Kekuatan laut merupakan esensi penting yang dimiliki oleh negara untuk melengkapi power. Laut merupakan sumber daya yang paling banyak digunakan oleh umat manusia. Akibat dari banyaknya fungsi dari laut tersebut memunculkan dorongan bagi banyak negara untuk menguasai laut dengan luas agar mendapatkan keuntungan secara maksimal. Hal ini juga dijelaskan dalam Konsep Mahan yang menyebutkan bahwa, "siapa yang menguasai laut maka ia yang akan menguasai dunia".Â
Dari hal ini pada akhirnya menciptakan beberapa permasalahan seperti sengketa perbatasan laut territorial seperti sengketa Laut Cina Selatan (LCS). Laut Cina Selatan menjadi sengketa yang sangat flash point. Hal karena tidak hanya melibatkan satu atau dua, melainkan 6 negara yang diantaranya; Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan juga Tiongkok.Â
Secara singkatnya sengketa LCS ini menitikberatkan terhadap perbedaan interpretasi yang dimiliki oleh masing-masing negara mengenai batas territorial kelautannya. Situasi sengketa menjadi lebih tegang pada saat di tahun 2014 pada bulan Mei salah satu perusahaan kilang minyak milik Tiongkok yaitu, Tiongkok His Yang Shi You 981 melakukan pengeboran minyak yang masih masuk kedalam Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen milik Vietnam.Â
Hal ini dikarenakan, Tiongkok di bulan yang sama pada tahun 2009 mengeluarkan pernyataan yang Nine Dash Line dimana meliputi ZEE milik beberapa negara yang sudah resmi menurut hukum UNCLOS.
Lantas apakah Nine Dash Line menganggu kedaulatan maritim Indonesia? Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara "selamat" dibandingkan beberapa negara sengketa lainnya. Namun, ketika Cina menggambarkan peta dengan menarik garis dari Pulau Spratly di tengah Laut Cina Selatan, Perairan Natuna telah diklaim sebagai milik Cina secara sepihak.Â
Tentu dari hal tersebut, Indonesia melakukan upaya dengan mengirimkan surat resmi kepada PBB agar Cina dapat menjelaskan latar belakang dan juga alasan dibalik tindakannya meskipun hingga saat ini Cina masih belum memberikan jawaban resmi. Indonesia sebagai negara yang bebas dan aktif yang juga melihat kekacauan polemik akibat sengketa Laut Cina Selatan menyatakan bahwa, Indonesia bukanlah Claiment State atau negara yang terlibat didalam sengketa tersebut.Â
Hal ini dikarenakan sudah seharusnya mereka tidak memiliki perselisihan mengenai batas perairan karena batas-batas tersebut sudah berasal dari hak UNCLOS tahun 1982.
Namun meskipun begitu, Indonesia tetap melakukan upaya untuk menjaga kedaulatan maritim dengan salah satunya mengupayakan aspek diplomasi terlebih Perundingan Perbatasan. Indonesia dinilai menjadi "Maestro" yang dapat membantu meminimalisir konflik dan tentu saja berdampak baik juga kepada Indonesia.Â
Karena jika konflik semakin bersitegang tentu hal tersebut juga mengancam kedaulatan maritim Indonesia. Dua landasan yang digunakan Indonesia dengan dukungan ASEAN sebagai organisasi internasional terbesar di Asia Tenggara berupa; membangun kepercayaan antar pihak dan juga perjanjian persahabatan dan juga kerjasama. Meskipun dalam mengimplementasikan tersebut tentu Indonesia dan ASEAN mengalami beberapa tantangan.
Untuk dapat mengimplementasikan kedua landasan tersebut, pada tahun 1990 dengan bantuan sponsor Canada dan Columbia University mengadakan lokakarya mengenai managing potential conflict in the South China Sea yang pada awalnya Cina sempat menolak untuk bergabung.Â
Namun Indonesia menekankan bahwa ini pertemuan informal sehingga Cina dengan beberapa negara berkonflik bertemu untuk berdiskusi mengenai lokakarya tersebut. Indonesia bukan berperan sebagai mediator namun menjadi konsiliasi atau pihak yang memberikan fasilitas berdiskusi.Â
Pada 10 tahun lokakarya, beberapa negara berkonflik sudah menunjukkan rasa kepercayaan  bernegosiasi. Namun, ketika 10 tahun lokakarya tersebut berakhir, Cina mengambil alih dengan tidak lagi melibatkan diskusi multilateral melainkan bilateral yang membuat beberapa negara yang terlibat termasuk, Indonesia tidak dapat mengikuti lebih jauh mengenai proses perundingannya.
Pada akhirnya di tahun 2002 Cina dengan negara bersengketa berhasil mencapai kesepakatan Declaration of the Conduct of the Parties in South China Sea yang diharapkan dapat menjadi panduan mekanisme dan juga ganjaran bagi negara-negara bersangkutan. Deklarasi berjalan dengan baik yang sayangnya pada tahun ke-20 sudah mulai tidak stabil akibat tindakan provokatif yang dilakukan oleh Vietnam, Tiongkok, dan juga Filipina.Â
Sehingga untuk menangani hal tersebut, Indonesia menyelenggarakan ASEAN Senior Official Meeting di tahun 2011 untuk membahas mengenai garis acuan deklarasi tersebut. Dari ASEAN Senior Official Meeting yang dilakukan oleh inisiatif Indonesia pada akhirnya memunculkan 1st ASEAN Maritime Forum yang dihadiri oleh negara ASEAN, Tiongkok, dan juga beberapa perwakilan seperti Australia, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, dan juga Amerika Serikat.Â
EAMF ini bertujuan agar sengketa ini dapat diselesaikan tanpa adanya gencatan senjata dan fokus terhadap diplomasi preventif. Dari hal ini, Indonesia telah menunjukkan upaya untuk menjaga kedaulatan maritim negara dengan salah satunya berpartisipasi aktif untuk menjaga perdamaian antar negara. Indonesia terus menggiring sengketa Laut Cina Selatan untuk terus berkiblat kepada resolusi damai yang didasarkan pada UNCLOS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H