Mohon tunggu...
Azida Fazlina
Azida Fazlina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia

20 Februari 2024   21:05 Diperbarui: 20 Februari 2024   21:22 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ANALISIS SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA

Sejarah pencatatan perkawinan yang sah sebelum disahkannya Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Adrian Bedner dan Stijn van Huis menjelaskan: " Sebelum tahun 1974, Warga Negara Indonesia  tunduk pada berbagai peraturan perkawinan yang dianut oleh pemerintah kolonial. Dengan cara yang  pragmatis, pemerintah kolonial  berusaha memasukkan seluruh warga negara ke dalam satu undang-undang." Informasi lebih lanjut mengenai pluralisme dalam undang-undang perkawinan Deklarasi Umum Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor 2 juga menyatakan: 

  1. Masyarakat adat Indonesia  yang apakah umat Islam tunduk pada hukum adat

  2. Hukum adat berlaku   

  3. Huwelijks Ordonatie Christen Indonesia (Stbl.1933 Nomor 74) untuk yang beragama kristen 

  1. Ketentuan KUH Perdata berlaku dengan beberapa perubahan bagi  warga negara Tionghoa Timur dan Indonesia keturunan Tionghoa

  1. Bagi orang asing Timur  lainnya dan warga Indonesia orang Timur asing lainnya yang berkewarganegaraan Indonesia  berlaku hukum adat

  2. KUH Perdata berlaku bagi warga negara Eropa dan  Indonesia keturunan Eropa serta orang-orang yang statusnya setara.

Bila ketujuh undang-undang perkawinan ini selesai maka akan lahir empat sistem hukum perkawinan yaitu: 

  1. Hukum Perkawinan Adat 

  2. Hukum Perkawinan Islam 

  3. Hukum Perdata (BW)

  4. Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers (HOCI)

  • Pencatatan Perkawinan Setelah Lahirnya UU Perkawinan

Pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini merupakan RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada 22 Desember 1973, yang selanjutnya diteruskan dalam Sidang Paripurna DPR-RI. Sebagai pelaksananya diundangkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Juga dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Yang melatar belakangi lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ide unifikasi hukum dan pembaharuan hukum. Ide unifikasi hukum merupakan upaya memberlakukan satu ketentuan hukum yang bersifat nasional dan berlaku untuk semua warga Negara. Sedangkan ide pembaharuan hukum pada dasarnya berusaha menampung aspirasi emansipasi tuntutan masa kini dan menempatkan kedudukan suami dan istri dalam perkawinan dalam derajat yang sama, baik terhadap hak maupun kewajiban.

Ketentuan pencatatan perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam Pasal 1 ayat (2), yaitu: ""Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Sedangkan ketentuan instansi pelaksana pencatatan perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu:

  1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

  2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Sedangkan alat bukti dari adanya peristiwa perkawinan yang sah adalah Akta Perkawinan, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11, yaitu:

  1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku,

  2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

  3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. 

Sedangkan ketentuan pencatatan perkawinan dalam KHI29 adalah:

  1. Tujuan pencatatan perkawinan, yaitu sebagai jaminan ketertiban perkawinan, sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu: "Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat."

  2. Akibat hukum perkawinan yang tidak dalam pengawasan PPN adalah tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana dalam Pasal 6, yaitu:

  3. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan. dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah,

  4. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

  5. Keberadaan akta nikah adalah sebagai bukti telah terjadi perkawinan, dan jika tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah maka dilakukan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama, sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2), yaitu:

  6. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN

Dalam perkawinan yang tidak dicatatkan jelas tidak ada bukti  adanya perkawinan itu dalam bentuk akta perkawinan, sehingga  tidak ada kepastian hukum mengenai perkawinan itu. Oleh karena itu, seorang suami yang menikah tanpa mencatatkan diri tidak dapat mengenali anak istrinya. Hal ini tentu akan mempengaruhi psikologi dan minat anak. Hak atas perlindungan hukum, pendidikan dan bantuan sosial. Pernikahan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari setiap orang. Sebagai pendahuluan dari kajian-kajian di atas, highlight atau hal penting biasanya  dilaporkan dalam bentuk teks atau gambar. Cara mudah untuk memastikan pernikahan selalu dilangsungkan adalah dengan mendaftarkan diri.

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama yang bersangkutan (Pasal 2 ayat 1). Ketentuan-ketentuan pasal ini mengandung arti bahwa suatu perkawinan sah menurut hukum apabila dilakukan menurut tata cara, kaidah, dan adat istiadat agama orang tersebut. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan berbunyi: " Tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Artinya  perkawinan apa pun agamanya tetap sah karena berdasarkan hukum masing-masing, tetapi perkawinan menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah tidak sah, meskipun mereka juga sah menurut hukum. Tidak diakui apabila pencatatan perkawinan belum diajukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan mempunyai manfaat yang sangat penting, antara lain:

  1. Perlindungan hukum pencatatan perkawinan memberikan perlindungan hukum bagi pasangan suami istri  untuk memperoleh hak-hak yang sah seperti asuransi hak waris  dan hak-hak lainnya.

  2. Kepastian kedudukan. Hal ini untuk menghindari kemungkinan perselisihan di masa depan mengenai status perkawinan.

  3. Akses terhadap layanan publik pencatatan perkawinan sangat penting untuk mengakses berbagai layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan layanan lainnya.

ANALISIS MAKNA FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, RELIGIOUS, DAN YURIDIS PENCATATAN PERKAWINAN

  1. Makna Filosofi

Penelitian perkawinan terkait mengikat janji dan komitmen antara dua individu dalam ikatan pernikahan. Pencatatan perkawinan secara simbolis saling mencintai, menghormati, dan mendukung satu sama sepanjang hidup.

  1. Makna Sosiologis

Dalam sosiolog Pencatatan perkawinan mempunyai peranan penting dalam membentuk struktur sosial dan memperlemah hubungan antar pribadi dan memperlemah hubungan antar pribadi dalam masyarakat dalam komunitas. Pangakuan dan pengesahan resmi dari hubungan suami istri oleh masyarakat dan pemerintah segera berguna untuk mencatat perkawinan. 

  1. Makna Religius

Dalam konteks agama, pencatatan perkawinan mempunyai peran penting dalam menegakkan keyakinan dan praktik keagamaan saat ini dan praktik keagamaan yang. Banyak agama mempunyai kepastianritual dan kepercayaan ritual dan kepercayaanyang harus dipatuhi untuk mengenali dan memahami kawinan yang harus dicermati agar dapat mengenal dan memahami kawinan. 

  1. Makna Yuridis

Dari sudut perspektif hukum pandang Pencatatan perkawinan mempunyai arti penting dalam bidang perlindungan hukum perlindungan hukum dan administrasi pengelolaan utang dan administrasi pengelolaan utang. Kedudukannya sehubungan dengan status paten dan paten-paten yang terkait, seperti paten, klaim asuransi, dan paten-paten lain yang diubah demi undang-undang. Selain itu, pengetahuan perkawinan juga penting untuk mengelola pendudukan guna memperoleh data akurat tentang perkawinan di suatu negara.

MENURUT PENDAPAT KELOMPOK KAMI TENTANG PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN DAN DAMPAK YANG TERJADI BILA PERNIKAHAN TIDAK DICATATKAN SOSIOLOGIS, RELIGIOUS DAN YURIDIS

Secara umum pencatatan perkawinan mempunyai keunggulan sebagai keunggulan berikut: filosofi dalam ikatan janjidan komitmen dan sosiologi dalam membentuk struktur sosial: agama dalam menjunjung tinggi keyakinan agama, dan yuridis dalam menjaga ketertiban hukum dan mengatur kependudukan.komitmen; sosiologi dalam membentuk struktur sosial, agama dalam menjunjung tinggi keyakinan agama, dan yuridis dalam menjaga ketertiban hukum dan mengatur kependudukan. Peran penting dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara dalam berbagai aspek kehidupan.

Pencatatan perkawinan, dalam konteks filosofis, juga mencerminkan konsep mengenai hubungan antara individu dengan masyarakat serta peran penting dalam membangun struktur sosial yang stabil. Hal ini menegaskan bahwa perkawinan bukan hanya mengenai ikatan dua individu, tetapi juga tentang integrasi dalam komunitas yang lebih luas. Secara sosiologis, pencatatan perkawinan dapat mempengaruhi persepsi dan status sosial pasangan dalam masyarakat, serta menentukan hak-hak dan kewajiban yang mereka miliki. Secara religius, proses pencatatan perkawinan sering kali dianggap sebagai upaya untuk mendapatkan berkat dan restu dari tuhan atau otoritas keagamaan. Dari segi yuridis, pencatatan perkawinan memberikan dasar hukum bagi pasangan untuk melindungi hak-hak mereka, seperti hak warisan, hak asuransi, dan hak untuk mengambil keputusan bersama dalam hal-hal penting. Dengan demikian, pencatatan perkawinan memiliki dimensi yang kompleks dan bermakna dalam berbagai aspek kehidupan individu dan masyarakat.

KELOMPOK 11

Azida Fazlina_222121083

Syahid Goldensyah Mahardika_222121017

Muhammad Alfin Ramadhan_222121178

Nuri Prabowo_222121193

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun