Mohon tunggu...
Saikhunal Azhar
Saikhunal Azhar Mohon Tunggu...

Penulis akan mati, tapi karyanya akan tetap abadi. karena itu menulislah untuk kebahagiaanmu di akhirat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Kartini, Membangun Paradigma Baru Lewat Wacana

5 April 2016   22:39 Diperbarui: 5 April 2016   23:01 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi, hubungan Kartini dengan ayahnya bisa dibilang hubungan “benci tapi rindu.” Sebagai anak Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosroningrat, Kartini mendapat perlakuan sebagaimana layaknya anak golongan bangsawan lainnya, dan ia sebenarnya tak menyukai perlakuan istimewa itu. Bentuk penolakan itu tampak jelas dari keinginannya untuk dipanggil tanpa gelar bangsawan atau panggilan kebesaran, seperti termuat di salah satu suratnya ke Estelle Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899 yang berbunyi: “Panggil aku Kartini saja—itulah namaku.”

Kartini tidak menyerah begitu saja. Dengan paradigma yang berbeda itulah Kartini mulai mengatur strategi untuk memberdayakan kaumnya. Ia mulai mendobrak tradisi yang membelenggu itu dengan “curhat” mengungkapkan pemikirannya melalui surat yang ia tulis tangan dalam bahasa Belanda. Surat-surat itu ia kirimkan kepada sahabat penanya di Belanda seperti Mr JH Abendanon dan Nyonya Abendanon, Annie Glaser, Stella, Mr van Kol, dll. Dari surat-surat Kartini itu, tampak sekali kalau ia memiliki cara pandang yang jauh ke depan, pemikiran yang memberdayakan. Tidak hanya makna yang tersimpan dalam kata-katanya, diksi dan tata bahasanya pun sangat memberdayakan untuk ukuran zaman itu, bahkan sampai kini. Keberanian Kartini dalam membangun paradigma baru di zaman itu dan kepiawaiannya menuangkan gaya pikirnya dalam tulisan yang sarat makna, sungguh menginspirasi saya khususnya, mungkin juga Anda di zaman ini.

Kumpulan surat Kartini itu kemudian disusun oleh Mr. JH Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Pemerintah Hindia-Belanda, menjadi sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini”. Buku ini diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Konon judul itu diambil karena judul itu yang paling sering dipakai RA Kartini dalam surat-suratnya tersebut.

Wajar saja kalau kemudian Pramudya Ananta Toer, berpendapat bahwa Kartini bukan sebatas pejuang emansipasi wanita, melainkan juga pemikir modern Indonesia yang pertama! Bahkan menurutnya, tanpa adanya sosok Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin terjadi. Kartini menggambarkan masyarakat pribumi di masanya sebagai rimba-belantara yang gelap gulita. Obor-obor yang diharapkannya jadi penerangan dalam kegelapan itu, tanpa malu-malu diakuinya adalah intelektualitas Eropa, yang belum juga dimiliki oleh kaum pribumi.

Saya benar-benar tercengang, membaca cara pandang Kartini yang memberdayakan itu. Bagi saya Kartini tidak hanya menelurkan paradigma baru, namun juga menegaskan bahwa perjuangan lewat wacana jauh lebih mengena dari pada lewat gerakan fisik yang tidak mungkin dilakukan pada zaman itu. Demikian halnya pada saat ini, perjuangan yang dilakukan melalui wacana hemat saya tetap lebih efektif sekaligus efisien dari pada aksi turun ke jalan. Pada prinsipnya, pesan yang ingin saya sampaikan kepada Sahabat semua adalah, kita harus senantiasa memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi situasi sosial dan fenomena yang terjadi saat ini. 

Cara pandang yang berbeda itu maksud saya adalah pemikiran yang obyektif, jernih tanpa tendensi, jujur tanpa mengatur atau mendikte dan merdeka tanpa berprasangka. Ini semua menurut saya yang dibutuhkan seseorang yang ingin berkiprah melalui tulisannya. Setidaknya cara pandang yang saya katakan ini, akan mengimbangi wacana tendensius yang dilakukan oleh beberapa media. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sejumlah media yang ada saat ini patut diragukan kejujuran dan obyektivitasnya. Sehingga yang terjadi bukan menyejukkan suasana, namun justru sebaliknya menambah masalah yang terjadi semakin membara.

Dengan cara pandang yang baik, kita akan mampu membangun wacana yang baik. Yaitu sebuah wacana yang mengedepankan sikap arif dan bijaksana dalam menyelesaikan semua persoalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun