Dalam pembacaan terbatas yang dilakukan terhadap realitas kehidupan perempuan Lamakera, baik sebagai bagian dari keluarga besar perempuan Lamakera (karena asli orang Lamakera) maupun sebagai peneliti misalnya, tampaknya terlihat jelas beberapa karakter positif yang dimiliki dan selalu dilakukan oleh perempuan Lamakera dalam melakoni aktivitas hidup pada umumnya.
Karakter ini sangat boleh jadi dimiliki pula orang perempuan-perempuan lainnya, tetapi memiliki perbedaan dari aspek muatannya. Karena, karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi psiko-sosial, budaya dan lainnya.
Pertama; perempuan Lamakera adalah perempuan kuat dan tangguh. Karakter ini sangat mudah terlihat dalam horizon kehidupan masyarakat Lamakera pada umumnya.
Semenjak kecil hingga dewasa maupun ketika menjadi istri dan ibu, perempuan Lamakera selalu tampil sebagai sosok yang kuat dan tangguh. Mereka tidak lemah dan cengeng laiknya kebanyakan perempuan kota dan bangsawan. Perempuan Lamakera ditempa dan dididik dengan sedemikian rupa oleh lingkungan geografis, sosiologis dan budaya plus agama untuk menjadi sosok yang kuat dan tangguh dalam melakoni aktivitas hidupnya.
Contoh sederhananya adalah perempuan yang masih kecil maupun sudah besar dibiasakan untuk memikul air menggunakan ember dan bak. Ember yang digunakan biasa disesuaikan dengan usia dan struktur fisiologis perempuan. Biasa anak kecil dan badan juga pas-pasan menggunakan ember dan bak kecil. Kadang juga menggunakan ember dan bak besar.
Aktivitas semacam ini dilakukan secara rutin dengan menempuh jarak yang lumayan jauh, dari sumur ke rumah masing-masing. Bahkan kadang harus naik-turun bukit, karena banyak rumah di bagian bukit. Aktivitas ini juga biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Contoh lainnya adalah perempuan Lamakera semenjak kecil dilatih kecakapan kewirausahaan dengan dilibatkan dalam berbagai pekerjaan yang dijalankan oleh orangtuanya. Ketika orangtuanya menjual kue, nasi kuning, gorengan dan lainnya, maka anak-anaknya akan dilibatkan sebagai penjual. Entah sistem penjualannya dengan duduk menjaga barang jualannya di tempat maupun keliling kampung Lamakera seperti lazimnya. Begitu pula ketika orangtuanya membeli ikan pari (ikka balla), maka mereka pun juga dilibatkan dan atau melibatkan diri di dalamnya dengan ikut serta mengerjakan ikan pari.
Aktivitas dan kebiasaan semacam itu terus berlanjut ketika mereka menganjak dewasa lalu kemudian menikah menjadi seorang istri dan ibu. Di sana sosok mereka sebagai perempuan yang kuat dan tangguh semakin nampak terlihat dengan adanya "tanggungjawab" dan "kewajiban" (baru) yang melekat pada mereka (tentunya terlepas dari polemik dan silang pendapat di kalangan Intelektual, cendikiawan dan ulama terkait dengan "tanggungjawab" dan "kewajiban" seorang perempuan sebagai istri dan ibu) maupun menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam membangun kehidupan mereka.
Kedua; perempuan Lamakera adalah perempuan yang peduli dan bertanggungjawab. Karakter ini tampak terlihat setidak-tidaknya ketika perempuan Lamakera menjadi seorang istri dan ibu. Bukan berarti sebelum menjadi istri dan ibu alias masih anak-anak dan belum menikah mereka tidak memiliki karakter kepedulian dan akuntabilitas.
Ketika menjadi seorang istri dan ibu, perempuan Lamakera akan menggerakkan segenap potensi dan daya upayanya untuk melakukan segala sesuatu (yang positif tentunya) dalam rangka menyokong dan mensupport kehidupannya bersama suami dan anak-anaknya.
Dalam rumah tangga, kepedulian dan tanggung perempuan Lamakera ini ditandai dengan adanya keterlibatan aktif mereka dalam mencari nafkah melalui du'u hope (jual-beli), baik di kampung Lamakera itu sendiri maupun di Waiwerang, Lewoleba bahkan ada sampai merantau ke Malaysia dan lainnya.