Mimpiku malam itu kawan, ternyata juga membuatku tersenyum, dan aku juga bangun pagi dalam keadaan tersenyum. Makan pagi dengan tersenyum, berangkat sekolah dengan tersenyum, masuk ke lokal 4 sambil tersenyum, dan melihat Aram, aku kembali teringat siksa neraka dan hari kebangkitan.
“Benar-benar mimpi yang merepotkan.”
“Paradoks ya bung,” sela Nasri seolah membaca pikiranku.
“Apa maksudmu?”
“Kau merasa semua seolah buruk, padahal sebenarnya yang kau rasakan itu adalah kesenangan. Jadi itu baik atau buruk.”
Mengoceh! Itulah yang kudengarkan dari mulut Nasri. Aku jadi pusing, jadilah aku pergi lagi, keluar dari lokal dan berjalan-jalan di lorong. Di sana aku bertemu dengan Lia yang baru datang.
“Selamat pagi, Az. Tumben berdiri di sini pagi-pagi. Nungguin siapa hayo?”
“Eh tidak. Aku cuma, cari angin saja. Sumpek di dalam kelas.”
“Baru datang kok sumpek, Az. Ada-ada saja kamu. Ya sudah.”
Lia pun berlalu.
Hari itu menjadi hari yang sangat panjang bagiku kawan, sebab aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Aku gelisah seolah-olah besok hari pertama masuk kerja padahal aku adalah fresh graduate. Bergerak ke sini salah, tiduran salah, jongkok di kursi juga salah. Salah semua pokoknya. Baru saat lonceng istirahat pertama berbunyi dan Aram mengajak ke kantin.