Komunitas Sumedang di Tangerang memiliki sejarah yang kaya dan menarik, yang dimulai pada awal abad ke-17. Kisah ini berkisar pada perjalanan R.A. Wangsakara, seorang tokoh besar dari Sumedang, yang memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya dan menetap di Kampung Lengkong, Tangerang, sekitar tahun 1631-1633. Kampung Lengkong, yang dikenal juga dengan nama Lengkong Sumedang atau Lengkong Ulama, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang komunitas ini yang mempertahankan identitas budaya dan agama mereka di tengah perubahan zaman.
Perjalanan R.A. Wangsakara: Menghindari Tekanan Mataram
Pada masa itu, Kesultanan Mataram tengah berusaha memperluas kekuasaannya di Jawa. R.A. Wangsakara, yang merupakan seorang ulama sekaligus pemimpin masyarakat di Sumedang, menolak untuk ikut serta dalam menumpas pemberontakan Dipati Ukur, yang juga menentang Mataram. Penolakan ini menjadi alasan utama bagi R.A. Wangsakara untuk meninggalkan Sumedang dan mencari perlindungan di luar wilayah kekuasaan Mataram.
Dengan izin dari Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dari Kesultanan Banten, R.A. Wangsakara akhirnya memutuskan untuk menetap di Kampung Lengkong, sebuah wilayah yang terletak di tepi barat Sungai Cisadane. Keputusan ini bukan hanya tentang mencari tempat aman, tetapi juga tentang melanjutkan perjuangan dan mempertahankan identitas budaya dan agama komunitas Sumedang.
Kampung Lengkong: Pusat Perjuangan dan Pendidikan Agama
Sesampainya di Kampung Lengkong, R.A. Wangsakara segera membangun masjid yang menjadi pusat kegiatan keagamaan bagi masyarakat setempat. Sebagai seorang ulama, ia juga mendidik masyarakat tentang agama Islam, memastikan bahwa ajaran-ajaran Islam tetap berkembang meskipun berada di wilayah baru yang penuh tantangan.
Kampung Lengkong tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, yang menjadikan Tangerang sebagai salah satu wilayah pertahanan Kesultanan Banten, Kampung Lengkong menjadi tempat strategis untuk perlawanan terhadap kolonialisme. Perjuangan ini menjadi bagian dari sejarah besar yang melibatkan banyak komunitas di wilayah Banten dalam melawan dominasi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang berusaha menguasai wilayah tersebut.
Peninggalan Sejarah yang Masih Ada
Hari ini, kita dapat mengunjungi beberapa peninggalan sejarah yang masih tersisa di Kampung Lengkong sebagai bukti perjuangan dan warisan budaya komunitas Sumedang. Salah satu yang paling dihormati adalah makam R.A. Wangsakara, yang terletak di atas bukit, memberikan penghormatan yang tinggi kepada tokoh tersebut sebagai leluhur yang berjasa. Di samping itu, masjid yang dibangun oleh R.A. Wangsakara, meskipun telah mengalami renovasi, tetap menjadi simbol dari perjalanan sejarah yang panjang dan penuh makna.
Kampung Lengkong, yang terletak strategis di tepi Sungai Cisadane, juga memiliki nilai historis yang mendalam. Sejak zaman Kerajaan Tarumanagara hingga Kesultanan Banten, Sungai Cisadane menjadi jalur transportasi utama yang menghubungkan berbagai wilayah dan sekaligus menjadi saksi bisu dari konflik-konflik besar antara Kesultanan Banten dan VOC.
Signifikansi Sejarah dan Pelestarian Kampung Lengkong
Kisah tentang komunitas Sumedang di Tangerang adalah cerita tentang bagaimana sebuah komunitas yang terpaksa berpindah dari tempat asalnya tetap mampu bertahan dan mempertahankan identitas budaya serta agama mereka. Kampung Lengkong menjadi simbol dari kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, sambil tetap memainkan peran penting dalam sejarah lokal dan nasional.
Oleh karena itu, pelestarian Kampung Lengkong sebagai situs bersejarah sangat penting. Tidak hanya untuk mengenang perjuangan masa lalu, tetapi juga sebagai potensi wisata budaya dan alam yang bisa menghubungkan kita dengan sejarah yang kaya dan penuh makna. Melalui upaya pelestarian dan penelitian lebih lanjut, kita dapat memastikan bahwa warisan berharga ini tetap hidup, dan bisa dikenalkan kepada generasi mendatang.
Komunitas Sumedang di Tangerang, yang bermula dari perjalanan R.A. Wangsakara, telah meninggalkan jejak sejarah yang tak terhapuskan. Dari perlawanan terhadap penjajahan hingga pembangunan masjid sebagai pusat pendidikan agama, Kampung Lengkong menjadi saksi bisu dari perjuangan panjang untuk mempertahankan identitas dan kehormatan. Saat ini, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan warisan ini agar dapat dikenang oleh generasi mendatang, sekaligus memperkaya kekayaan budaya dan sejarah bangsa kita.
Ditulis Oleh : Azfy Muhammad Afshal,Â
Rizky Rhacmawan,Viola Laudia Sintia Bela
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H