Judul Buku         : Menyingkap Tabir Hubungan Indonesia-Malaysia
Penulis             : Ali Maksum
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-602-6941-20-6
Ukuran Buku       : 145 X 210 mm
Jumlah Halaman   : XVI + 231 halaman
Penerbit            : The Phinisi Press Yogyakarta
Tahun Publikasi    : 2017
Persepsi Hubungan Indonesia-MalaysiaÂ
Sudah tidak asing ditelinga apabila kita mendengar berita "permusuhan" antara Indonesia dengan Malaysia, mulai dari pembahasan perbatasan negara bahkan hingga ranah sepak bola. Konflik yang terjadi ibarat "Kakak-Adik" kata Ali Maksum, merupakan konflik yang kompleks, meskipun mudah diselesaikan melalui jalur diplomasi namun istilah "keserumpunan" menjadi titik balik yang menimbulkan masalah baru, ibarat saudara muda yang tidak terima kelebihan yang dimiliki saudara tuanya.
Situasi konflik "Kakak-Adik" tentunya tergantung siapa yang bermain dibelakangnya, terkadang baik dan terkadang buruk. Ketika masa Soekarno menjadi Presiden Indonesia, hubungan keduanya sangatlah buruk karena Soekarno merupakan pro-komunis sedangkan Malaysia merupakan negara pro-barat. Akan tetapi Ketika masa kepemimpinan Soeharto menjadi era keharmonisan keduanya karena berada dalam sisi yang sama.
Benci, cinta, takut, dan dendam adalah sebuah bentuk personifikasi perasaan konflik Indonesia-Malaysia. Lalu apa sebenarnya satir yang menutupi kasih sayang diantara keduanya? Apakah integritas wilayah? Persaingan ekonomi? Persebaran budaya? Ataukah persaingan skor sepakbola? Ali Muhammad akan menyajikan secara terperinci dari masing-masing bidang yang menjadi sektor konflik "Kakak-Adik" ini.
Politik Ideologi
Hubungan Indonesia-Malaysia fluktuatif seiring dengan dinamika politik domestik dan internasional. Pada 1957, hubungan bilateral resmi terjalin setelah kemerdekaan Malaysia (dulu Tanah Melayu). Pembentukan Federasi Malaysia memicu konflik serius pada 1960-an. Namun, rentang waktu yang dibahas adalah 1957-2009. Ini dibagi menjadi dua periode: Perang Dingin (1957-1990) dan pasca Perang Dingin (1990-2009). Alasan utamanya adalah bahwa kasus-kasus yang mempengaruhi hubungan antara kedua negara, yang memanas pada rentang waktu tersebut, dapat lebih mudah dijelaskan secara sistematis.
      Setelah kemerdekaan Tanah Melayu (kini Malaysia) pada 1957, hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia terjalin, namun terganggu oleh politik internasional dan Perang Dingin. Isu seperti Irian Barat dan Federasi Malaysia memicu ketegangan. Indonesia melancarkan konfrontasi dan "Ganyang Malaysia," tetapi perubahan politik pasca G30S/PKI memperbaiki hubungan kedua negara. Normalisasi terjadi di bawah Jenderal Suharto, memperkuat kerja sama dalam berbagai bidang dan menghadapi tantangan geopolitik regional.
      Setelah kemerdekaan Tanah Melayu pada 1957, hubungan Indonesia-Malaysia berfluktuasi terkait isu Irian Barat dan Federasi Malaysia. Konfrontasi "Ganyang Malaysia" dilancarkan oleh Indonesia, tetapi perubahan politik pasca G30S/PKI membaikkan hubungan kedua negara. Normalisasi di bawah Jenderal Suharto memperkuat kerja sama dan menghadapi tantangan regional.
      Pada dekade 1990-an, hubungan antara Indonesia dan Malaysia mengalami perubahan yang signifikan akibat kondisi sulit yang dihadapi kedua negara. Krisis ekonomi Asia, tekanan internasional terkait demokratisasi di Asia Tenggara, dan perubahan politik di Indonesia setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998, semuanya berpengaruh terhadap sikap dan langkah politik luar negeri Indonesia dan Malaysia. Selama periode ini, terjadi ketegangan terkait isu-isu seperti perlakuan buruk terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dan sengketa perbatasan. Namun, upaya diplomasi dan perundingan dilakukan untuk mencari solusi tanpa melibatkan pengadilan internasional. Selain itu, perubahan politik dan situasi di kedua negara juga memengaruhi sikap Indonesia terhadap Malaysia.      Â
Integrasi Wilayah Harga Mati
      Mayoritas penduduk di Malaysia adalah orang Melayu, yang juga merupakan salah satu suku besar di Indonesia, terutama di wilayah Sumatra. Oleh karena itu, tak heran jika Indonesia dan Malaysia sering disebut sebagai "negara kakak-beradik". Jika kita melihat peta Indonesia, kita dapat melihat bahwa kedua negara ini berbatasan langsung di wilayah Kalimantan (Borneo). Film Tanah Surga Katanya (2012) juga memberikan gambaran bahwa banyak penduduk Indonesia di daerah perbatasan yang dengan mudahnya masuk dan keluar dari Indonesia-Malaysia. Bahkan, banyak penduduk perbatasan yang menggunakan kedua mata uang, yaitu rupiah dan ringgit, dalam transaksi jual-beli sehari-hari.
      Ali Maksum menjelaskan sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, terutama terkait Pulau Sipadan dan Ligitan. Meskipun perbatasan kedua negara sudah lama menjadi masalah, ketegangan yang serius muncul pada tahun 1980-an setelah Malaysia membuat peta resmi yang mencakup wilayah sengketa. Bukan hanya Indonesia yang menolak klaim Malaysia, tetapi juga delapan negara lain yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
      Untuk meredakan ketegangan, kedua negara melakukan serangkaian pertemuan dan membentuk komite bersama, seperti General Border Committee (GBC) dan kemudian Joint Working Group (JWG). Namun, perundingan selalu mengalami kebuntuan. Pada tahun 1996, Presiden Suharto setuju untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui Pengadilan Internasional (ICJ) di Belanda. Pada tahun 1998, kedua negara mulai mengumpulkan fakta-fakta untuk diajukan ke persidangan ICJ.
Sengketa Budaya Diatas Segalanya, Lalu Apa Arti Keserumpunan?
      Mungkin, bagi sebagian masyarakat Indonesia, persepsi terhadap Malaysia telah berubah. Malaysia tidak lagi dianggap sebagai 'adik' yang baik, karena mereka telah berani menentang Indonesia. Bahkan dalam sengketa wilayah antara Indonesia-Malaysia, Malaysia berhasil memenangkan kasus tersebut dalam pengadilan internasional. Dalam bukunya yang berjudul Menyingkap Tabir Hubungan Indonesia-Malaysia, Menguak Fakta di Balik Sengketa Dua Negara, Ali Maksum mengungkapkan pandangan yang lebih jelas tentang hubungan kedua negara tersebut.
      Hubungan antara Indonesia dan Malaysia dalam konteks Tari Pendet sebagai contoh yang diberikan Ali Maksum, mengalami ketegangan yang dipicu oleh beberapa faktor. Salah satu dari beberapa faktor yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Malaysia dalam konteks Tari Pendet adalah isu sweeping warga Malaysia di Jakarta dan ancaman agresi dari beberapa organisasi masyarakat Indonesia terhadap Malaysia. Respons yang lebih dominan dari pihak Indonesia, baik dari pemerintah maupun masyarakat, dapat dilihat dalam perang siber yang terjadi di media sosial antara kaum muda kedua negara. Di media sosial, terdapat kelompok-kelompok yang anti-Malaysia dan menyebarkan kebencian melalui gambar dan kata-kata provokatif. Di Malaysia, isu ini tidak diberitakan secara besar-besaran seperti di Indonesia. Pada akhirnya, baik Indonesia maupun Malaysia menyatakan penyesalannya terkait peristiwa ini dan berharap untuk meningkatkan hubungan antara masyarakat kedua negara.
Kesimpulan
      Membaca buku ini akan memberikan gambaran yang lebih akademis tentang dinamika hubungan diplomatik antara kedua negara. Dengan demikian, buku ini akan memberikan bantuan dalam memahami hubungan yang kompleks tersebut, yang tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang diperoleh dari media sosial yang kadang-kadang bersifat tendensius.
      Ali Maksum, seorang dosen Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), telah menyelesaikan pendidikannya di beberapa universitas. Ia memperoleh gelar sarjana dari Universitas Hang Tuah Surabaya, kemudian melanjutkan studinya di Universiti Malaysia Sabah (UMS), dan akhirnya menyelesaikan program doktoralnya di Universiti Sains Malaysia (USM). Pengalaman akademiknya di Malaysia menjadi modal penting bagi Ali Maksum dalam menganalisis hubungan antara kedua negara dari dua perspektif yang berbeda, yaitu perspektif Indonesia dan perspektif Malaysia. Kelebihan buku ini terletak pada aspek ini..
      Bagi mereka yang kurang memahami, akan mudah dipengaruhi oleh berita-berita di media sosial yang sengaja menyebarluaskan isu-isu tertentu demi kepentingan tertentu. Oleh karena itu, kehadiran buku ini menjadi sangat penting untuk dibaca oleh berbagai kalangan, termasuk dosen dan mahasiswa ilmu hubungan internasional serta masyarakat secara umum. Pasalnya, hubungan antara Indonesia dan Malaysia merupakan hubungan antara dua negara serumpun yang tidak selalu harmonis, kadang-kadang mengalami ketegangan, dan hal tersebut menjadi perhatian publik secara luas, bukan hanya bagi para ahli hubungan internasional.
      Seringkali, reaksi kita yang didasarkan pada pemahaman yang kurang lengkap malah dapat memperburuk situasi. Oleh karena itu, kita seharusnya menghindari hal tersebut. Harapannya, dengan membaca buku ini, kita dapat merespons isu-isu dalam hubungan Indonesia-Malaysia dengan lebih bijaksana. Tujuan utamanya adalah agar Indonesia-Malaysia dapat menjadi tetangga yang baik, hidup berdampingan dengan damai dan harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H