Sejarah Perang Menteng 12 Juni 1819 merupakan konflik antara Kesultanan Palembang dengan Belanda. Motif awalnya adalah keinginan Belanda untuk menguasai Kesultanan Palembang.
Konflik ini sebenarnya melibatkan Inggris dalam perebutan sumber daya alam yang ada di Palembang dan Pulau Bangka yaitu timah.
Memang, sudah sejak lama timah menjadi salah satu komiditi dagang yang diperebutkan antara negara-negara asing.
Hal ini karena timah menjadi salah satu komoditi dagang yang cukup strategis bagi Belanda, apalagi timah menjadi salah satu kebutuhan perang yang cukup penting.
Melalui berbagai sumber yang telah ditemukan tulisan ini akan mengulas tentang sejarah Perang Menteng 12 Juni 1819, latar belakang hingga takhluknya Kesultanan Palembang
- Latar Belakang Perang Menteng
Konflik antara Kesultanan Palembang dengan Belanda ini sebenarnya tidak bisa kita pisahkan dari konflik antara Inggris dan Belanda.
Memang wilayah Kesultanan Palembang waktu itu  menjadi salah satu penghasil lada yang ada di Nusantara. Tak hanya itu, wilayah Bangka Belitung yang menjadi tempat penghasil timah merupakan wlayah kekuasaan dari Kesultanan Palembang.
Latar belakang konflik ini dapat dilacak sejak masa Sultan Mahmud Badaruddin II. Beliau dikenal sebagai Sultan Palembang yang pemberani.
Salah satu pertempuran dasyat yang pernah ia pimpin adalah ketika melawan Belanda pada tahun 1811. Di dalam pertempuran tersebut Sultan Mahmud Badaruddin II keluar sebagai pemenangnya.
Setelah berkonflik dengan Belanda, Sultan Mahmud Badaruddin II juga sempat berkonflik dengan Inggris yang menginginkan wilayah tersebut. Pertempuran yang terjadi dimenangkan oleh Inggris dan Sutan Mahmud Badaruddin II menyingkir ke daerah Muara Rawas.
Mengutip dari, "Sejarah Islam Nusantara: Dari Analisis Historis hingga Arkeologis tentang Penyebaran Islam di Nusantara" (2016), Masa-masa kekosongan kekuasaan ini kemudian diganti oleh Sultan Najamudin.
Strategi yang dilakukan oleh Inggris ini sebenarnya hal yang sering terjadi di daerah-daerah lainnya. Tak hanya Inggris, Belanda pun melakukan praktek yang serupa.
Pasca kekalahan penguasa lokal, mereka akan mengangkat pemimpin yang secara keberpihakan politik bertentangan dengan penguasa sebelumnya.
Praktek adu domba ini nyatanya sukses membuat kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Mataram Islam secara perlahan terpecah belah.
Pertempuran antara Sultan Mahmud Badaruddin II melawan Inggris terus berlanjut dan berakibat pada kekalahan pihak Inggris. Sejak kekalahan tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin pun naik tahta kembali pada 13 Juli 1813.
- Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II
Naik tahtanya Sultan Mahmud Badaruddin II ini ternyata tak berlangsung lama. Pasalnya pada bulan Juni 1818 wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.
Wilayah Kesultanan Palembang yang kala itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin pun menjadi musuh pemerintahan Belanda.
Mengutip dari, "Sejarah Peradaban Islam di Indonesia" (2022), Perang Menteng yang terjadi pada tanggal 12 Juni 1819, bermula dari perlawanan rakyat pedalaman terhadap Belanda karena tertindas.
Belanda pun menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II menggerakan rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Konflik pun terjadi antara Jenderal Belanda Ideril Mungtinghe dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Terdaapat pendapat yang menyatakan bahwa sebutan Menteng ini berasal dari nama Mungtinghe yang disesuaikan dengan pengucapan orang-orang Palembang.
Jalannya peperangan ini sebenarnya cenderung lebih dinamis. Belanda sendiri sebenarnya sempat mengalami kekalahan, namun dengan berbagai intrik yang dilakukan wilayah Kesultanan Palembang pun jatuh ke tangan Jenderal Mungtinghe.
Jalannya pertempurannya ini pun terbilang cukup sengit pasukan Sultan Mahmud Badaruddin dan Jenderal Mungtinghe saling berbalas tembakan dan meriam.
Kisah pertempuran ini pun bahwa sempat dibadikan dalama sebuah syair yang berjudul "Syair Perang Menteng".
- Takhluknya Kesultanan Palembang
Kisah mengenai pertempuran Sultan Mahmud Badaruddin II ini memang menjadi salah satu pertempuran dasyat yang pernah terjadi kala itu.
Mengutip dari, "Syair Perang Palembang" (1994), kejatuhan dari Kesultanan Palembang ditandai dengan penangkapan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai tawanan ke Betawi.
Sultan Mahmud Badaruddin II bersama keluarganya pun diasingkan di Ternate. Di sinilah Sultan Mahmud Badaruddin II menghabiskan masa-masa akhir hidupnya dan meninggal pada 26 September 1852.
Pasca kehilangan sosok kharismatiknya Kesultanan Palembang pun digantikan oleh putra Sultan Mahmud Badaruddin II yaitu Pangeran Prabukesuma dan menantunya Pangeran II.
Sejak saat itulah, kepemimpinan di Kesultanan Palembang mulai berganti-ganti. Pergantian ini tergantung dari kebijakan pemerintah Belanda.
Meskipun, sejak Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat menjadi tidak terlalu berpengaruh dan menemui kekalahan. Kesultanan Palembang pun secara perlahan runtuh dan digantikan oleh Residen Kolonial Belanda.
Sumber:
Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Sumatera Selatan, "Syair Perang Palembang", Sumatera Selatan: Balaputera Dewa, Â 1994.
Rizem Aizid, "Sejarah Islam Nusantara: Dari Analisis Historis hingga Arkeologis tentang Penyebaran Islam di Nusantara", YogyakartaL Divapress, 2016.
J. Suyuthi Pulungan, "Sejarah Peradaban Islam di Indonesia", Jakarta: Amzah, 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H