Mengutip dari, "Sejarah Islam Nusantara: Dari Analisis Historis hingga Arkeologis tentang Penyebaran Islam di Nusantara" (2016), Masa-masa kekosongan kekuasaan ini kemudian diganti oleh Sultan Najamudin.
Strategi yang dilakukan oleh Inggris ini sebenarnya hal yang sering terjadi di daerah-daerah lainnya. Tak hanya Inggris, Belanda pun melakukan praktek yang serupa.
Pasca kekalahan penguasa lokal, mereka akan mengangkat pemimpin yang secara keberpihakan politik bertentangan dengan penguasa sebelumnya.
Praktek adu domba ini nyatanya sukses membuat kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Mataram Islam secara perlahan terpecah belah.
Pertempuran antara Sultan Mahmud Badaruddin II melawan Inggris terus berlanjut dan berakibat pada kekalahan pihak Inggris. Sejak kekalahan tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin pun naik tahta kembali pada 13 Juli 1813.
- Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II
Naik tahtanya Sultan Mahmud Badaruddin II ini ternyata tak berlangsung lama. Pasalnya pada bulan Juni 1818 wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.
Wilayah Kesultanan Palembang yang kala itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin pun menjadi musuh pemerintahan Belanda.
Mengutip dari, "Sejarah Peradaban Islam di Indonesia" (2022), Perang Menteng yang terjadi pada tanggal 12 Juni 1819, bermula dari perlawanan rakyat pedalaman terhadap Belanda karena tertindas.
Belanda pun menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II menggerakan rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Konflik pun terjadi antara Jenderal Belanda Ideril Mungtinghe dengan Sultan Mahmud Badaruddin II. Terdaapat pendapat yang menyatakan bahwa sebutan Menteng ini berasal dari nama Mungtinghe yang disesuaikan dengan pengucapan orang-orang Palembang.
Jalannya peperangan ini sebenarnya cenderung lebih dinamis. Belanda sendiri sebenarnya sempat mengalami kekalahan, namun dengan berbagai intrik yang dilakukan wilayah Kesultanan Palembang pun jatuh ke tangan Jenderal Mungtinghe.