekomendasi musyawarah reuni akbar keluarga Lamakera yang sudah terealisasi dan terwujud, di antaranya adalah masuk dan beroperasinya Sabuk Nusantara di pelabuhan Lamakera, pembukaan akses jalan atas dan pembangunan Rumah al-Qur'an (yang sementara tahapan finishing).

Bahkan eksistensi keberadaan YAMALI juga merupakan hasil rekomendasi dari musyawarah reuni keluarga besar Lamakera tahun 2023. Jika mengacu pada "Draft Program Kerja", eksistensi keberadaan YAMALI masuk dalam bidang pendidikan. Satu paket dengan rencana pendirian perguruan tinggi dan beberapa bentuk kegiatan lainnya. Sehingga, usianya terbilang masih muda. Meskipun demikian, action yang dilakukan terkait kerja-kerja pembangunan dan peradaban untuk Lamakera terbilang cukup menyata dan signifikan. Sangat boleh jadi pelbagai bentuk agenda pembangunan dan peradaban Lamakera ke depannya akan dimotori dan diprakarsai oleh YAMALI sebagai wadah baru yang lahir pasca reuni 2023.

Apalagi ada rumor dan juga desak-desuk atau tepatnya wacana yang menggelinding dalam pelbagai percakapan bahwa ada pula semacam rencana untuk "menertibkan" organisasi Lamakera (lainnya), sebut saja organisasi yang bernama PKLS, sebagai bagian darinya. Dengan kata lain, YAMALI menjadi induk bagi PKLS; membawahi dan atau menaungi PKLS. Tentunya, wacana semacam itu terbilang agak "sensitif" oleh sebab secara runutan waktu PKLS mendahului YAMALI. Sehingga, mau tidak mau akan terjadi percakapan alot dan bahkan panas. Sebab, masing-masing memiliki argumentasi untuk mempertahankan pilihannya: antara melebur dan menyatu atau tetap berjalan sendiri sebagai sebuah lembaga independen.

Semoga saja ke depannya ada juga wacana untuk menyatukan semua organisasi mahasiswanya Lamakera. Paling minimal menggunakan nomenklatur yang sama dan menetapkan ada yang menjadi pusat dan atau pengurus besarnya. Karena, pada kenyataannya banyak juga organisasi daerah yang sudah "menertibkan" organdanya dengan menggunakan nomenklatur yang sama dan terstruktur, mulai dari komisariat hingga pusat. Misalkan saja organda Bone yang bernama KEPMI (Kesatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia). Tujuannya sederhana, yakni menyeragamkan nomenklatur bagi organda Lamakera dan memudahkan proses komunikasi dan koordinasi dalam pelbagai hal. Termasuk dalam hal pengkaderan.

Urgensitas dan Grand Mission

 

Eksistensi keberadaan perguruan tinggi merupakan perwujudan secara langsung dari apa yang dinamakan sebagai "amanat konstitusi" bangsa Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 terdapat sebuah frase yang berbunyi "mencerdaskan kehidupan bangsa". Frase tersebut terdapat pada paragraf keempat pembukaan UUD 1945. Sehingga, jauh sebelumnya para founding fathers bangsa Indonesia sudah menyadari tentang pentingnya pendidikan dengan memasukkan frase "mencerdaskan kehidupan bangsa" di dalamnya. Frase demikian dijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang bertujuan untuk melegitimasi dan mengatur hal ihwal terkait pendidikan.

Dalam batang tubuh UUD 1945 terdapat satu Pasal yang berbicara tentang pendidikan, yakni pasal 31 yang memuat (5) ayat. Di antara ayat tersebut dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (ayat 1), setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah membiayainya (ayat 2) dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan Nasional yang (bertujuan) meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (ayat 3). Ketentuan tersebut berbicara tiga konsep pendidikan, yakni hak memperoleh pendidikan, tanggungjawab pemerintah dan tujuan pendidikan.

Untuk mewujudkan amanat konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, maka lahir dan terbentuk pelbagai macam aturan turunan lainnya yang mengatur hal ihwal bertalian dengan pendidikan dalam pelbagai bentuk tingkatan dan jenjangnya, baik pendidikan formal, non formal maupun informal. Salah satu tingkat dan jenjang pendidikan formal adalah perguruan tinggi dengan pelbagai bentuknya, mulai dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) umum maupun agama hingga Perguruan Tinggi Negeri (PTN) umum maupun agama. Selain tentunya memiliki nomenklatur kampus dan Prodi yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Misalkan saja ada UIN, STAI, IAIN, UNM, UNJ, UNPAD dan lain sebagainya

Dengan demikian, urgensitas dan grand mission dibalik dari adanya institusi pendidikan, khususnya institusi pendidikan perguruan tinggi, dimaksudkan dalam rangka memberikan akses bagi masyarakat Indonesia maupun dunia untuk menempuh pendidikan pada jenjang perguruan tinggi dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentunya, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan semata dari aspek intelektualitas masyarakatnya, akan tetapi juga aspek moralitas dan spiritualitas masyarakat. Karena tujuan pendidikan nasional mengintegrasikan tiga macam kecerdasan secara bersamaan, mulai dari kecerdasan intelektual, moralitas dan spiritualitas.

Lantas apa (sih) urgensitas dan grand mission masyarakat Lamakera mendirikan perguruan tinggi? Sampai sekarang belum ditemukan adanya penjelasan tentang mengapa mesti mendirikan perguruan tinggi Lamakera. Namun, sepintas lalu dapat dipahami bahwa ada alasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang melandasi ijtihad dan ikhtiar masyarakat Lamakera yang direpresentasikan oleh kalangan intelektual dan elitisnya dalam rangka untuk memperjuangkan pendirian perguruan tinggi Lamakera. Sebab, seperti sebuah ungkapan peribahasa yang mengatakan bahwa gagasan besar dan brilian tidak mengudara begitu saja dari ruang hampa. Artinya, gagasan besar dan brilian tersebut memiliki alasan tersendiri.

Setidaknya terdapat beberapa alasan penting sekaligus di dalamnya menyiratkan grand mission dibalik dari rencana pendirian perguruan tinggi Lamakera. Pertama; masyarakat Lamakera merupakan warga negara yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk mengakses pendidikan tinggi seluas-luasnya. Dengan kata lain, bila warga negara lain disediakan "karpet merah" dalam rangka memenuhi haknya dalam mengakses pendidikan misalnya, maka warga Lamakera pun harus disediakan "karpet merah" yang serupa. Sebab, warga Lamakera pun punya hak untuk dicerdaskan melalui proses pendidikan. Entah perwujudannya dalam bentuk ikut kuliah pada kampus yang ada atau melalui pendirian kampus baru.

Kedua; animo masyarakat Lamakera untuk mengakses dan melanjutkan studinya pada jenjang tertinggi, misalnya jenjang perguruan tinggi tingkat pertama (baca: strata satu dan serupa lainnya), kian hari semakin meningkat dengan begitu signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal demikian menandakan bahwa masyarakat Lamakera membutuhkan kampus untuk melanjutkan studinya. Lagi-lagi, bisa saja dalam bentuk melanjutkan studi pada kampus yang ada atau melalui kampus yang rencananya didirikan. Meskipun, informasi terbaru yang diperoleh menjelaskan bahwa sebaran calon mahasiswa baru untuk tahun ajaran ini lebih banyak  pada beberapa kampus di Yogyakarta, selain Makassar dan Kupang.

Ketiga; pemberdayaan SDM Lamakera. Alasan ini mungkin terbilang lebih penting dibandingkan dengan alasan sebelumnya. Alasan ini berangkat dari fakta sosiologis terkait dengan meningkatnya SDM Lamakera pada level Strata Dua (S2) dan Strata Tiga (S3) dalam pelbagai jurusan dan keilmuan, setidak-tidaknya keilmuan hukum Islam, Pendidikan Agama Islam, Akidah dan Filsafat, Perikanan dan Kelautan, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi, Komunikasi Politik dan lain sebagainya. Belum lagi ada yang masih dalam proses penyelesaian studi S2 dan S3. Memang banyak yang sudah menjadi abdi negara pada beberapa kampus dan instansi dengan jabatan masing-masing, namun masih banyak pula yang belum.

Itu baru pemberdayaan SDM pada wilayah terbatas, Lamakera. Belum lagi diperluas pada wilayah di sekitar Lamakera, baik dalam skala Solor Timur maupun Flores dan skala Provinsi NTT. Sama dengan animo mahasiswa, aspek ini pun menjadi tidak terhingga jumlahnya. Dan tentunya pendirian perguruan tinggi Lamakera memang bukan semata diorientasikan untuk memberikan akses pendidikan dan pemberdayaan SDM Lamakera, akan tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya yang memiliki animo dan potensi. Di mana Lamakera (baca: tokoh-tokohnya) mengikhtiarkan sebuah perguruan tinggi untuk masyarakat sekitarnya juga. Lamakera memulai jalan pembangunan peradaban bukan semata untuk internalnya, tetapi juga masyarakat luas.

Pada konteks demikian, pendirian perguruan tinggi Lamakera bukan saja semata memberikan akses bagi masyarakat sekitar untuk menempuh pendidikan yang terjangkau secara wilayah teritorial (namun tetap memperhatikan orientasi mutunya), akan tetapi juga bisa berfungsi untuk memperdayakan SDM yang ada, baik yang sudah bekerja maupun belum sama sekali. Sehingga, ada semacam upaya jangka panjang untuk mempersiapkan mutu pendidikan bagi masyarakat sekitar dan juga meminimalisir tingkat pengangguran yang begitu menggurita di sekitarnya. Sebab, kampus bisa menjadi sektor untuk mempekerjakan banyak orang, mulai dari staf, security, klinik service dan lainnya.

Ketiga alasan demikian bisa menjadi pertimbangan penting dalam melihat kemungkinan untuk mendirikan perguruan tinggi. Sebenarnya ada aspek lainnya, sebut saja aspek "kekuatan politik" (karena memang kenyataannya pembangunan peradaban membutuhkan support dari "kekuatan politik"), namun ketiga alasan tersebut rasanya sudah cukup untuk melihat aspek urgensitasnya. Selain itu, seperti dikatakan sebelumnya, konstitusi kita memberikan ruang selebar-lebarnya bagi warga negara, baik perorangan maupun komunitas dan badan hukum untuk ikut serta mengambil bagian dalam memperjuang-wujudkan amanat konstitusi dalam semesta kehidupan berbangsa, baik melalui pendirian lembaga pendidikan maupun lainnya.

Dengan memahami konstruksi berpikir tersebut, maka dengan mudah pula bisa diraba-raba dan dirumuskan apa sesungguhnya yang menjadi grand mission dibalik ijtihad dan ikhtiar kolektif-kolegial masyarakat Lamakera untuk mendirikan perguruan tinggi Lamakera. Pada sesungguhnya ijtihad dan ikhtiar pendirian perguruan tinggi Lamakera merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ijtihad dan ikhtiar membangun peradaban Lamakera dan sekitarnya. Sehingga, grand mission yang paling utama dan penting dalam konteks demikian adalah Lamakera ingin mengambil bagian dalam merekayasa sebuah peradaban ke depannya dengan _di antaranya_ membangun dan mendirikan perguruan tinggi.

Perihal itu, kita bisa flash back ke belakang _bertamasya dan bernostalgia_ dengan sejarah Lamakera tempo doeloe, setidak-tidaknya pada dekade tahun 1996an terdapat sebuah pidato yang cukup heroik nan menggelitik kesadaran rasionalistik yang disampaikan oleh Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi. Di antara muatan pidatonya adalah menjelaskan peran penting institusi pendidikan, formal maupun non formal dan informal, dalam membangun peradaban awal masyarakat Lamakera. Ada sebuah cerita menarik terkait dengan itu.  Pada bulan Juli 1941, empat tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, seorang istri raja melakukan sebuah perjalanan untuk mendatangkan seorang Bapak Mingge Iyan ke Lamakera.

Adapun misi besar yang mengilhami dan menjiwai ikhtiar istri Raja Lamakera mendatangi Bapa Mingge Iyang di Kupang adalah merintis jalan membangun pendidikan di Lamakera. Hal demikian dikarenakan di Lamakera pada waktu itu semacam terjadi "kekosongan" (proses pendidikan) yang ditandai dengan "absen"-nya tokoh pendidikan. Sehingga, dalam rangka mengisi kekosongan, membangun masyarakat dengan ilmu pengetahuan, maka diikhtiarkan untuk mendatangkan sosok seorang Mingge Iyang di Kupang. Hal ini juga berarti bahwa termasuk tokoh sentral dan penting yang mendahului kerja-kerja peradaban melalui saluran dunia pendidikan di Lamakera adalah Raja Lamakera beserta istrinya dan Bapa Mingge Iyang.

Pada arsy dan gubahan sejarah itu pulalah untuk pertama kalinya masyarakat Lamakera diperkenalkan sebuah syair Lamaholot yang terbilang penting bagi masa depan peradaban Lamakera yang juga selalu didendangkan oleh kera muri tawa gere, yakni "rara koi hala he, (goe) hope suban nuru rarang": sebuah ungkapan yg sarat akan makna filosofis dan historis-kebudayaan, sebagai "lonceng" kebangkitan peradaban Islam (di) Lamakera. Syair itu pula yang dipopulerkan dan disampaikan (kembali) oleh Allah Yarham Ali Taher Parasong (dengan air mata ketawaduan, kepedulian dan tanggung jawab) dalam beberapa momentum, di antaranya dalam moment Lamak Virtual keluarga besar Lamakera se-Indonesia saban hari.

Realistis dan Relevan dengan Konteks

Sebenarnya apa pun nomenklatur kampus dan prodinya terpulang pada masing-masing pihak yang mengusulkan dan mengajukan pendirian suatu kampus. Sehingga, apa pun nomenklatur kampus dan prodinya rasa-rasanya tidak ada masalah. Apalagi jika nomenklatur kampus dan prodi dibangun di atas pelbagai kajian pendahuluan. Sebab, seperti lalu-lalu juga, ijtihad dan ikhtiar pendirian perguruan tinggi bukan mengudara begitu saja dari ruang hampa, akan tetapi dikonstruksi dari ide dan realitas yang berserakan di sekitarnya. Meskipun, bangunan argumentasinya kadang memiliki jarak yang terbilang agak jauh dengan realitas di lapangan. Intinya, gagasan besar semacam itu pasti memiliki basis argumentasi.

Setidaknya ada beberapa aspek pertimbangan (lainnya) yang terbilang agak penting untuk menjadi perhatian bersama sebelum menentukan dan merumuskan nomenklatur kampus dan prodi. Pertimbangan dimaksud bertalian dengan prinsip penting dalam penentuan dan perumusan nomenklatur kampus dan prodi. Dikatakan demikian oleh sebab semua pihak yang mengajukan dan mengusulkan pendirian perguruan tinggi selalu mempertimbangkannya. Tentunya terlepas beberapa kasus di lapangan. Hal demikian wajar-wajar saja karena pengajuan dan pengusulan kampus akan dipertimbangkan dan diterima oleh kementerian terkait manakala memenuhi prinsip tersebut.

Sekiranya pengajuan dan pengusulan pendirian kampus mempertimbangkan prinsip dimaksud, maka dapat dipastikan Kementerian terkait pun akan mempertimbangkan untuk memberikan predikat "akreditasi minimun" sebagai syarat untuk mendapatkan ijin operasional (ijop) dalam rangka untuk menyelenggarakan sistem pendidikan tinggi. Sebaliknya, bilamana prinsip dimaksud luput, maka dapat dipastikan peluang untuk mendapatkan predikat akreditasi minumun yang berujung pada mendapat ijop sangat kecil dan tipis. Pada konteks ini bisa saja proses pengajuan dan pengusulan berjalan lancar hingga assessment lapangan (AL), namun karena prinsip tersebut tidak terpenuhi, maka tidak diloloskan.

Olehnya, sekali lagi, hal demikian perlu menjadi perhatian khusus. Sehingga, apa yang menjadi gagasan besar dan brilian dapat menemukan jalannya menjadi sebuah kenyataan. Tentunya, cukup banyak sekali aspek-aspek yang perlu menjadi pertimbangan dan perhatian khusus di dalamnya. Namun, pada kali ini hanya dibatasi pada prinsip realistis dan relevan dengan konteks. Penjelasan dan turunan dari prinsip ini terbilang panjang kali lebar. Sebab, prinsip ini bersentuhan dan beririsan dengan banyak hal yang tidak terpisahkan  dari syarat-syarat penting pendirian suatu perguruan tinggi. Pertama sekali adalah apa yang dijelaskan sebelumnya di atas, yakni terkait dengan apa (sih) alasan mendirikan kampus.

