Mohon tunggu...
Saikhunal Azhar
Saikhunal Azhar Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis akan mati, tapi karyanya akan tetap abadi. karena itu menulislah untuk kebahagiaanmu di akhirat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Kartini, Membangun Paradigma Baru Lewat Wacana

5 April 2016   22:39 Diperbarui: 5 April 2016   23:01 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang acapkali terlibat dalam sebuah perdebatan dengan orang lain gara-gara sudut pandang pemikiran yang berbeda. Meskipun sebenarnya mereka sama-sama benar. Sebuah perbincangan yang tak akan pernah ketemu dimana pangkal dan ujungnya, misalnya tentang tebak-tebakan—duluan mana ayam sama telur. Pihak yang satu menjawab lebih dulu telur. Kemudian pihak yang lain menyanggah karena menurut dia telur dikeluarkan ayam, jadi lebih dulu ayam. 

Perumpamaan lain misalnya, berat mana besi satu ton dengan kapas 1 ton. Seorang anak kecil yang belum mengerti tentang hitungan berat barangkali akan menjawab lebih berat besi. Mengapa? Karena dia membayangkan berat barang tersebut berdasarkan wujud material fisiknya. Hal ini sama halnya perbedaan pendapat yang pernah terjadi tentang bentuk bumi pada masa lampau. Hecateus, yaitu bangsa Yunani kuno yang hidup pada kurang lebih 500 tahun Sebelum Masehi mengatakan bahwa bumi berbentuk datar atau kotak persegi panjang. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Aristoteles (340 SM) dan Archimedes (250 SM) yang mengatakan bahwa bumi berbentuk bulat seperti bola.

Perbedaan yang terjadi dalam contoh di atas  adalah cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal. Cara pandang yang berbeda terhadap hal yang sama itu terjadi karena perbedaan pengetahuan yang dimiliki masing-masing orang. Jadi cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut tentang sesuatu yang dipandangnya. Inilah yang ingin saya katakan dengan paradigma.

Dari contoh-contoh yang saya paparkan di atas, jelas sekali bahwa cara pandang seseorang tentang sesuatu akan berpengaruh terhadap kesimpulan yang dihasilkan. Hal ini juga pada akhirnya juga akan mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Cara pandang yang salah tentunya akan menghasilkan kesimpulan yang salah, sehingga tindakan yang akan diambil pun tentunya akan salah. Dari pangkal pikir yang berbeda inilah, sekalipun objek yang dilihat sama, akan memunculkan persepsi dan interpretatif yang tidak sama.

Istilah paradigma sendiri pada mulanya dimunculkan dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh yang memunculkan dan mengembangkan istilah ini adalah Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1970). Istilah paradigma digunakan untuk menyebut adanya suatu pola pikir yang dipengaruhi oleh pemahaman interpretatif seseorang baik secara individu maupun kolektif terhadap gugus pengetahuan yang dimiliki.

Menurut saya, paradigma sangat penting untuk dimiliki bagi seorang calon penulis, lebih-lebih tulisan yang ditujukan untuk khalayak pembaca. Bahkan saking pentingnya, saya berpendapat semua orang harus memiliki paradigma yang kuat sebagai pijakan untuk berpikir, bersikap dan melangkah dalam hidup ini. Mengapa? Karena dengan memiliki paradigma yang benar kita akan melihat sesuatu secara benar, obyektif. Dengan pemikiran yang obyektif semua persoalan akan bisa diatasi. Di sinilah letak peran pentingnya paradigma bagi seorang calon penulis. Karena melalui hal itu, penulis akan bisa menjalankan misinya dengan baik, yaitu misi membangun wacana untuk memberdayakan umat manusia. Membangun wacana untuk mengatasi berbagai problematika, dan membangun wacana untuk menebar kedamaian diantara sesama.

Sahabat, menyikapi perkembangan zaman yang semakin pesat dewasa ini, di mana kita semakin dihadapkan dengan berbagai persoalan yang terjadi silih berganti dengan tingkat kompleksitas yang semakin rumit. Kita lihat dinamika sosial ekonomi yang semakin tidak tentu arah. Banyak pabrik gulung tikar di mana-mana dan berdampak terjadinya PHK massal. Daya beli masyarakat menurun karena tingkat pengangguran terbuka semakin tinggi. Sementara di panggung kekuasaan sana, para elite seolah sibuk dengan urusannya sendiri. Ada yang tengah berjuang untuk melanggengkan kekuasaannya. 

Ada yang tengah berjuang untuk memperkaya dirinya. Saling sikut dan saling tendang seolah terjadi tiada henti dalam pemberitaan televisi. Kompleksitas masalah yang terjadi di tengah kehidupan sosial kita tersebut tentu harus disikapi dengan cara pandang yang tepat. Seorang calon penulis seolah ditantang bagaimana bisa memberikan sumbangan pemikiran untuk memberikan solusi atas semua fenomena yang terjadi. Nah, itu semua membutuhkan paradigma yang tidak biasa. Dibutuhkan pemikiran yang berbeda dan segar. Dalam situasi yang semakin carut marut seperti ini dibutuhkan wacana yang jernih. Bukan justru sebaliknya, malah menambah keruh suasana.

Saya ingin mengajak Sahabat sejenak menengok ke belakang, jauh ke masa silam. Tepatnya pada masa RA Kartini. Meskipun situasinya berbeda dengan fenomena yang sedang kita hadapi dewasa ini. Namun apa yang dilakukan RA Kartini ketika itu bisa menginspirasi kita pada masa kini. Saya kira ini tidak mudah, karena RA Kartini berjuang seorang diri melawan adat dan tradisi yang membelenggu kaumnya ketika itu. Meskipun RA Kartini secara pribadi sebenarnya hidup dalam keadaan yang sangat nyaman (comfort zone), karena ia termasuk dalam kalangan bangsawan. Sehingga apa yang dibutuhkan tentunya tak pernah kekurangan. Namun tidak demikian RA Kartini. Ia memiliki pandangan berbeda terhadap situasi zamannya. Kenyamanan yang ia dapatkan di lingkungan keluarganya yang ningrat ternyata tidak serta merta menutup mata batin seorang Kartini untuk melihat fenomena di luar. Di mana kaum perempuan benar-benar terpasung dan terbelenggu oleh adat dan tradisi yang diciptakan oleh kolonial Hindia Belanda. Kaum perempuan praktis hanya menjadi – istilah dalam bahasa Jawa-- kanca wingking. 

Ya hanya melayani suami. Tidak diberikan kebebasan untuk berkarya, belajar, bahkan aktivitas di luar rumah pun sangat dibatasi. Kaum perempuan sungguh tidak berdaya melawan adat tradisi itu. Ya diterima saja keadaan itu sebagai kodrat kaum perempuan, bahkan tidak ada yang protes sebelumnya. Apa yang kemudian dilakukan Kartini?, sementara ia sendiri sesungguhnya mengalami hal yang sama seperti yang dialami kaum perempuan lainnya. Aktivitasnya sangat dibatasi, tidak bisa seenaknya melakukan apa saja di luar rumah.

Pramudya Ananta Toer, dalam “Panggil Aku Kartini Saja”, sebuah novel sejarah yang ditulis dengan sangat menggugah (terbit pada 1962, dicetak ulang oleh Hasta Mitra, 2000) menuturkan, meski sangat menyayangi ayahnya, sebenarnya Kartini keberatan (meski tak kuasa menolak) dengan berbagai perlakuan feodal sebagaimana layaknya yang terjadi di zaman itu.

Jadi, hubungan Kartini dengan ayahnya bisa dibilang hubungan “benci tapi rindu.” Sebagai anak Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosroningrat, Kartini mendapat perlakuan sebagaimana layaknya anak golongan bangsawan lainnya, dan ia sebenarnya tak menyukai perlakuan istimewa itu. Bentuk penolakan itu tampak jelas dari keinginannya untuk dipanggil tanpa gelar bangsawan atau panggilan kebesaran, seperti termuat di salah satu suratnya ke Estelle Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899 yang berbunyi: “Panggil aku Kartini saja—itulah namaku.”

Kartini tidak menyerah begitu saja. Dengan paradigma yang berbeda itulah Kartini mulai mengatur strategi untuk memberdayakan kaumnya. Ia mulai mendobrak tradisi yang membelenggu itu dengan “curhat” mengungkapkan pemikirannya melalui surat yang ia tulis tangan dalam bahasa Belanda. Surat-surat itu ia kirimkan kepada sahabat penanya di Belanda seperti Mr JH Abendanon dan Nyonya Abendanon, Annie Glaser, Stella, Mr van Kol, dll. Dari surat-surat Kartini itu, tampak sekali kalau ia memiliki cara pandang yang jauh ke depan, pemikiran yang memberdayakan. Tidak hanya makna yang tersimpan dalam kata-katanya, diksi dan tata bahasanya pun sangat memberdayakan untuk ukuran zaman itu, bahkan sampai kini. Keberanian Kartini dalam membangun paradigma baru di zaman itu dan kepiawaiannya menuangkan gaya pikirnya dalam tulisan yang sarat makna, sungguh menginspirasi saya khususnya, mungkin juga Anda di zaman ini.

Kumpulan surat Kartini itu kemudian disusun oleh Mr. JH Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Pemerintah Hindia-Belanda, menjadi sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini”. Buku ini diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Konon judul itu diambil karena judul itu yang paling sering dipakai RA Kartini dalam surat-suratnya tersebut.

Wajar saja kalau kemudian Pramudya Ananta Toer, berpendapat bahwa Kartini bukan sebatas pejuang emansipasi wanita, melainkan juga pemikir modern Indonesia yang pertama! Bahkan menurutnya, tanpa adanya sosok Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin terjadi. Kartini menggambarkan masyarakat pribumi di masanya sebagai rimba-belantara yang gelap gulita. Obor-obor yang diharapkannya jadi penerangan dalam kegelapan itu, tanpa malu-malu diakuinya adalah intelektualitas Eropa, yang belum juga dimiliki oleh kaum pribumi.

Saya benar-benar tercengang, membaca cara pandang Kartini yang memberdayakan itu. Bagi saya Kartini tidak hanya menelurkan paradigma baru, namun juga menegaskan bahwa perjuangan lewat wacana jauh lebih mengena dari pada lewat gerakan fisik yang tidak mungkin dilakukan pada zaman itu. Demikian halnya pada saat ini, perjuangan yang dilakukan melalui wacana hemat saya tetap lebih efektif sekaligus efisien dari pada aksi turun ke jalan. Pada prinsipnya, pesan yang ingin saya sampaikan kepada Sahabat semua adalah, kita harus senantiasa memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi situasi sosial dan fenomena yang terjadi saat ini. 

Cara pandang yang berbeda itu maksud saya adalah pemikiran yang obyektif, jernih tanpa tendensi, jujur tanpa mengatur atau mendikte dan merdeka tanpa berprasangka. Ini semua menurut saya yang dibutuhkan seseorang yang ingin berkiprah melalui tulisannya. Setidaknya cara pandang yang saya katakan ini, akan mengimbangi wacana tendensius yang dilakukan oleh beberapa media. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejumlah media yang ada saat ini patut diragukan kejujuran dan obyektivitasnya. Sehingga yang terjadi bukan menyejukkan suasana, namun justru sebaliknya menambah masalah yang terjadi semakin membara.

Dengan cara pandang yang baik, kita akan mampu membangun wacana yang baik. Yaitu sebuah wacana yang mengedepankan sikap arif dan bijaksana dalam menyelesaikan semua persoalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun