Selamat pagi, kawan.
Pagi ini kukirimkan doa untukmu kawan, bagi sesiapapun yang sedang merasa bersedih hatinya semoga lekas menemukan bahagianya kembali, dan bagi sesiapapun yang sedang tipis kantongnya dan defisit keuangannya, silakan kirim pesan ke aku, nanti dengan senang hati, kuceritakan aku juga tak kalah melaratnya.
Kemarin kawan, setelah rekaman pertamaku tentang Seni Mencintai Masa Lalu mengudara, aku mendapatkan beberapa pesan. Pesan-pesan itu bernada meragukan, skeptis, dan mendebat. Singkatnya, mereka mempertanyakan soal “mencintai masa lalu”, dan menganggap itu buruk. Alasannya adalah, masa lalu mereka terlalu kelam untuk diingat-ingat.
Aku minta maaf kawan. Jika ada lebih dari satu kawanku yang tersinggung karena konsep mencintai masa lalu yang kutawarkan. Aku akui, mungkin dalam pandangan beberapa orang, aku ini belum pernah merasakan momen pahit yang akan membekas jadi kenangan kelam dan masa lalu yang ingin dilupakan. Aku mungkin belum mengalami hal tersebut.
Aku belum merasakan ditinggal orang tersayang ke alam baka, aku belum pernah ditipu hingga rugi jutaan rupiah, aku belum pernah kena timpa pohon besar yang nyaris membuat nyawa lunas, atau aku belum pernah dikejar kambing yang sedang nafsu kawin. Aku akui kawan, aku belum pernah mengalami itu semua. Sehingga wajar, jika ada dari kalian yang melempar tuduhan bahwa aku hanya “sok tahu” soal mencintai masa lalu.
Namun kawan, sebagaimana kebahagiaan, tidak ada cara untuk mengukur seberapa menyakitkannya sebuah momen yang kini menjadi masa lalu itu. Setiap orang beda-beda sisi dramatisnya. Ada yang baru ditinggal meninggal keluarga terdekat, tapi wajahnya senang seperti baru bebas dari penjara. Ada yang kehilangan kucingnya, mati ditabrak mobil, tapi dia bersedih selama seminggu penuh. Sekali lagi, kadar kesedihan setiap orang berbeda-beda. Sehingga jika aku menyuruh untuk mengubah setiap momen kelam itu menjadi kenangan yang pantas buat diingat, itu tidak hanya bodoh. Itu gila kawan.
Kawan, ada beberapa hal yang ingin kuberitahu padamu. Pertama, istilah masa lalu itu kini sudah mulai terkorupsi maknanya. Kita terbiasa menafsirkan masa lalu dengan konotasi negatif, sebab ada banyak konten-konten, beragam bentuknya, yang mengarahkan kita ke sana.
Ada berapa banyak gambar atau video kata kutipan tentang kegalauan, masa lalu, dan melupakan yang diunggah dan di-like di Instagram. Ada berapa banyak lagu tentang masa lalu, melupakan atau berdamai, telah digubah, didengarkan atau bahkan dinyanyikan orang di seluruh dunia? Ada berapa banyak buku best-seller yang berkisah tentang masa lalu, kegalauan atau barangkali bangkit dari keterpurukan yang dibaca orang?
Sadar atau tidak, kita sudah terbiasa menafsirkan masa lalu ke arah tersebut. Aku tahu, maksudnya baik. Baik sekali. Semua berisikan ajakan untuk berhenti mengingat-ingat, berdamai, lalu fokus hidup di masa sekarang ataupun masa depan. Betul itu, betul. Namun ada cara lain yang bisa membuat hidup kita, menjadi berarti dan bermakna.
Kawan, para bijak mengatakan pada kita, waktu adalah uang. Entah para bijak mana yang memulai peribahasa tersebut, tapi itu benar. Menurutku, hal paling berharga di dunia ini adalah uang.
Eh salah, maksudku, yang paling berharga dan mahal itu adalah waktu. Kesehatan itu berharga dan mahal, tapi sekarang orang yang berduit, para sultan itu, bisa membeli kesehatan mereka dengan lebih baik. Mereka bisa bayar biaya rumah sakit semahal apapun untuk membikin mereka sehat kembali. Tapi waktu? Waktu terus bergulir. Tidak ada yang bisa menghentikannya.
Tidak ada yang bisa kembali ke saat yang sama. Misal kau putar rekaman ini di hari Rabu tanggal 2 Agustus jam 8.19 pagi misalnya. Rekaman ini bisa saja kau ulang di lain waktu, tapi kau tidak akan bisa mengulang tanggal 2 Agustus jam 8.19. Tidak bisa. Tidak ada orang yang bisa kembali ke masa lalu, tak peduli sekaya apapun dia.
Inilah yang ingin kukatakan. Kawan, sadari waktu kita itu cuma ada sekali saja. Setiap detik, itulah detik kehidupan kita. Tak akan terulang lagi. Ketika kita telah menyadari hal tersebut, sadarilah, setiap detik yang telah kita lewati, itu namanya masa lalu. Sudah berapa detik masa lalumu? Barangkali jutaan ya. Aku tidak menyuruhmu untuk melakukan hal sulit kawan, aku cuma ingin menunjukkan bahwa dua detik yang lalu, itu adalah masa lalumu, dan itu tidak akan terulang kembali. Apakah kamu sudah mengerti maksudku? Karena kita akan masuk ke gambaran yang lebih besar.
Oke, barangkali dari kalian ada yang sudah berkuliah di universitas ternama. Atau sedang menempuh rame-ramenya masa SMA, atau sedang di SMP atau SD, whatever-lah. Aku ingin bicara dengan para mahasiswa sajalah dulu. Yang lain bisa menyesuaikan saja. Bayangkan, ingat-ingat kembali masa SMA-mu. Ternyata itu menyenangkan ya. Kalian belum disusahkan dengan tugas yang jauh lebih seabrek saat kuliah.
Bagi yang sekarang kerja part time demi mencukupi biaya kuliah, barangkali akan teringat bahwa dulu saat SMA belum dituntut untuk bekerja, bisa berleha-leha. Enak ya? Atau yang dulu saat di SMA bisa bolos seenaknya, ngumpet-ngumpet, sekarang susah sebab dosen teliti sekali mengabsen. Enak ya dulu pas SMA? Jauh lebih enak daripada saat kuliah. Kuliah bikin pusing saja.
Nah, kawan, aku tahu, membanding-bandingkan itu memang buruk, tapi aku harus melakukannya demi menunjukkan ini pada kalian. Kalian yang saat ini sedang kuliah, entah itu semester 2, 4, 7, 9 atau bahkan 14, sekarang bayangkan. Setiap hari masa kuliah kalian terus berlalu. Di depan sana, cepat atau lambat, kalian akan meninggalkan kampus, entah lulus diwisuda, atau drop-out. Begitu itu terjadi, masa kuliah, hanya tinggal masa lalu. Yang dihadapi di hari-hari setelah kelulusan sungguh tidak enak. Mencari kerja, tuntutan tinggi dari orang tua (berlaku bagi generasi sandwich), sampai pertanyaan horror, kapan nikah. Percayalah, kalau kalian sudah sampai di tahap ini, kalian akan menengok kembali masa lalu, dan bilang, “ah ternyata enakan zaman kuliah ya”. Loh bukannya tadi kuliah bikin pusing?
Yang ingin kukatakan kawan, dengan mengingat bahwa setiap hari yang dijalani akan menjadi masa lalu yang menjurus pada, “ah enakan pas jaman-jaman itu dulu”, maka kita akan lebih bersyukur. Nikmati setiap hari dengan baik. Tarik nafasmu kuat-kuat kawan, nikmati anugerah Tuhan sebelum token listrik di rumahmu berbunyi dan binimu marah-marah. Hari-hari ini sangat berharga.
Jadi kawan, masa lalu bukan cuma tentang hal-hal kelam. Tapi juga kenangan indah. So, jalanilah hari-harimu dengan tersenyum, sebab suatu saat nanti, saat kamu sedang mengingatnya, kamu akan membatin dalam hati. “Ah enak banget tuh jaman-jaman itu. Gak kayak sekarang.”. Bersemangatlah kawan, buat hari ini menjadi menyenangkan, agar kelak, kamu bisa mengenang hari-hari ini, masa lalumu, menjadi menyenangkan. Dan beginilah cara masa lalu, membantu kita untuk hidup lebih baik.
Well, jadi bagaimana kawan, dapatkah kamu menerima insight yang kubagi hari ini? Semoga bermanfaat ya, perbincangan kita dan apa yang kubagi hari ini. Sekian dariku, dan aku pamit undur.....
Hei, hei sebentar. Perbincangan ini jadi menjurus pada ketakutan akan masa depan yang jauh lebih sulit dari masa sekarang. Adakah dari kawan yang sudah berpikir demikian? Jangan khawatir. Karena aku, selain belajar untuk mencinta masa lalu, dan menikmati masa sekarang, aku juga belajar untuk tidak merisaukan masa depan. Nanti kubagi ceritanya denganmu kawan.
Untuk sementara, cukup kamu ingat kalimat ini. “Apa hakku mencampuri masa depan, sebab tidak ada jaminan aku masih bisa melihat matahari lagi esok hari”. Baik, sekian dariku, Ini aku Azhar, dan untukmu, semoga kebahagiaan senantiasa menyertaimu. Salam kebahagiaan dariku, kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H