Tentunya, selain tiga point di atas, terdapat point lainnya yang perlu juga diperhatikan. Biasanya assesor menanyakan ketika AL. Kira-kira apa distingsi kampus dan prodi yang diusulkan dengan kampus dan prodi lainnya sejagat wilayah yang hendak didirikan kampus itu. Ya, pertanyaan demikian terbilang wajar sebab ketika kampus dan prodinya nyaris sama dengan kampus dan prodi-prodi yang ada bersamaan dengan minat calon mahasiswa untuk mengambil kampus dan prodi itu rendah, maka bisa saja kampus dan prodinya langsung mogok di tengah jalan, meski "wajah"-nya terbilang masih baru dan segar sekali (karena baru didirikan tentunya). Sebab, untuk apa mendirikan kampus kalau tidak sesuai kebutuhan.

Pada konteks demikian, perlu adanya "survei" untuk melihat kebutuhan, kecenderungan dan minat masyarakat yang menjadi locus dan episentrum pendirian perguruan tinggi. Pun juga bisa melakukan studi banding dengan beberapa kampus yang ada di sekitarnya. Semuanya dilakukan dalam rangka untuk menemukan rumusan alasan yang tepat dan argumentatif untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi.  Sehingga, tidak cukup rasanya dengan melihat kemampuan internal plus kekuatan politik yang dimiliki. Sebab, pendirian perguruan tinggi melampaui itu semua. Ia terbilang agak kompleks, banyak hal yang mesti dipertimbangkan dan diantisipasi dengan matang sebelum nantinya melakukan action.

Misalnya, salah satu fakta yang seringkali kali didengar dan disaksikan dalam kehidupan kita, setidak-tidaknya menjelang tahun ajaran baru, adalah kurangnya minat calon mahasiswa yang mendaftar pada kampus dan prodi tertentu sementara daya tampung yang  disiapkan dan ditetapkan untuk masing-masing prodi pada kampus terbilang lumayan banyak, minimal  45 sampai 108an (dengan menggunakan rasion perbandingan dosen dan mahasiswa plus syarat dosen homebase pada masing-masing prodi). Fakta semacam itu bukan terjadi pada satu-dua kampus, bukan hanya kampus swasta dan baru berdiri serta bukan hanya terjadi pada satu tahun pelajaran, akan tetapi banyak tahun dan banyak kampus, swasta maupun negeri.

Implikasinya, banyak kampus yang tidak mendapat akreditasi yang baik. Akhirnya, mahasiswa yang menjadi korbannya. Belum lagi fakta lain terkait dengan persoalan anggaran yang dimiliki kampus dalam mensupport penyelenggaraan sistem pendidikan. Di mana banyak pula kampus yang mogok dikarenakan persoalan anggaran; tidak bisa membiayai pegawai hingga pegawainya mogok mengajar. Lagi-lagi, implikasinya mahasiswa yang mendapat getahnya, menjadi korban dari "kegagalan" manajemen kampus dalam menyelenggarakan sistem pendidikan tinggi. Maka, tidak jarang ditemukan informasi bahwa banyak kampus dan prodi ditutup dikarenakan gurita masalah semacam itu,

Selain itu, prinsip realistis dan relevan dengan konteks yang perlu diperhatikan adalah nomenklatur kampus dan prodi harus realistis dan relevan dengan kebutuhan dan SDM yang ada. Misalnya dari aspek SDM, bila nomenklatur kampus dan prodi bertalian dengan Sekolah Tinggi Teologi Perikanan maupun Politeknik atau apalah namanya dengan prodinya adalah Perikanan dan Kelautan, Pariwisata dan Pertanian Lahan Kering, maka harus memperhatikan aspek realistis dan relevansinya. Minimal sekali "stok" SDM yang hendak mengisi pos dosen prodi sudah ada semua, dengan catatan harus linear dengan Prodi masing-masing. Itu pun stok SDMnya paling minimal enam orang dosen untuk masing-masing prodi.

Pada konteks itu, pihak terkait perlu mengidentifikasi kekuatan SDM yang akan mengisi Prodi masing-masing. Karena, prinsip ini menjadi syarat penting yang menentukan kampus dan prodi tersebut layak untuk diassesment dan mendapat akreditasi minumun untuk kemudian mendapat ijop atau tidak. Jika pada kenyataannya tidak ditemukan banyak SDM yang linear dengan prodi yang diusulkan bersama kampus itu, maka bisa melakukan beberapa langkah taktis untuk mengantisipasinya. Pertama; jika tetap mempertahankan nomenklatur kampus dan prodi tersebut, maka perlu adanya percepatan SDM dengan cara menguliahkan mereka pada level S1 hingga S2 sesuai dengan prodi masing-masing itu.

Jika alternatif pertama yang dipilih, maka diperlukan waktu yang relatif lama. Paling cepat mungkin enam sampai tujuh tahun. Dengan demikian, kampus dan prodi dengan nomenklatur semacam itu baru bisa diusulkan pada tahun 2031 mendatang (terhitung dari tahu 2024 atau 2025). Itupun kita perlu mencari SDM kurang lebih 18 orang (dari hitungan perprodi enam orang dosen dikali tiga Prodi yang direncanakan diusulkan bersama dengan kampus itu) plus menyediakan support dalam bentuk beasiswa dengan taken kontrak khusus di dalamnya. Lagi-lagi, alternatif ini bukan saja membutuhkan waktu yang lumayan lama, akan tetapi dapat dipastikan lumayan berat dan merepotkan sekali pihak perencana pendirian perguruan tinggi.

Kedua; jika tetap menggunakan nomenklatur kampus dan prodi semacam itu sementara kenyataannya tidak didukung oleh SDM internal, maka bisa ditempuh dengan cara mengakomodir SDM kampung lain yang berpotensi dan linear dengan prodi masing-masing. Sama dengan sebelumnya di atas, meskipun alternatif ini terlihat agak mudah, namun pada sesungguhnya membutuhkan waktu, pendekatan dan komunikasi serta lobi-lobi. Itupun kalau perguruan tinggi tersebut hendak keluar dari real awalnya, yakni pemberdayaan SDM Lamakera. Yah, tidak apa-apa jika kondisinya memaksa untuk mengambil kebijakan strategis dan taktis. Intinya, ada SDM yang linear dengan Prodi dan kampus jadi berdiri.

Ketiga; perlu mempertimbangkan kembali nomenklatur kampus dan prodi. Maksudnya adalah karena tidak ada SDM yang sesuai dengan Prodi masing-masing, maka alangkah baiknya kalau-kalau nomenklatur kampus dan prodinya dirubah dengan menyesuaikan kebutuhan SDM Lamakera yang real di lapangan. Inilah points penting dari prinsip realistis dan relevan dengan konteks yang disinggung sebelumnya. Kebanyakan SDM Lamakera yang sudah sampai pada jenjang magister dan doktor di bidang keilmuan agama pada umumnya, mulai dari Pendidikan Agama Islam, Manajemen Pendidikan Islam, Sosiologi (Pendidikan), Hukum Islam, Pemikiran Hukum Islam, Ushuluddin dan Filsafat dan lain sebagainya.

Bahkan kalau-kalau mau objektif dan jujur alternatif terakhir ini pun masih banyak menyisakan problem di sana sini. Sebab, SDM Lamakera di bidang keilmuan agama juga tidak banyak-banyak amat. Namun, dibandingkan dengan SDM di bidang Perikanan dan Kelautan, Pariwisata dan Pertanian Lahan Kering, SDM Lamakera di bidang keilmuan Islam masih jauh lebih banyak. Meskipun demikian  tetap ada kerja-kerja ekstra untuk melengkapi penyediaan SDM di bidang terkait kalau-kalau alternatif ketiga yang dipilih karena jauh lebih realistis dan relevan dengan konteks yang ada. Yah, paling tidak menyiapkan beberapa SDM tambahan untuk melengkapi SDM dan pos yang ada, sehingga Prodi yang diusul memenuhi syarat SDM.

 

Pembentukan Tim Percepatan Pendirian Kampus

 

Setelah jelas dan pasti nomenklatur kampus dan prodi yang hendak diajukan dan diusulkan, maka langkah selanjutnya adalah pembentukan Tim Percepatan Pendirian Kampus. Pada titik ini dapat dikatakan bahwa nomenklatur kampus dan prodi merupakan domain pihak pengusul pendirian perguruan tinggi. Misalnya, pihak pengusul pendirian perguruan tinggi adalah Yayasan, maka pihak Yayasan harus melakukan kajian dan membahas secara bersama perihal nomenklatur kampus dan prodi yang hendak diajukan dan diusulkan. Jika sudah ada kata sepakat terkait dengan nomenklatur kampus dan prodi, selanjutnya pihak Yayasan membentuk Tim Percepatan Pendirian Kampus atau apalah namanya.

Kenapa mesti pihak Yayasan yang menentukan akan apa dan bagaimana nomenklatur kampus dan prodi yang hendak diajukan dan diusulkan? Karena memang mereka yang berhak dan dipandang memiliki otoritas pengetahuan dan pengalaman terhadap apa yang diproyeksikan untuk dilakukan. Tidak mungkin pihak Yayasan yang memiliki gagasan besar dan brilian terkait dengan rencana pendirian perguruan tinggi tidak memiliki pandangan khusus (berdasarkan pertimbangan yang matang dan kuat tentunya) tentang apa dan bagaimana nomenklatur kampus dan prodi yang tepat untuk diajukan dan diusulkan. Konsep demikian dimaksudkan mempermudah dan mempercepat penentuan nomenklatur kampus dan prodi.

Pada konteks itu, Tim Percepatan Pendirian Kampus hanya berwenang dan bertugas untuk menyiapkan segala sesuatu terkait dengan pengajuan dan pengusulan pendirian perguruan tinggi. Tim tidak lagi disibukkan untuk membahas hal ihwal terkait dengan nomenklatur kampus dan prodi. Apalagi jika nomenklatur kampus dan prodi yang diusulkan oleh Tim pada akhirnya harus berurusan lagi dengan pihak Yayasan untuk memastikan apakah nomenklatur yang diusulkan diterima atau tidak. Tidak masalah (sih) jika hanya sekedar nomenklatur semata, namun lain ceritanya kalau di dalamnya sudah disiapkan pula Proposal pengajuan pendirian perguruan tinggi yang mengacu pada nomenklatur itu.

Lain ceritanya kalau pihak Yayasan sudah mendelegasikan wewenang perumusan nomenklatur kampus dan prodi kepada Tim bersamaan dengan persiapan segala sesuatu terkait dengan pengajuan pendirian perguruan tinggi. Jika kondisi ini yang terjadi, maka Tim harus menyelesaikan terlebih dahulu nomenklatur kampus dan prodi sebelum membuat Proposalnya. Karena, lagi-lagi, apa-apa yang dirumuskan dan diusulkan oleh Tim terkait dengan nomenklatur kampus dan prodi pun pada akhirnya harus berurusan lagi dengan Yayasan. Posisi pihak Yayasan dalam hal ini laiknya "BAN PT" atau "Tim Akreditasi Internal" yang lebih duluan melakukan assessment terhadap nomenklatur kampus dan prodi.

