"Tidak, bukan seperti itu."
"Ciye, Azka."
"Bukan seperti itu, Lia."
"Oh bukan, kalau begitu ya sudah. Padahal aku mau mempertemukan kalian, tapi kalau kamu cuma mau iseng, sebaiknya tak usah ya."
"Hei, Lia, tunggu!" aku gelagapan, kudekati lagi dia lalu kukatakan dengan lirih, "baiklah, aku, dan gadis itu, ah bagaimana aku mengatakannya ya, oke, oke, aku tertarik. Aku tertarik dengannya, aku ingin mengenalnya lebih jauh."
Geleng-geleng kepala Lia mendengar kalimatku. "Kamu ini Az, gengsinya tinggi sekali. Kalau suka ya tinggal bilang. Apa susahnya."
Lia ini sahabatku kawan. Sebenarnya Aram, Wahid dan Nasri juga terhitung sahabat, atau teman dekatlah. Namun, hanya dengan Lia aku mau terbuka soal sensitif. Termasuk soal perasaan macam ini. Karena aku tahu, meskipun Lia juga bisa mengejek, tapi dia akan membantuku. Seperti sekarang, dia mengajakku ke kantin saat istirahat kedua.
"Kita mau kemana, Lia?"
"Sudah Az, ikuti saja aku. Katanya mau ketemu Syifa, ya kita harus datangi warung tempat Syifa sering makan dong."
"Dimana dia sering makan?"
"Warung bakso sebelah sana. Nah itu dia, orangnya sudah kelihatan dari sini."