Orang tua senang ketika seorang anak lahir atau sejak pertama kali mereka mengetahui bahwa mereka akan menjadi orang tua. Namun dalam prosesnya, beberapa anak mengalami pengasuhan keluarga dan orang tua yang kasar dan tidak pantas dalam menangani anak. Yang paling parah adalah yang dapat mengendalikan dan "merusak" mentalitas anak, baik secara mental maupun fisik. Orang tua seperti itu disebut sebagai 'orang tua beracun' ketika berhubungan dengan jenis perilaku yang mereka tunjukkan, dan jenis pengasuhan yang mereka praktikkan dikenal sebagai 'pengasuhan beracun' atau biasa disebut Toxic parenting.
Dalam pandangan Lestari (2012), keluarga dapat didefinisikan sebagai rumah tangga yang terdiri dari hubungan biologis atau hubungan pernikahan dan tempat untuk pemberlakuan tugas-tugas instrumental dasar dan terminal ekspres bagi anggota jaringan tertentu. Seperti yang dicatat oleh Coleman dan Cressey yang dikutip dalam Saskara dan Ulio (2020) mendefinisikan keluarga sebagai sekumpulan orang yang menikah satu sama lain, atau berkencan, atau berhubungan melalui bayi yang sama dalam pernikahan atau adopsi yang semuanya tinggal di rumah yang sama.
Apa pun yang terjadi pada mereka atau mereka pada pihak lain juga akan berdampak pada seluruh keluarga. Yah, tentu saja, semua orang bermimpi tentang keluarga yang sehat. Keluarga yang sehat memiliki beberapa karakteristik, antara lain: dukungan, kasih sayang satu sama lain, perlindungan dan perasaan menerima. Selain itu, telah dinyatakan bahwa dalam keluarga yang sehat, setiap orang saling menghormati, mempercayai satu sama lain, dan berkomunikasi dengan baik. Tetapi dalam keluarga yang tidak sehat atau beracun, hal-hal tersebut hilang.
Dalam pola pengasuhan yang beracun, orang tua biasanya acuh tak acuh terhadap anak dalam hal sesuatu dan tidak mengenali nilainya. Misalnya, mereka tidak memperhatikan hasil pekerjaan anak atau mengabaikan upaya yang telah dilakukan anak dalam hari itu. Juga, sebagian besar orang tua bergerak membandingkan anak-anak mereka dengan anak-anak lain atau kadang-kadang bahkan saudara kandung mereka sendiri dan ini dengan satu atau lain cara mengurangi kepercayaan diri anak.
Istilah Toxic parenting tidak umum digunakan dalam bahasa medis tetapi ketika orang berbicara tentang toxic atau toxic parenting itu disebut sebagai situasi di mana orang tua tidak peduli pada anak atau membuat anak merasa bersalah atau takut, atau membuat anak merasa seperti dia harus melakukan apa pun yang diinginkan orang tua.Â
Toxic parenting adalah salah satu bentuk pelecehan anak yang paling tidak dipahami dan tidak ada istilah medis khusus untuk itu. Namun, ketika istilah ini digunakan, lebih sering digunakan untuk berarti tindakan orang tua yang tidak memperlakukan anaknya dengan baik sehingga anak takut dengan kemarahan orang tuanya, dan selalu harus mendengarkan orang tuanya secara membabi buta.
Negara-negara di mana orang tua beracun ditemukan, cenderung menggunakan beberapa metode yang dapat menyebabkan bahaya atau membahayakan anak-anak untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka. Contohnya seperti kekerasan dalam hubungan orang tua, agresi psikologis, agresi fisik terhadap pasangan, dan pelecehan anak. Sikap toxic orang tua di sini adalah ketika perilaku yang dimaksud untuk merangsang pembentukan pola yang membahayakan kehidupan seorang anak.
Forwads dan Buck (2002) menjelaskan bahwa Toxic Parents memiliki ciri-ciri tertentu yang meliputi hal-hal berikut:Â
1. Membuat anak ikut serta dalam masalah antara orang tua untuk membuat anak merasa bersalah karena menginginkan sesuatu yang berpotensi membuat orang tua merasa sedih atau marah.Â
2. Menghukum secara fisik secara berlebihan dengan dalih untuk mendisiplinkan anak.Â
3. Memberikan tekanan psikologis dan trauma emosional pada anak.Â
4. Memberi anak uang atau hadiah agar ia dapat memenuhi tuntutan orang tuanya. Hasil dari pola asuh yang satu ini adalah anak benar-benar tumbuh tanpa berkembang dan tidak mengenal dirinya sendiri, karena mereka dibesarkan untuk hanya memikirkan dan peduli pada keinginan orang tuanya.
Pengertian ParentingÂ
Sesuatu yang disebut pola asuh menggambarkan hubungan yang dibangun oleh orang tua dengan anak-anak di mana interaksi mereka menunjukkan kepedulian orang tua terhadap anak-anak. Hal ini termasuk bagaimana orang tua menegakkan aturan dan memberikan nilai serta norma kepada anak. Orang tua juga diharapkan untuk memberikan contoh sikap yang baik kepada anak, misalnya, mereka harus menunjukkan bagaimana mereka mengharapkan anak berperilaku (Theresia, 2019).
Ada beberapa definisi yang diberikan untuk istilah pengasuhan anak. Istilah ini mendefinisikan proses pengasuhan anak dalam hal pengasuhan anak. Ini adalah metode atau cara yang digunakan orang tua untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis anak. Selain itu, pengasuhan anak adalah keadaan menjadi orang tua yang dikenal sebagai tahap kehidupan yang tak terelakkan yang harus dilalui oleh seseorang (Wardah Nuroniyah, 2023).
Jika dilihat dari hubungan antara orang tua dan anak, penelitian yang dilakukan secara ekstensif mengungkapkan bahwa interaksi orang tua dan anak mencakup semua usaha orang tua dalam mengasuh, membimbing, mendisiplinkan, dan melindungi anak agar dapat tumbuh kembang secara optimal sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat (Pratiwi & Hastuti, 2017).
Pengasuhan mengacu pada segala sesuatu yang harus dilakukan oleh orang tua dalam merawat anak, pendidikan, moral, dll. Tugas orang tua juga sampai pada tahap memenuhi kebutuhan fisik, memberikan yang terbaik dari kebutuhan materi, dan memenuhi kebutuhan emosional hingga psikologi anak.
Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh menurut Diana Baumrind dalam Santrock, J.W (2007), ada beberapa macam pola asuh orang tua, yaitu:
1.Pola asuh otoriter dapat dicirikan dengan fokus pada pembatasan dan hukuman dalam sistem keluarga. Orang tua membuat aturan ketat yang penegakannya cenderung tidak memiliki alternatif selain kepatuhan. Orang tua seperti itu juga cenderung memberikan hukuman fisik, seperti memukul, mencubit, atau bahkan menjewer telinga, memaksakan kehendak mereka tanpa banyak penjelasan. Anak-anak yang dibesarkan dalam pola asuh seperti ini umumnya tidak memiliki kebahagiaan; sebaliknya, mereka cenderung hidup dalam ketakutan akan ketidaksesuaian, menilai harga diri dengan membandingkannya dengan orang lain, dan menunjukkan tanda-tanda perilaku agresif.
2. Pola asuh otoritatif atau demokratis adalah model pengasuhan yang mendorong anak untuk mandiri namun memberikan beberapa batasan dalam aktivitas mereka. Dalam gaya pengasuhan ini, orang tua memberikan kehangatan dan kasih sayang kepada anak-anak mereka. Anak-anak dengan pola asuh otoritatif umumnya lebih bahagia; mereka menjunjung tinggi kontrol diri dan emosi yang lebih baik dan mempertahankan orientasi prestasi yang tinggi.Â
3. Pola asuh permisif adalah kasus di mana orang tua terlalu terlibat dalam kehidupan anak-anaknya tetapi tidak mempertimbangkan untuk menetapkan batasan apa pun tentang bagaimana menghadapi mereka. Orang tua seperti ini akan selalu membiarkan anak dan melakukan apa pun yang mereka inginkan, sehingga anak akan menghadapi lebih banyak masalah dalam mengendalikan keinginannya. Orang tua seperti ini juga percaya bahwa anak-anak mereka akan berkembang menjadi individu yang kreatif dan percaya diri. Namun, kenyataannya pengabaian sering kali membuat anak tidak belajar menghargai orang lain, sulit mengatur tindakannya, dan sering melanggar aturan. Anak-anak dapat mengembangkan kecenderungan untuk menjadi sangat egois, kacau, dan mendominasi.
4. Pengasuhan yang mengabaikan adalah model pengasuhan yang demikian, di mana orang tua sama sekali tidak hadir dalam dunia anak mereka. Anak-anak seperti itu merasa paling memiliki rumah tersebut, dan mereka mulai berpikir bahwa kehidupan orang tua jauh lebih penting daripada kehidupan mereka. Anak-anak ini tidak memiliki sebagian besar keterampilan sosial, rasa rendah diri, berpikir di bawah umur, dan biasanya terasing dari keluarga.
Pengertian Positive Parenting
Pengasuhan positif atau Positive Parenting adalah cara pandang pengasuhan anak yang mendorong anak untuk berkembang dengan baik dalam semua kemampuannya - bergerak menuju individu yang ideal, dengan kemampuan intelektual yang baik, kapasitas fisik, stabilitas emosional, kesehatan spiritual dan kehidupan sosial yang baik. Poin utama dalam pengasuhan semacam ini termasuk bersikap positif terhadap anak-anak, mendisiplinkan mereka dalam hal cinta, dan menanamkan moral yang mulia kepada mereka. Pola asuh orang tua memberikan dampak yang sangat besar terhadap sikap anak di masa depan. Tidak diragukan lagi, jika orang tua menerapkan pola asuh yang negatif, anak-anak akan mengembangkan sikap negatif, namun jika orang tua positif mengasuh anak dengan gaya tersebut, maka anak-anak akan tumbuh dan berkembang secara positif.
Menurut Muhammad Fauzil Adhim, pengasuhan yang positif lebih dari sekedar kecerdasan untuk membesarkan anak-anak yang akan tumbuh menjadi pribadi yang mampu mengemban amanah di zamannya jika orang tua mereka sungguh-sungguh mempersiapkannya. Kecerdasan saja tidak dapat menyelamatkan orang tua untuk mengharapkan anak-anak tersebut tetap sukses di dunia namun iman mereka kepada Allah akan selalu kuat. Anak-anak dilahirkan dalam persiapan untuk waktu yang berbeda dengan waktu orang tuanya. Oleh karena itu, orang tua harus memiliki bekal pengetahuan yang luas. Uang atau biaya sekolah di sekolah terbaik tidak akan cukup karena ada banyak hal yang tidak dapat dibeli dengan uang. Oleh karena itu, beberapa anak yang memiliki rumah yang indah di lingkungan yang mewah, masih membutuhkan perhatian, ketulusan, dan kasih sayang, karena jiwa mereka masih sangat lemah.
Pola asuh positif yang baik dapat dilakukan dengan menekankan pada komunikasi konstruktif tentang apa yang boleh dan apa yang dilarang untuk anak-anak. Orang tua tidak boleh berbicara kasar saat melarang anak melakukan sesuatu. Sebaliknya, mereka harus menjadi komunikator yang aktif yang dapat menjangkau anak-anak dengan lebih baik. Jadi, komunikasi yang baik merupakan hal yang penting dalam pengasuhan anak yang efektif.
Pengasuhan Positif mencakup aspek-aspek seperti (Hannifuni'am et al., 2018):Â
Konsep dasar:Â Menjadi landasan dalam pengasuhan positif.
Sikap dasar:Â Orang tua memerlukan sikap dasar dalam menerapkan pengasuhan positif.
Prinsip utama:Â Orang tua harus mengetahui apa saja yang menjadi prinsip utama pengasuhan positif.
Penerapan pola asuh positif: Diarahkan untuk membantu perkembangan potensi positif anak, termasuk peningkatan moral dari kecerdasan intelektual serta kekuatan emosional dan spiritual yang dimiliki seseorang.
Strategi Positive Parenting dalam Mengatasi Toxic Parenting
Pada kenyataannya, apa yang dibutuhkan untuk mengubah pola asuh beracun adalah perubahan besar dalam praktik pengasuhan yang diterapkan orang tua. Langkah pertama adalah pengakuan atas pengasuhan beracun itu sendiri. Banyak orang tua sering tidak menyadari bahwa mereka benar-benar dapat memberikan kata-kata kasar, terlalu mengendalikan, atau mengabaikan kebutuhan emosional anak-anak mereka, untuk beberapa nama. Di sini, refleksi diri menjadi sangat relevan. Orang tua harus menilai sikap dan perilaku mereka sendiri dan kemungkinan pola negatif mereka, sama seperti kesadaran penting untuk mengetahui bagaimana hal itu dapat mempengaruhi perkembangan anak. Kesadaran diri akan segala jenis perilaku negatif akan membuka pintu untuk perubahan yang benar-benar efektif yang diperlukan untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dengan seorang anak.
Setelah keluarga mengenali pengasuhan yang tidak sehat, langkah selanjutnya adalah mempraktikkan regulasi emosional. Bereaksi emosional atau bertindak impulsif terhadap perilaku anak-anak mereka paling umum terjadi pada orang tua. Kurangnya kendali atas emosi ini mendorong mereka ke arah kekerasan atau memunculkan kata-kata yang merusak. Oleh karena itu, dibutuhkan seseorang untuk belajar bagaimana mengatur emosi, seperti melalui teknik pernapasan dalam atau latihan mindfulness. Ini membantu orang tua untuk tetap tenang ketika situasi membutuhkannya sehingga dia dapat menanggapi anak secara lebih konstruktif. Di atas segalanya, regulasi emosional seperti itu tidak hanya mempengaruhi orang tua tetapi juga berfungsi sebagai model bagi anak mengenai cara mengelola perasaan sendiri.
Proses pengasuhan positif lainnya adalah mempraktikkan komunikasi positif. Dengan cara ini, komunikasi yang efektif dan empati menjadi elemen utama dari hubungan antara orang tua dan anak. Orang tua harus lebih memperhatikan mendengarkan anak-anak mereka, menghindari komentar negatif dan memberikan umpan balik yang membangun. Seorang anak akan lebih terpengaruh oleh kritik yang mengatakan, "Kamu selalu malas!" daripada "Mari kita atur jadwal untuk menyelesaikan tugas sekolah tepat waktu." Dengan cara ini, anak-anak merasa bahwa mereka tidak diserang secara pribadi tetapi harus belajar bertanggung jawab dan bertanggung jawab atas kesalahan mereka. Pemahaman seperti itu memang mengembangkan kecerdasan emosional karena anak-anak akan merasa bahwa mereka dihargai dan dipahami.
Pengasuhan positif juga menggabungkan prinsip-prinsip utama dari rutinitas dan struktur teratur dalam kehidupan keluarga. Dalam lingkungan terstrukturnya, anak-anak akan mengembangkan rasa aman dan stabilitas. Dengan aturan yang jelas dan konsisten, anak-anak akan memahami apa yang diharapkan dari mereka dan bagaimana perilaku mereka harus dilakukan. Hal ini akan membuat anak merasa lebih percaya diri dan mengurangi kebingungannya. Aturan tersebut, tentu saja, harus memiliki konsekuensi logis, bukan hukuman fisik atau verbal. Misalnya, jika seorang anak terlambat untuk mengerjakan tugas, orang tua dapat memberikan pengurangan waktu bermain daripada memarahi anak atau menyebabkan hukuman fisik. Jadi, dengan cara yang terstruktur dan konsisten ini, anak-anak merasa aman, yang membuat mereka tumbuh dalam keluarga mereka juga.
Keuntungan lain dari pengasuhan positif adalah meningkatkan kesejahteraan orang tua dan anak secara keseluruhan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik itu pertumbuhan emosional, pertumbuhan mental, atau keharmonisan dalam keluarga. Salah satu keuntungan utama dari metode pengasuhan ini untuk anak adalah membantu membangun kepercayaan diri. Ketika orang tua mendukung anak-anak mereka secara konsisten, mengakui upaya mereka, dan memberikan umpan balik yang positif, anak akan merasa dihargai dan diakui. Hal tersebut akan membangun kepercayaan diri yang kuat, dan itu akan terbukti bermanfaat bagi anak-anak ketika mereka menghadapi berbagai tantangan dan masalah dalam hidup. Memang benar bahwa anak-anak dengan kepercayaan diri yang kuat kemungkinan besar akan melangkah maju dan mengatasi tantangan dengan cara yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Anggreiny, N., & Sarry, S. M. (2022). Perasaan kompeten sebagai orang tua: Pengalaman ibu dari remaja pelaku kekerasan seksual. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 10(1), 69--78. https://doi.org/10.22219/jipt.v10i1.16399
At-Taqiyyah, A. K., & al Hakim, H. (2024). Positive parenting untuk menurunkan kenakalan pada remaja. Cendekia Inovatif Dan Berbudaya, 1(3), 301--308.
Ayun. (2017). Pola asuh orang tua dan metode pengasuhan dalam membentuk kepribadian anak. ThufuLA J. Inov. Pendidik. Guru Raudhatul Athfal, 5(1), 102. https://doi.org/10.21043/thufula.v5i1.2421
Ayuningtyas, D., Misnaniarti, & Rayhani, M. (2018). Analisis situasi kesehatan mental pada masyarakat di Indonesia dan strategi penanggulangannya. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1), 1--10. https://ejournal.fkm.unsri.ac.id/index.php/jikm/article/view/241/189
Aziz, A., Warda, Y., & Jannah, F. (2022). Peranan keluarga terhadap pendidikan akhlak di masa pandemi. Hibrul Ulama: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Keislaman, 4(1), 28--37. https://univamedan.ac.id/ejurnal/index.php/hibrululama/article/view/169/193
Devi, R., Indang, N., & Badariati. (2022). Pemenuhan gizi 1000 hari pertama kelahiran di wilayah kerja puskesmas Tawaeli Kota Palu. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 10(1), 1--5. https://ejournal.fkm.unsri.ac.id/index.php/jikm/article/view/241/189
Dewi, S. A. (2022). Pengaruh helicopter parenting terhadap kesehatan mental anak: Studi literatur. Jurnal Sudut Pandang, 2(12), 109--113. http://penerbitgoodwood.com/index.php/jimi/article/view/1218/311
Fatahya, & Abidin, F. A. (2022). Literasi kesehatan mental dan status kesehatan mental dewasa awal pengguna media sosial. Literasi Kesehatan Mental, 6(2), 165--175. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/49871/21549
Forward, S. (2002). Toxic parents: Overcoming their hurtful legacy and reclaiming your life.Bantam Books.
Forward, S., & Buck, C. (2002). Toxic parents: Overcoming their hurtful legacy and reclaiming your life. Bantam Books.
Hanum, U. L., Masturi, & Khamdun. (2022). Pola asuh orang tua terhadap motivasi belajar anak sekolah dasar di Desa Bandungrejo Kalinyatan Jepara. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(8), 2443--2450. https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/1123/849
Kumowal, R. L., Kalintabu, H., & Awuy, P. O. (2022). Orangtua dan gereja dalam menjaga kesehatan mental anak remaja. Humanlight Journal of Psychology, 3(2), 88--101. http://ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/humanlight/article/view/1203/775
Nur, Y., & Sary, E. (2022). Kesehatan mental emosional korban perceraian pada anak usia dini di panti asuhan. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(4), 3693--3700. https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i4.2227
Nur, Y., & Sary, E. (2023). Fenomena kekerasan psikologis pada anak usia dini dalam keluarga. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 7(1), 76--84. https://doi.org/10.31004/obsesi.v7i1.3736
Rona Eka Kusuma, Hastuti, L., & Ariyanti, S. (2022). Gambaran peran keluarga dalam pencegahan risiko stunting pada anak di wilayah kerja puskesmas Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan, 13(2), 78--83.
Sumandar, T., & Tatar. (2017). Peran pola asuh demokratis orang tua terhadap pengembangan potensi diri dan kreativitas siswa. Jurnal Ilmiah Dikdaya, 6(1), 58--74.
Sidharta, V. (2021). Pola komunikasi keluarga dalam pendidikan anak pada masa new normal. Global Komunika, 4(2), 21--26. https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/GlobalKomunika/article/view/2
Yuliana, Y. (2022). Pentingnya kewaspadaan berinternet untuk kesehatan mental anak dan remaja. Jurnal Ilmu Medis Indonesia, 2(1), 25--31. https://doi.org/10.35912/jimi.v2i1.1218
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H