Meskipun, Tim merupakan representasi dan bagian integral dari Yayasan. Karena, kerja Tim dalam perumusan nomenklatur kampus dan prodi tanpa melibatkan pihak Yayasan, bukan saja Pengurus Yayasan, akan tetapi juga Pengawas dan Pembina. Yah, karena Tim telah didelegasikan wewenang untuk merumuskan nomenklatur kampus dan prodi (lalu kemudian dipresentasikan kepada pihak Yayasan melalui rapat yang disepakati), sehingga mau tidak mau mereka akan bekerja sendiri, terlepas ada komunikasi atau tidak. Namun, pada umumnya Tim yang didelegasikan berdasarkan surat administratif tertentu akan bekerja dulu baru kemudian dipresentasikan untuk menemukan jawaban: sepakat atau tidak.

Dalam kaitannya dengan itu, perlu kiranya diketengahkan di sini bahwa berdasarkan hirarki struktur kepengurusan Yayasan, Pengurus Yayasan bukanlah penentu final terhadap segala sesuatu yang berada dalam lingkup Yayasan, khususnya hal-hal yang bersifat penting dan strategis. Sebab, mengacu pada UU Nomor 16 Tahun 2001 jo. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan menjelaskan bahwa jabatan tertinggi dalam Yayasan adalah Pembina Yayasan, bukan Pengawas dan (apalagi) Pengurus Yayasan. Bahkan Pengawas dan Pengurus Yayasan diangkat dan ditetapkan oleh Pembina Yayasan. Sehingga, meskipun Tim mempresentasikan kepada Pengurus, tetap perlu adanya persetujuan dari Pembina.

Jika persoalan demikian sudah clear, maka point penting yang mesti menjadi catatan dan perhatian khusus dalam pembentukan Tim Percepatan Pendirian Kampus bahkan lainnya, sebut saja pendirian lembaga ini dan itu. Point ini terbilang begitu penting sekali dan rasa-rasanya semua orang akan sepakat dengannya. Sebab, point ini mengacu pada objektivitas, rasionalitas dan universalitas. Point dimaksud terkait dengan prinsip dalam pembentukan Tim Percepatan Pendirian Kampus. Yah, pembentukan Tim perlu dibangun di atas prinsip-prinsip tertentu sebagai guidancenya. Sehingga, Tim yang terbentuk sesuai harapan bersama dan dapat bekerja sesuai dengan harapan bersama pula.

Pertama; prinsip struktur Tim yang ramping, tidak gemuk. Prinsip ini penting oleh sebab generasi kita terbilang begitu banyak, tersebar hampir seantero jagat Indonesia dengan memiliki basis pengetahuan yang begitu variatif dan heterogen. Sehingga, tanpa ada prinsip ini bisa saja Timnya menjadi begitu gemuk dengan memasukkan semua unsur generasi Lamakera di dalamnya. Implikasinya, bisa-bisa kerja-kerja Tim menjadi tidak begitu efektif dan efisien. Yah, banyaknya orang dalam sebuah Tim kadang memberikan support untuk melakukan percepatan kerja-kerja Tim. Namun, banyak pula kasus di lapangan membuktikan bahwa banyak orang yang bergabung dalam sebuah Tim bisa mempengaruhi kerja-kerja Tim.

Kedua; prinsip kompetensi dan pengalaman. Prinsip ini mengandaikan bahwa pembentukan Tim harus mengedepankan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing orang yang hendak bergabung dan atau digabungkan dalam Tim, bukan karena nepotisme berbasiskan struktur emosionalitas, perkolegaan, relasi kuasa dan afiliasi politik. Karena, kompetensi dan pengalaman merupakan syarat dan rukun penting dalam mengerjakan pelbagai tugas, khususnya tugas yang bertalian dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk pengusulan dan pengajuan pendirian perguruan tinggi. Dengan kompetensi dan pengalaman, orang-orang yang dimandataris dapat bekerja dengan efektif dan efesien.

Ketiga; prinsip kesetaraan dan keterwakilan (equality and representative). Prinsip ini juga tidak kalah penting dalam menentukan dan menetapkan sebuah komposisi Tim maupun lainnya. Prinsip ini berangkat dari asumsi (teoretis maupun praktis di lapangan) bahwa sebaran generasi sekarang hampir seantero jagat Indonesia dan juga terdiri dari pelbagai entitas, baik dari aspek usia, jenis kelamin maupun jabatan dan pekerjaan. Sehingga, mau tidak mau perlu mempertimbangkan prinsip kesetaraan dan keterwakilan agar supaya tidak ada namanya diskriminasi berbasiskan apa pun, baik diskriminasi berbasiskan gender, usia dan maupun diskriminasi berbasiskan afiliasi dan sentimen politik sektarian.

Dengan demikian, prinsip kesetaraan dan keterwakilan menghendaki bahwa orang-orang yang bergabung dalam Tim (setidak-tidaknya) merupakan perwakilan pada masing-masing zona dan wilayah. Misalnya, perwakilan zona dan wilayah NTT dan sekitarnya (bisa juga dipecah lagi berdasarkan Kota/Kab. Sebab untuk NTT sebarannya nyaris banyak dan merata hampir semua Kota/Kab.), perwakilan zona dan wilayah Sulawesi dan perwakilan dari zona dan wilayah Jawa dan sekitarnya (paling tidak zona dan wilayah Jakarta dan Yogyakarta karena keduanya termasuk basis (terbanyak) generasi di sana). Selain itu, tentunya prinsip kesetaraan dan keterwakilan juga berdasarkan usia dan gender.

Keempat; prinsip soliditas, kolaborasi dan supportifitas. Tim yang dibentuk harus memiliki prinsip soliditas, kolaborasi dan supportifitas dalam melakukan tugas-tugas yang diamanatkan. Tim yang dibentuk harus memiliki prinsip dan standar soliditas, kolaborasi dan supportifitas yang teruji. Tidak boleh masing-masing Tim bekerja dan berjalan sendiri-sendiri. Tidak perlu ada egosentris dan diskriminasi di dalamnya. Pun tidak boleh ada yang mengklaim paling hebat dan berjasa di dalamnya. Apalagi bersama dengan itu ada budaya saling sikat dan sikut, menggunting dalam lipatan serta menggeser mereka-mereka yang tidak sejalan dengan kita dalam banyak hal. Sebab, tidak etis dan elok jika kerja-kerja peradaban diwarnai dengan hal itu.

Salah satu instrumen dan media penting untuk membangun solidaritas, kolaborasi dan supportinitas dalam melakukan kerja-kerja Tim _di antaranya_ adalah memanfaatkan teknologi yang ada. Misalnya, teknologi komunikasi yang bernama WhatsApp Group. Tim yang sudah terbentuk bisa membentuk pula WAGroup sebagai medium untuk mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan hal-hal yang dibutuhkan dalam kerja-kerja Tim. Bisa juga sesekali melakukan zoom meeting untuk mempercakapkan secara langsung dengan sesama Tim. Yah, sebelum mempresentasikan kepada Yayasan, Tim perlu melakukan rapat pemantapan. Sehingga, ada penyamaan persepsi Tim sebelum rapat dengan Yayasan.

Penyiapan Dokumen Mutu, Borang Institusi dan Prodi

 

Setelah terbentuk Tim, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan dokumen mutu terkait dengan pengusulan pendirian perguruan tinggi. Dokumen mutu merupakan dokumen penting dalam menyelenggarakan sistem pendidikan di perguruan tinggi. Sebab, dokumen mutu terkait dengan lalulintas penyelenggaraan sistem pendidikan di perguruan tinggi itu sendiri. Semua perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, dengan pelbagai macam nomenklaturnya membutuhkan sebuah dokumen mutu. Selain sebagai Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dokumen mutu juga merupakan persyaratan penting yang mesti disiapkan fisiknya dan dilampirkan dalam pengusulan pendirian kampus.

Dokumen mutu perguruan tinggi terbilang banyak, mulai dari dokumen kebijakan SPMI, dokumen manual SPMI, dokumen standard SPMI dan dokumen formulir SPMI. Masing-masing dokumen mudah memilih turunan yang terbilang cukup banyak. Termasuk dokumen mutu yang terbilang cukup penting sekali untuk diperhatikan untuk awal-awal pengajuan pendirian perguruan tinggi adalah dokumen Borang Institusi dan Borang Prodi. Di dalam dua makhluk ini, Borang Institusi dan Borang Prodi, terdapat hampir semua dokumen mutu. Bahkan pengisian Birang Institusi dan Borang Prodi tidak boleh berbeda dan lepas dari dokumen mutu. Sehingga, dokumen mutu boleh dikatakan harus dipersiapkan terlebih dahulu.

Setidaknya ada beberapa komponen penting yang diperhatikan dan dipersiapkan dalam menyusun dokumen Borang Institusi dan Borang Prodi. Pertama; dokumen statuta perguruan tinggi yang hendak dibangun dan diajukan untuk mendapat ijop dari kementerian terkait. Kedua; dokumen struktur pimpinan perguruan tinggi non defenitif yang terdiri dari Ketua, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, Wakil Ketua II, Bagian Keuangan, LPM, LP2M, Ketua dan Sekretaris Prodi dan lainnya sebagainya. Ketiga; dokumen kurikulum pendidikan untuk masing-masing Prodi yang ditetapkan. Dokumen ini mengelaborasi beberapa unsur penting, harus sesuai dengan Prodi, standar Kurikulum, perkembangan zaman dan distingsi.

Mengacu pada UU Pendidikan Tinggi (Dikti) Pasal 52 ayat (2), semua dokumen mutu terkait dengan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perguruan tinggi yang dipersiapkan berdasarkan dan atau mengacu secara langsung pada lima siklus Standar Operasional Prosedur (SOP) secara umum, yaitu Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan (PPEPP). Masing-masing siklus ini pun memiliki turuna yang tidak kalah banyak. Wajar saja oleh sebab semua dokumen mutu yang dibuat mengacu secara langsung padanya. Sehingga, sudah bareng tentu dalam semua dokumen mutu yang disiapkan mengandung siklus PPEPP. Karena, di sana ada penetapan, pelaksanaan, evaluasi dan lainnya.

Intinya, pada tahapan ini Tim harus benar-benar bekerja menyiapkan pelbagai dokumen mutu yang dibutuhkan dalam pengajuan pendirian perguruan tinggi. Sistemnya bisa dibentuk Tim kecil-kecil lagi untuk menangani satu per satu dokumen mutu yang dibutuhkan atau dibagi pada orang-orang yang telah bergabung dalam Tim Percepatan Pendirian Kampus. Bisa juga mencari moment-moment tertentu untuk berkumpul pada suatu tempat untuk mengerjakan secara bersama-sama. Bahasa lainnya perlu melakukan karantina untuk Tim yang menangani semua dokumen mutu. Kalau tidak bisa, karena sibuk dan lain hal, bisa dikerjakan secara nafsi-nafsi oleh masing-masing anggota Tim.

Mengadakan Workshop dan Training Penguatan Mutu

 

Selain menyiapkan dokumen mutu seperti disebutkan sebelumnya di atas, Tim juga perlu mengadakan workshop dan training penguatan mutu. Biasanya kegiatan semacam ini dilakukan kalau-kalau struktur pimpinan kampus dan Prodi secara non defenitif sudah clear. Karena, sasaran utama pengadaan workshop dan training penguatan mutu pertama kali untuk kampus yang baru didirikan adalah semua unsur pimpinan kampus, mulai dari atas hingga ke bawah. Hal demikian dikarenakan pimpinan kampus itulah yang diberikan amanah untuk mengelola dan mengembangkan kampus. Olehnya, perlu ada kejelasan dan kepastian (sementara) terkait dengan pimpinan kampus secara defenitif.

Pengadaan workshop dan training penguatan mutu memiliki posisi dan peran yang sangat penting lagi strategis, bukan saja hanya untuk kampus yang baru saja didirikan, akan tetapi berlaku pula untuk kampus lama sekalipun. Sebab, kegiatan semacam itu akan meng-update dan meng-upgrade pengetahuan (teoretis dan praktis) terkait dengan pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan kampus di tengah-tengah kemajuan zaman yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi beserta pelbagai tantangan positif dan negatif yang berada di dalamnya, mulai dari tantangan globalisasi, disrupsi, post truth, dehumanisaai, digitalisasi dan lain sebagainya. Sehingga, pimpinan kampus selalu memiliki amunisi baru di dalamnya.

Olehnya, semua pimpinan kampus dan Prodi wajib hukumnya untuk mengikuti pelbagai kegiatan yang diadakan dalam rangka penguatan mutu kampus. Tidak ada alasan dan ceritanya senior yang sudah memiliki kompetensi dan pengalaman khusus di situ karena telah lama menjadi bagian dari warga perguruan tinggi, misalnya sebagai dosen PNS, non PNS dan lain sebagainya. Pengikut-sertaan mereka-mereka yang sudah punya pengalaman khusus dalam hal penguatan mutu kampus paling tidak dimaksudkan untuk memperkuat pengetahuan dan pengalaman di bidang penguatan mutu kampus plus menambah wawasan dan memberikan tauladan akademik bagi pimpinan kampus yang terbilang baru.

Misalnya kita ambil beberapa contoh terkait penguatan mutu kampus. Pertama; penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Hingga kini penyusunan RPS selalu mengalami modifikasi dan pengembangan, sehingga hampir semua kampus selalu pula menyelenggarakan workshop dan training penguatan mutu kampus di bidang penyusunan RPS. Di antara faktor penyebabnya adalah kemajuan teknologi, pemutakhiran kurikulum, penyesuaian dengan metode pembelajaran dan termasuk karena ada perubahan standar mutu pendidikan tinggi yang di antaranya direpresentasikan dengan perubahan nomenklatur Borang Institusi dan Prodi (misalnya pembelajaran dengan review jurnal).

Kedua; penyusunan Borang (Institusi maupun Prodi). Pasca perubahan nomenklatur pada Maret 2020 lalu, konten dan penyusunan Borang mengalam perubahan besar-besaran. Dari aspek nomenklatur, sebelum perubahan dikenal dengan istilah Borang, namun sekarang dirubah menjadi Laporan Kinerja Program Studi yang kemudian disingkat menjadi LKPS beserta Lembar Evaluasi Diri (LED). Perubahan nomenklatur ini menyertakan perubahan pada aspe lainnya, mulai dari kontennya hingga metode pengisiannya. Misalnya, kontennya bukan lagi 7 Standar tetapi bertambah menjadi 9 Kriteria. Sementara metode pengisiannya bersifat statistik, lebih dominan angka-angka dan kurang narasinya.

Ketika; pelatihan tata kelola jurnal. Sama dengan sebelumnya di atas, pelatihan tata kelola jurnal hingga kini terus diadakan di mana-mana. Nyaris banyak pihak yang mengikutinya. Bukan saja pihak pengelola jurnal pada masing-masing Prodi, Fakultas dan Kampus, akan tetapi juga diikuti oleh authornya. Yah, selain karena per-jurnal-an merupakan bagian integral dari Tridharma Perguruan Tinggi, khususnya terkait bidang penelitian, juga dikarenakan banyak faktor lainnya. Sebut saja nomenklatur Borang baru menghendaki sistem pembelajaran dan termasuk luaran harus membuat juga jurnal sebagai syarat penyelesaian studi. Meskipun, jurnal mahasiswa merupakan hasil penelitian skripsi, tesis dan disertasinya.

Selain itu, jurnal juga berpotensi menghasil pundi-pundi melalui BKD dan LKD. Bahkan jurnal juga menentukan kenaikan pangkat akademik seorang dosen. Termasuk pangkat akademik yang bernama profesor yang diburuh oleh hampir semua dosen. Namun, jurnal yang dipersyaratkan untuk aspek ini bukan kaleng-kaleng, yakni jurnal Scopus; sebuah jurnal internasional yang memiliki reputasi tinggi dan standar penilaian yang begitu ketat ditambah membutuhkan cost yang begitu besar pula untuk bisa menerbitkan tulisan di sana. Pada jurnal terakhir ini terdapat titik temunya dengan penguatan mutu kampus. Sebab, banyak dosen membutuhkannya. Terakhir, rupanya jurnal juga memberikan kredit poin terhadap akreditasi.

Beberapa contoh yang disebutkan di atas nampaknya sudah cukup menjadi argumentasi tentang pentingnya semua pihak yang diamanatkan mengelola dan menjalankan kampus untuk senantiasa mengikuti pelbagai kegiatan penguatan mutu kampus. Keikutsertaan dan keintensan warga kampus mengikuti pelbagai kegiatan penguatan kampus akan membawa angin segar bagi penguatan kampus secara umum dan penguatan SDM kampus secara khususnya. Apalagi memang sertifikat kegiatan semacam itu pun juga dibutuhkan oleh seorang dosen bahkan Prodi, Fakultas dan Kampus ketika menyusun kembali Borang. Sehingga, mau tidak mau pengadaan workshop dan training memang penting.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun