Berbicara mengenai pembuktian, merujuk pada ketentuan pasal 183 KUHAP, bahwa dalam memutus suatu perkara selain menggunakan dua alat bukti yang sah, Hakim juga harus mempunyai keyakinan akan kebenaran sebuah peristiwa. Keyakinan Hakim ini harus mengandung prinsip yang tak dapat diragukan lagi (beyond reasonable doubt). Untuk mendapatkan keyakinan yang mutlak maka diperlukan faktor determinan yang sangat kuat guna mendapatkan suatu keyakinan yang sempurna.
Pararel dengan ketentuan diatas, kedudukan justice collaborator berfungsi untuk menetakkan keyakinan Majelis Hakim atas suatu perkara lewat perannya dalam memberikan kesaksian secara jujur dan terang-terangan dalam persidangan. Dalam hal ini, kontribusi Eliezer sebagai justice collaborator sangat membantu Majelis Hakim dalam membuka kronologi peristiwa dan fakta persidangan yang sebelumnya begitu rancu dan membingungkan. Kesaksian Eliezer tersebut terbukti menjadi angin segar bagi hakim dalam memutus perkara.
Determinasi & Payung Hukum Justice Collaborator
Munculnya terminologi justice collaborator berawal dari ratifikasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 atas Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 pada pasal 37 dan ratifikasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 atas Konvensi PBB Anti Kejahatan Transasional yang Terorganisir tahun 2009 pada pasal 26.
Kedua konvensi ini merupakan cikal bakal ihwal justice collaborator yang mengintrepertasikan bahwa setiap Negara wajib mempertimbangkan kemungkinan pengurangan hukuman bagi pelaku yang bekerja sama dalam penyelidikan dan penuntutan atas suatu kejahatan.
Nilai-nilai moralitas hukum yang terselip pada konvesi tersebut kemudian diadopsi dalam norma hukum nasional dengan terbitnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam ketentuan pasal 10 dijelaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka apabila terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tidak dapat dibebaskan, melainkan kesaksiannya dapat dipertimbangkan sebagai dasar untuk meringankan hukumannya.
Sejalan dengan hal itu, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 sebagai ketentuan pedoman lebih lanjut yang mengatur tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) yang pada intinya beberapa landasan hukum tersebut mengakui kedudukan serta eksistensi justice collaborator dalam perkara pidana tertentu atau pidana yang bersifat terorganisir secara substansial.
Syarat & Hak Justice Collaborator
Syarat seorang saksi pelaku untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2011 adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana namun bukan pelaku utama, serta mampu bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bukti yang sebenar-benarnya sejak proses penyidikan, penuntutan, sampai persidangan.
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat sejumlah hak yang diberikan kepada justice collaborator.
Pertama adalah hak mendapatkan perlindungan hukum. Seorang justice collaborator tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.