Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang acapkali terlibat dalam sebuah perdebatan dengan orang lain gara-gara sudut pandang pemikiran yang berbeda. Meskipun sebenarnya mereka sama-sama benar. Sebuah perbincangan yang tak akan pernah ketemu dimana pangkal dan ujungnya, misalnya tentang tebak-tebakan—duluan mana ayam sama telur. Pihak yang satu menjawab lebih dulu telur. Kemudian pihak yang lain menyanggah karena menurut dia telur dikeluarkan ayam, jadi lebih dulu ayam.
Perumpamaan lain misalnya, berat mana besi satu ton dengan kapas 1 ton. Seorang anak kecil yang belum mengerti tentang hitungan berat barangkali akan menjawab lebih berat besi. Mengapa? Karena dia membayangkan berat barang tersebut berdasarkan wujud material fisiknya. Hal ini sama halnya perbedaan pendapat yang pernah terjadi tentang bentuk bumi pada masa lampau. Hecateus, yaitu bangsa Yunani kuno yang hidup pada kurang lebih 500 tahun Sebelum Masehi mengatakan bahwa bumi berbentuk datar atau kotak persegi panjang. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Aristoteles (340 SM) dan Archimedes (250 SM) yang mengatakan bahwa bumi berbentuk bulat seperti bola.
Perbedaan yang terjadi dalam contoh di atas adalah cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal. Cara pandang yang berbeda terhadap hal yang sama itu terjadi karena perbedaan pengetahuan yang dimiliki masing-masing orang. Jadi cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut tentang sesuatu yang dipandangnya. Inilah yang ingin saya katakan dengan paradigma.
Dari contoh-contoh yang saya paparkan di atas, jelas sekali bahwa cara pandang seseorang tentang sesuatu akan berpengaruh terhadap kesimpulan yang dihasilkan. Hal ini juga pada akhirnya juga akan mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Cara pandang yang salah tentunya akan menghasilkan kesimpulan yang salah, sehingga tindakan yang akan diambil pun tentunya akan salah. Dari pangkal pikir yang berbeda inilah, sekalipun objek yang dilihat sama, akan memunculkan persepsi dan interpretatif yang tidak sama.
Istilah paradigma sendiri pada mulanya dimunculkan dalam dunia ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh yang memunculkan dan mengembangkan istilah ini adalah Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1970). Istilah paradigma digunakan untuk menyebut adanya suatu pola pikir yang dipengaruhi oleh pemahaman interpretatif seseorang baik secara individu maupun kolektif terhadap gugus pengetahuan yang dimiliki.
Menurut saya, paradigma sangat penting untuk dimiliki bagi seorang calon penulis, lebih-lebih tulisan yang ditujukan untuk khalayak pembaca. Bahkan saking pentingnya, saya berpendapat semua orang harus memiliki paradigma yang kuat sebagai pijakan untuk berpikir, bersikap dan melangkah dalam hidup ini. Mengapa? Karena dengan memiliki paradigma yang benar kita akan melihat sesuatu secara benar, obyektif. Dengan pemikiran yang obyektif semua persoalan akan bisa diatasi. Di sinilah letak peran pentingnya paradigma bagi seorang calon penulis. Karena melalui hal itu, penulis akan bisa menjalankan misinya dengan baik, yaitu misi membangun wacana untuk memberdayakan umat manusia. Membangun wacana untuk mengatasi berbagai problematika, dan membangun wacana untuk menebar kedamaian diantara sesama.
Sahabat, menyikapi perkembangan zaman yang semakin pesat dewasa ini, di mana kita semakin dihadapkan dengan berbagai persoalan yang terjadi silih berganti dengan tingkat kompleksitas yang semakin rumit. Kita lihat dinamika sosial ekonomi yang semakin tidak tentu arah. Banyak pabrik gulung tikar di mana-mana dan berdampak terjadinya PHK massal. Daya beli masyarakat menurun karena tingkat pengangguran terbuka semakin tinggi. Sementara di panggung kekuasaan sana, para elite seolah sibuk dengan urusannya sendiri. Ada yang tengah berjuang untuk melanggengkan kekuasaannya.
Ada yang tengah berjuang untuk memperkaya dirinya. Saling sikut dan saling tendang seolah terjadi tiada henti dalam pemberitaan televisi. Kompleksitas masalah yang terjadi di tengah kehidupan sosial kita tersebut tentu harus disikapi dengan cara pandang yang tepat. Seorang calon penulis seolah ditantang bagaimana bisa memberikan sumbangan pemikiran untuk memberikan solusi atas semua fenomena yang terjadi. Nah, itu semua membutuhkan paradigma yang tidak biasa. Dibutuhkan pemikiran yang berbeda dan segar. Dalam situasi yang semakin carut marut seperti ini dibutuhkan wacana yang jernih. Bukan justru sebaliknya, malah menambah keruh suasana.
Saya ingin mengajak Sahabat sejenak menengok ke belakang, jauh ke masa silam. Tepatnya pada masa RA Kartini. Meskipun situasinya berbeda dengan fenomena yang sedang kita hadapi dewasa ini. Namun apa yang dilakukan RA Kartini ketika itu bisa menginspirasi kita pada masa kini. Saya kira ini tidak mudah, karena RA Kartini berjuang seorang diri melawan adat dan tradisi yang membelenggu kaumnya ketika itu. Meskipun RA Kartini secara pribadi sebenarnya hidup dalam keadaan yang sangat nyaman (comfort zone), karena ia termasuk dalam kalangan bangsawan. Sehingga apa yang dibutuhkan tentunya tak pernah kekurangan. Namun tidak demikian RA Kartini. Ia memiliki pandangan berbeda terhadap situasi zamannya. Kenyamanan yang ia dapatkan di lingkungan keluarganya yang ningrat ternyata tidak serta merta menutup mata batin seorang Kartini untuk melihat fenomena di luar. Di mana kaum perempuan benar-benar terpasung dan terbelenggu oleh adat dan tradisi yang diciptakan oleh kolonial Hindia Belanda. Kaum perempuan praktis hanya menjadi – istilah dalam bahasa Jawa-- kanca wingking.
Ya hanya melayani suami. Tidak diberikan kebebasan untuk berkarya, belajar, bahkan aktivitas di luar rumah pun sangat dibatasi. Kaum perempuan sungguh tidak berdaya melawan adat tradisi itu. Ya diterima saja keadaan itu sebagai kodrat kaum perempuan, bahkan tidak ada yang protes sebelumnya. Apa yang kemudian dilakukan Kartini?, sementara ia sendiri sesungguhnya mengalami hal yang sama seperti yang dialami kaum perempuan lainnya. Aktivitasnya sangat dibatasi, tidak bisa seenaknya melakukan apa saja di luar rumah.
Pramudya Ananta Toer, dalam “Panggil Aku Kartini Saja”, sebuah novel sejarah yang ditulis dengan sangat menggugah (terbit pada 1962, dicetak ulang oleh Hasta Mitra, 2000) menuturkan, meski sangat menyayangi ayahnya, sebenarnya Kartini keberatan (meski tak kuasa menolak) dengan berbagai perlakuan feodal sebagaimana layaknya yang terjadi di zaman itu.