Mohon tunggu...
Azi Wansaka
Azi Wansaka Mohon Tunggu... Sejarawan - Mahasiswa Sejarah

Pengasuh @silenthistory.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah Moh. Natsir: Berkonflik dengan PKI Bersahabat dengan Aidit

13 Maret 2024   07:29 Diperbarui: 13 Maret 2024   07:32 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bukittinggikota.sikn.go.id/index.php/m-natsir 

Moh. Natsir dan DN. Aidit merupakan salah satu kisah unik dalam perjalanan sejarah tokoh-tokoh bangsa Indonesia.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua partai yang mereka pimpin seringkal berkonflik dan berbeda dalam hal ideologi.

Tak hanya itu, dalam beberapa kali sidang pun tokoh-tokoh Masyumi dan PKI seringkali berbeda pendapat yang berakhir dengan konflik.

Namun, di balik sikap politik yang berbeda Moh. Natsir dan Aidit sebenarnya terbilang cukup akrab. Bahkan keduanya seringkali berbincang-bicang selepas berdebat dalam sidang.

  • Kisah Moh. Natsir

Lukman Hakiem, dalam, “Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan”, (2019), Moh. Natsir atau yang sering ditulis M. Natsir dilahirkan pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Natsir sendiri merupakan anak dari pasangan suami-istri Idris Sutan Saripada dan Khadijah.

Sejak kecil memang Natsir sangat digembleng oleh orang tuanya untuk mendalami ajaran Islam. Hal ini agaknya berakitan dengan adat Minangkabau yang mewajibkan seorang anak laki-laki berusia 7-8 tahun untuk tidur di surau bersama teman-temannya.

Jarak rumah Natsir dengan masjid yang tak terlalu jauh juga membuat Natsir sejak kecil sudah terbiasa mengaji dan mempelajari ajaran Islam.

Natsir memang dikenal sebagai pribadi yang dekat dengan Islam. Tak hanya dalam kehidupan pribadi namun juga dalam pandangan politik. Natsir meyakini bahwa kehidupan beragama dan perpoltiikan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Pandangan ini semakin berkembang manakala ia sering bergaul bersama salah satu tokoh-tokoh pemikir Islam seperti Haji Agus Salim. Ia juga tak lupa berdiskusi dengan Soekarno, walaupun di kemudian hari ia seringkali berkonflik dengan Soekarno.

Konflik Natsir dengan Soekarno memang hanyalah sebatas hubungan pandangan dan politik saja, tidak dalam hal pribadi. Agaknya inilah yang membuat Natsir menjadi salah satu tokoh bangsa yang rendah hati dan banyak dikagumi orang-orang.

Ketika masa pendudukan Jepang, Natsir memutuskan untuk bergabung bersama Majelis Islam A’la yang dikemudian hari berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Ia kemudian diangkat menjadi ketua pada tahun 1945.

  • Berkonflik dengan PKI

Selama masa-masa kebangkitan PKI di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa Masyumi menjadi salah satu lawan politk yang cukup kuat. Hal inilah yang membuat PKI seringkali menjadikan Masyumi sebagai sasaran kritik.

Perbedaan pandangan politik dan ideologi antara PKI dengan Masyumi ini membuat mereka seringkali berkonflik. Bahkan, tak hanya itu konflik antara kedua belah pihak ini sampai berakhir dengan saling ejek ketika kampanye.

Mengutip Majalah Tempo, "Edisi Khusus Hari Kemerdekaan : Pergulatan Demokrasi Liberal, 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam", (2020), di suatu siang yang lembab pada September 1955. Juru kampanye Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sedari tadi “membakar” pengikutnya di alun-alun Jakarta pusat itu. Saatnya menyerang partai lawan. “Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Onta,” ujar dia.

Siang yang lain, di alun-alun yang sama, Partai Masyumi yang berhaluan Islam membalas ejekan PKI. “Jika PKI menang, lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah Kremlin, di Moskow,” ujar juru kampanye Masyumi.

Tak hanya saling lempar ejekan ketika kampanye, dalam berbagai sesi sidang kedua belah pihak seringkali memiliki perbedaan pandangan. Tak ayal membuat PKI dan Masyumi menjadi dua musuh bebuyutan.

Hubungan kedua partai ini tak jauh berbeda jika melihat pandangan politik Natsir dan Aidit. Tentu saja keduanya sama-sama memiliki pandangan yang berseberangan.

Mengutip dari, "Seri Tempo: Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim" (2011), Menurut Yusri, Natsir sering tak bisa mengendalikan emosi ketika debat dengan Aidit di parlemen. “Pak Natsir bilang, rasanya dia ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi”. Namun, faktanya sampai berakhirnya sidang, tak ada kursi yang melayang.

  • Bersahabat dengan Aidit

Meskipun Natsir dan Aidit seringkali berbeda pandangan, banyak yang  menyangka hubungan pribadi keduanya juga tak jauh berbeda. Namun, faktanya hubungan mereka berdua justru sebaliknya.

Mengutip buku, “Leiden is Lijden: Inspirasi Hidup, Perjuanga, Kepemimpinan, dan Mata Air Keteladanan Founding Fathers”(2017), Meskipun keduanya sering tidak akur, ketika di luar sidang, justru kedua bersahabat. Natsir sering minum kopi bersama dengan Aidit di kantin gedung parlemen. Di sela-sela mengopi itulah kedua mesra berbicang-bincang mengenai keluarga mereka.

Bahkan, selesai rapat jika tak ada tumpangan, Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit ke Pejambon. Natsir memang dikenal sebagai sosok yang anti komunis, namun jika menyangkut hubungan personal bahkan kepada Aidit, sikap Natsir sangatlah santun.

Memang tak bisa dipungkiri keteladanan tokoh-tokoh bangsa ini tak habis-habisnya jika diulas. Keakraban secara pribadi meskipun berseberangan secara ideologi. Masa-masa periode demokrasi liberal ini memang pertarungan ideologi sedang kuat-kuatnya.

Pada tahun-tahun tersebut masing-masing partai memang saling bersaing memperebutkan suara rakyat. Konflik antara partai pun tak bisa dihindari, termasuk antara PKI dan Masyumi. Namun, konflik antara keduanya tak membuat hubungan pribadi terpengaruh.

Sumber:

Dea Tantyo, “Leiden is Lijden: Inspirasi Hidup, Perjuanga, Kepemimpinan, dan Mata Air Keteladanan Founding Fathers”, Jakarta: Gramedia, 2017

Lukman Hakiem, “Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2019.

Tim Tempo, "Edisi Khusus Hari Kemerdekaan : Pergulatan Demokrasi Liberal, 1950-1959: Zaman Emas atau Hitam", Jakarta: Tempo, 2020.

Tim Tempo, "Seri Tempo: Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim", Jakarta: Tempo, 2020.

Biodata

Mantan mahasiswa sejarah yang memiliki nama lengkap Azi Wansaka dan bekerja sebagai penulis di harapanrakyat.com. Saat ini sedang menetap di Yogyakarta dan dapat dihubungi di nomor 089674462753. Biasanya juga aktif membuat konten-konten sejarah di akun @aziwansaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun