Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sebuah Perspektif tentang Puasa dan Wajah Demokrasi Kita

14 Maret 2024   18:08 Diperbarui: 15 Maret 2024   18:15 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tataran prakteknya, demokrasi dilaksanakan perlima tahun sekali dalam satu periode. Seperti pesta demokrasi yang barusan dilaksanakan secara serentak pada 14 Februari 2024 lalu, antara Pileg (dengan pelbagai tingkatannya mulai dari pemilihan anggota DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD RI) hingga Pilpres yang menghadirkan tiga Capres-cawapres berkompetisi merebutkan RI 1 dan RI 2.

Sama dengan puasa, demokrasi pun juga mendapat "legacy dan afirmasi positif" menjadi bagian dari sistem yang diterima secara umum oleh banyak kalangan dan tataran Negara-Bangsa (nation state) sekalipun. 

Bahkan kalangan intelektual dan ulama hingga Negara muslim juga mengafirmasinya menjadi sebuah "sistem baru" dalam menyelenggarakan Negara.  Sehingga, "sistem demokrasi" bisa menjadi bagian dari produk "syarru man qablana" sekaligus bagian dari maslahat dalam konteks yang lain. 

Meski tidak ada teks bahasa agama yang sharih menegaskannya sebagaimana halnya puasa. Namun, teks bahasa al-Qur'an (juga hadis) memperkenalkannya dengan term "misyawarah" dan beserta prinsip-prinsip penting di dalamnya.

Itulah narasi lain seputar relasi sistem demokrasi dengan agama. Karenanya, tidak perlu dipertentangkan dengan berbagai logika dan dalih. Sebab, sekarang kita hidup dalam alam demokrasi. 

Kita harus realistis, rasional dan proporsional! Meskipun, sangat boleh saja orang memilih jalan lain untuk mempertentangkan dan menolak sistem demokrasi. 

Ya, dalam sistem demokrasi, pandangan dan sikap semacam itu merupakan sesuatu yang lumrah ditemukan. Semua orang diberikan ruang untuk mengekspresikan pandangan dan sikapnya. Termasuk mengekspresikan pandangan dan sikap dalam penetapan hari raya keagamaan dalam setiap tahun yang berujung pada perbedaan antar ormas bahkan dengan pemerintah sekalipun.

Menengok Wajah Demokrasi Kita

Bangsa Indonesia telah lama menerima dan menjadikan demokrasi sebagai bagian dari sistem pemerintahan. Usianya terbilang cukup tua. Baru-baru ini bangsa Indonesia untuk kesekian kalinya kembali melaksanakan hajatan dan perhelatan demokrasi perlima tahun sekali. 

Tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024. Tahapan pesta demokrasi untuk sementara masih dalam proses rekapitulasi oleh KPU RI. Rencananya tanggal 20 Maret 2024 akan diumumkan secara resmi siapa Capres-cawapres yang memenangkan pertarungan Pilpres dan siapa pula wakil rakyat yang akan lolos menduduki kursi DPRD Kota/Kabupaten, DPR Provinsi, DPR RI dan DPD RI. Selain berbagai dinamika, hiruk-pikuk yang terjadi dan berkembang di dalamnya.

Olehnya, publik Indonesia sudah cukup memiliki data dan referensi dalam membaca dan menilai wajah demokrasi kita sebenarnya. Apakah wajah demokrasi kita kian maju dan beradab atau malah mengalami degradasi karena ada permainan kekuasaan oleh bandit-bandit oligarki dan politik dinasti? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun