"Kalian pacaran?"
Aku dan Lia langsung kagok mendapat pertanyaan itu, dan reflek menggeleng. Cepat kujelaskan bahwa aku dan Lia hanya teman. Bisa gawat kalau gadis ini menyangka aku sudah punya pacar. Bisa hancur semua kemungkinan pendekatan.
"Oh begitu. Menyenangkan ya, punya teman yang bisa diandalkan. Coba lihat aku, lebih sering kemana-mana sendiri."
"Tidak kok, Syif. Kamu punya banyak teman. Aku salah satunya."
"Iya juga ya. Kamu teman yang menyenangkan, Lia."
Tak lama setelah itu, bakso pesanan kami datang. Seiring makan bakso, Lia dan Syifa asyik membahas bakso enak mana saja yang pernah mereka cicipi, dan mana yang belum. Sementara aku hanya diam saja, tapi mata sibuk bermain ke sana kemari. Kau tahu kawan, katanya perempuan itu makannya lebih lambat dibanding pria. Namun hari itu, aku makan 7 kali lebih lambat dibanding Lia. Bagaimanalah, aku lebih asyik curi-curi pandang ke arah gadis bermata cemerlang di seberangku ini.
"Hei Azka, kok baksonya tidak berkurang. Kamu tidak doyan ya."
Ditanya begitu, aku gelagapan lagi. Untunglah Lia terlatih mengambil alih situasi.
"Azka itu master matematika. Barangkali dia makan sambil berhitung. Supaya pas, habisnya di menit keberapa, detik keberapa."
Syifa tertawa atas humor Lia itu sejenak, tapi kemudian dia berpaling ke arahku. "Kamu jago matematika, Az?"
"Iya, sedikit."