Mohon tunggu...
Azhar Gusti
Azhar Gusti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Seorang Mahasiswa yang sedang menggeluti dibidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi Buku "Menyingkap Tabir Hubungan Indonesia-Malaysia" Karya Ali Maksum Oleh Azhar Gusti

3 Juli 2023   22:34 Diperbarui: 3 Juli 2023   22:38 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Politik Ideologi

Hubungan Indonesia-Malaysia fluktuatif seiring dengan dinamika politik domestik dan internasional. Pada 1957, hubungan bilateral resmi terjalin setelah kemerdekaan Malaysia (dulu Tanah Melayu). Pembentukan Federasi Malaysia memicu konflik serius pada 1960-an. Namun, rentang waktu yang dibahas adalah 1957-2009. Ini dibagi menjadi dua periode: Perang Dingin (1957-1990) dan pasca Perang Dingin (1990-2009). Alasan utamanya adalah bahwa kasus-kasus yang mempengaruhi hubungan antara kedua negara, yang memanas pada rentang waktu tersebut, dapat lebih mudah dijelaskan secara sistematis.

            Setelah kemerdekaan Tanah Melayu (kini Malaysia) pada 1957, hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia terjalin, namun terganggu oleh politik internasional dan Perang Dingin. Isu seperti Irian Barat dan Federasi Malaysia memicu ketegangan. Indonesia melancarkan konfrontasi dan "Ganyang Malaysia," tetapi perubahan politik pasca G30S/PKI memperbaiki hubungan kedua negara. Normalisasi terjadi di bawah Jenderal Suharto, memperkuat kerja sama dalam berbagai bidang dan menghadapi tantangan geopolitik regional.

            Setelah kemerdekaan Tanah Melayu pada 1957, hubungan Indonesia-Malaysia berfluktuasi terkait isu Irian Barat dan Federasi Malaysia. Konfrontasi "Ganyang Malaysia" dilancarkan oleh Indonesia, tetapi perubahan politik pasca G30S/PKI membaikkan hubungan kedua negara. Normalisasi di bawah Jenderal Suharto memperkuat kerja sama dan menghadapi tantangan regional.

            Pada dekade 1990-an, hubungan antara Indonesia dan Malaysia mengalami perubahan yang signifikan akibat kondisi sulit yang dihadapi kedua negara. Krisis ekonomi Asia, tekanan internasional terkait demokratisasi di Asia Tenggara, dan perubahan politik di Indonesia setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998, semuanya berpengaruh terhadap sikap dan langkah politik luar negeri Indonesia dan Malaysia. Selama periode ini, terjadi ketegangan terkait isu-isu seperti perlakuan buruk terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dan sengketa perbatasan. Namun, upaya diplomasi dan perundingan dilakukan untuk mencari solusi tanpa melibatkan pengadilan internasional. Selain itu, perubahan politik dan situasi di kedua negara juga memengaruhi sikap Indonesia terhadap Malaysia.           

Integrasi Wilayah Harga Mati

            Mayoritas penduduk di Malaysia adalah orang Melayu, yang juga merupakan salah satu suku besar di Indonesia, terutama di wilayah Sumatra. Oleh karena itu, tak heran jika Indonesia dan Malaysia sering disebut sebagai "negara kakak-beradik". Jika kita melihat peta Indonesia, kita dapat melihat bahwa kedua negara ini berbatasan langsung di wilayah Kalimantan (Borneo). Film Tanah Surga Katanya (2012) juga memberikan gambaran bahwa banyak penduduk Indonesia di daerah perbatasan yang dengan mudahnya masuk dan keluar dari Indonesia-Malaysia. Bahkan, banyak penduduk perbatasan yang menggunakan kedua mata uang, yaitu rupiah dan ringgit, dalam transaksi jual-beli sehari-hari.

            Ali Maksum menjelaskan sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, terutama terkait Pulau Sipadan dan Ligitan. Meskipun perbatasan kedua negara sudah lama menjadi masalah, ketegangan yang serius muncul pada tahun 1980-an setelah Malaysia membuat peta resmi yang mencakup wilayah sengketa. Bukan hanya Indonesia yang menolak klaim Malaysia, tetapi juga delapan negara lain yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

            Untuk meredakan ketegangan, kedua negara melakukan serangkaian pertemuan dan membentuk komite bersama, seperti General Border Committee (GBC) dan kemudian Joint Working Group (JWG). Namun, perundingan selalu mengalami kebuntuan. Pada tahun 1996, Presiden Suharto setuju untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui Pengadilan Internasional (ICJ) di Belanda. Pada tahun 1998, kedua negara mulai mengumpulkan fakta-fakta untuk diajukan ke persidangan ICJ.

Sengketa Budaya Diatas Segalanya, Lalu Apa Arti Keserumpunan?

            Mungkin, bagi sebagian masyarakat Indonesia, persepsi terhadap Malaysia telah berubah. Malaysia tidak lagi dianggap sebagai 'adik' yang baik, karena mereka telah berani menentang Indonesia. Bahkan dalam sengketa wilayah antara Indonesia-Malaysia, Malaysia berhasil memenangkan kasus tersebut dalam pengadilan internasional. Dalam bukunya yang berjudul Menyingkap Tabir Hubungan Indonesia-Malaysia, Menguak Fakta di Balik Sengketa Dua Negara, Ali Maksum mengungkapkan pandangan yang lebih jelas tentang hubungan kedua negara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun