Jujur saja, seperti dikatakan banyak pakar dan pengamat, wajah demokrasi kita kian mengalami kemunduran bahkan cenderung hancur berkeping-keping. Wajah demokrasi yang terlihat pada Pemilu kali ini jauh lebih buruk, brutal dan brengsek dalam sejarah (perdemokrasian) kita.Â
Begitulah di antaranya kata seorang Jusuf Kalla, Mahfud MD, Deddy Sitorus, Romahurmuziy, Luluk Nur Hamidah Eep Saifullah Fatah, Rudy S. Kamri, Kahar Sijaya dll.
Tentunya, pandangan demikian tidak mengudara begitu saja dari ruang hampa. Pun pandangan demikian bukan muntahan nalar phobia dan sentimen-spekulatif terhadap sistem demokrasi wabikhusus rezim Jokowi karena soal menang dan kalah dalam kontestasi Pemilu 2024.Â
Akan tetapi, pandangan demikian merupakan konstruksi terhadap fakta politik yang terjadi dalam perhelatan demokrasi kita baru-baru ini (dan maupun sebelum-sebelumnya). Di mana fakta-fakta politik yang terjadi terbilang dipertontonkan secara telanjang dan vulgar, seolah-olah telah hilang "rasa malu" dalam berdemokrasi; berbangsa dan bernegara. Sehingga, mereka tidak sungkan-sungkan untuk merongrong sendi-sendi demokrasi.
Di antara fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pakar dan pengamat terkait dengan wajah demokrasi kita adalah hasrat dan syahwat menggurita ingin memperpanjang masa kekuasaan politiknya, baik dengan menambah periode kekuasaan politik dengan tiga periode maupun memperpanjang jabatan karena visi-misi dan programnya banyak yang belum terealisasi semua. Implikasinya, harus melakukan amandemen terhadap konstitusi kita, UUD 1945.Â
Sebenarnya tidak apa-apa jika kembali dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Persoalannya adalah motif dibalik amandemen UUD 1945 hanya semata untuk syahwat dan kepentingan politik sekelompok orang yang takut akan berakhir masa kekuasaan politiknya.
Rupa-rupanya, syahwat dan hasrat politik kekuasaan temporar semacam itu ditolak mentah-mentah oleh banyak partai dan politisi. Sehingga, Issu seputar itu sempat raib begitu saja dalam percaturan politik.Â
Namun, tidak untuk muslihat. Jika satu stratak tidak terpenuhi, maka masih tersedia banyak lagi muslihat dan manuver. Jika tidak bisa memperpanjang masa kekuasaan politiknya dengan tetap menjadikannya sebagai orang 01 dan terus memberikan pengaruhnya terhadap semesta Indonesia, maka bisa ditempuh dengan memberikan "pengaruh" Â kepada mereka-mereka yang dapat dijadikan sebagai "boneka kekuasaan-politik". Dari sanalah lahir dan berkembang lah strategi baru bernama "politik dinasti" or "politik nepotisme".
Di situlah titik perjumpaan antara abuse of power yang dimainkan oleh rezim sontoloyo dengan kerja-kerja bandit-bandit oligarki, lembaga peradilan dan lembaga survei. Akhirnya, politik dinasti dan nepotisme mendapat "karpet merah" untuk ikut mengambil bagian dalam perhelatan pesta demokrasi. Berbagai cara dan manuver pun dimainkan.Â
Maka, lahirlah apa yang dinamakan sebagai politik cawe-cawe dilanjutkan dengan putusan MK90 yang berujung Ketua MK, Anwar Usman, harus berurusan dengan MKMK hingga berujung mendapat sanksi pelanggaran kode etik berat sehingga diberhentikan dari Ketua MK plus tidak boleh ikut terlibat dalam sidang perkara sengketa Pemilu 2024. Meskipun, sekarang dirinya sudah kembali lagi ke MK.
Dari putusan MK90 itu kemudian melahirkan problem, anomali dan prahara baru dalam jagat perpolitikan demokrasi kita, yaitu sanksi pelanggaran kode etik yang dialamatkan kepada Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, beserta anggota-anggotanya yang diputuskan oleh DKPP. Apa lacur?Â