“Satu untuk Kania. Salam buat dia ya.” kataku sambil menyerahkan gantungan itu kepadanya. Dia diam. Entah bagaimana air mukanya, aku sulit mendeskripsikannya. Dia tertawa sambil menghembuskan nafas panjang.
“Kania bukan siapa-siapa. Kita terakhir ketemu saat aku wisuda. Tidak ada yang istimewa. Aku masih sendiri sampai sekarang.”
Gantungan kunci itu jatuh. Air mataku juga. Deras sekali. Luka empat tahun lalu yang sejatinya belum benar-benar pulih itu kini seperti terjahit, tapi sungguh ini menyakitkan. Aku seperti mendapatkan kejutan atas film yang kubuat sendiri. Aku melewatkan satu episode dari film itu yang kemudian kuterka sendiri bagaimana ceritanya. Lalu hari ini, aku ditunjukkan bahwa terkaanku atas episode yang terlewat itu salah. Bukan begitu ceritanya.
“Mama, Om. Pesawatku lebih keren nih.” Celotehan pangeran kecilku ini membuatku sadar bahwa realita sudah terjadi. Aku tidak mungkin memutar kembali episode yang terlewat itu dan kuulangi lagi endingnya. Episode yang membuatku mau menerima pinangan seorang laki-laki yang diam-diam lama mengagumiku. Cerita itu sudah kubuat endingnya. Ending yang sebenarnya bukan mauku. Tapi inilah realitasnya.
“Aku pamit, Mas Darma menunggu di gerbang depan.”
Dia tidak melihatku, entah apa yang disembunyikan dari matanya. Ia justru berjongkok lagi, memberi sebuah pesawat kertas lagi untuk Rizhar. Menepuk bahu Rizhar dengan genggamannya. “Sampai ketemu lagi, Robokop.”
“Siap Om Ultraman.”
Ia berdiri. Sedikitpun tidak menatapku. Ada yang disembunyikan di matanya. Ia melangkah cepat keluar taman. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya. Tapi perasaanku sendiri berkecamuk. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba kita dipertemukan lagi. Yang jelas, inilah realitanya sekarang. Sesakit apapun, episode itu sudah terlewat.
Sekolah biru
6 Oktober 2012
21.58