Ketika masa pendudukan Jepang, Natsir memutuskan untuk bergabung bersama Majelis Islam A’la yang dikemudian hari berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Ia kemudian diangkat menjadi ketua pada tahun 1945.
- Berkonflik dengan PKI
Selama masa-masa kebangkitan PKI di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa Masyumi menjadi salah satu lawan politk yang cukup kuat. Hal inilah yang membuat PKI seringkali menjadikan Masyumi sebagai sasaran kritik.
Perbedaan pandangan politik dan ideologi antara PKI dengan Masyumi ini membuat mereka seringkali berkonflik. Bahkan, tak hanya itu konflik antara kedua belah pihak ini sampai berakhir dengan saling ejek ketika kampanye.
Mengutip Majalah Tempo, "Edisi Khusus Hari Kemerdekaan : Pergulatan Demokrasi Liberal, 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam", (2020), di suatu siang yang lembab pada September 1955. Juru kampanye Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sedari tadi “membakar” pengikutnya di alun-alun Jakarta pusat itu. Saatnya menyerang partai lawan. “Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Onta,” ujar dia.
Siang yang lain, di alun-alun yang sama, Partai Masyumi yang berhaluan Islam membalas ejekan PKI. “Jika PKI menang, lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah Kremlin, di Moskow,” ujar juru kampanye Masyumi.
Tak hanya saling lempar ejekan ketika kampanye, dalam berbagai sesi sidang kedua belah pihak seringkali memiliki perbedaan pandangan. Tak ayal membuat PKI dan Masyumi menjadi dua musuh bebuyutan.
Hubungan kedua partai ini tak jauh berbeda jika melihat pandangan politik Natsir dan Aidit. Tentu saja keduanya sama-sama memiliki pandangan yang berseberangan.
Mengutip dari, "Seri Tempo: Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim" (2011), Menurut Yusri, Natsir sering tak bisa mengendalikan emosi ketika debat dengan Aidit di parlemen. “Pak Natsir bilang, rasanya dia ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi”. Namun, faktanya sampai berakhirnya sidang, tak ada kursi yang melayang.
- Bersahabat dengan Aidit
Meskipun Natsir dan Aidit seringkali berbeda pandangan, banyak yang menyangka hubungan pribadi keduanya juga tak jauh berbeda. Namun, faktanya hubungan mereka berdua justru sebaliknya.
Mengutip buku, “Leiden is Lijden: Inspirasi Hidup, Perjuanga, Kepemimpinan, dan Mata Air Keteladanan Founding Fathers”(2017), Meskipun keduanya sering tidak akur, ketika di luar sidang, justru kedua bersahabat. Natsir sering minum kopi bersama dengan Aidit di kantin gedung parlemen. Di sela-sela mengopi itulah kedua mesra berbicang-bincang mengenai keluarga mereka.
Bahkan, selesai rapat jika tak ada tumpangan, Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit ke Pejambon. Natsir memang dikenal sebagai sosok yang anti komunis, namun jika menyangkut hubungan personal bahkan kepada Aidit, sikap Natsir sangatlah santun.