Kekuasaan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang hanya ada di dunia politik atau pemerintahan, padahal ia meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk budaya dan kehidupan sosial. Dalam tradisi budaya, kekuasaan sering kali terkait dengan nilai-nilai dan norma yang sudah ada sejak lama, seperti dalam pandangan Jawa yang melihat kekuasaan sebagai manifestasi dari energi ilahi.Â
Di sini, kekuasaan tidak hanya berarti dominasi, tetapi juga sebagai sesuatu yang lebih spiritual dan kreatif, yang mempengaruhi cara masyarakat berpikir dan bertindak (Anshoriy, 2008). Namun, di balik itu semua, ada juga bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi secara halus, seperti hegemoni budaya, yang sering kali membentuk kesepakatan sosial tanpa kita sadari.
Kekuasaan dalam kehidupan sosial juga hadir dalam interaksi sehari-hari, dari hubungan antar individu hingga struktur organisasi. Setiap jenis kekuasaan---baik itu koersif, sah, atau berdasarkan keahlian---memiliki cara yang berbeda untuk mempengaruhi dan membentuk perilaku kita.Â
Meski demikian, menurut penelitian Nurhamila dan rekan-rekan pada tahun 2022 menunjukan 70% individu merasa tidak memiliki kendali atas keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam distribusi kekuasaan yang ada. Di tengah kenyataan ini, kita perlu bertanya: siapa yang sebenarnya memegang kendali dalam pembentukan nilai dan norma yang kita ikuti sehari-hari?
Kekuasaan dalam Budaya: Siapa yang mengendalikan Nilai dan Tradisi?
Kekuasaan dalam budaya sering kali berakar pada peran penting tokoh masyarakat dan pemimpin budaya yang bertanggung jawab untuk menentukan nilai-nilai yang dianggap penting.Â
Mereka bukan hanya pemimpin, tetapi juga pendidik yang mengajarkan dan menanamkan tradisi serta norma kepada masyarakat. Seorang kepala desa atau pemuka agama, misalnya, berfungsi sebagai teladan yang mengedukasi anggotanya tentang pentingnya menjaga dan melestarikan budaya yang ada. Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin ini sangat menentukan, karena kredibilitas mereka mampu menggerakkan perubahan sosial yang signifikan dalam komunitas (Kamahi, 2017).Â
Namun, kekuasaan budaya ini tidak hanya berbicara soal tradisi, tetapi juga soal identitas. Bahasa lokal yang diajarkan dan dipertahankan oleh pemimpin budaya menjadi simbol kuat dari identitas masyarakat yang tidak boleh terlupakan, bahkan di tengah derasnya arus globalisasi.
Namun, meskipun kekuasaan budaya sering kali terlihat kokoh dan tak terbantahkan, bukan berarti masyarakat tidak memiliki ruang untuk mempertanyakannya. Dalam era informasi saat ini, generasi muda, misalnya, semakin berani untuk memperkenalkan ide-ide baru yang bertentangan dengan tradisi yang ada. Mereka memanfaatkan platform digital untuk mengungkapkan pendapat dan menggugah perubahan sosial.Â
Selain itu, kesadaran kritis yang dibangun melalui pendidikan, baik formal maupun informal, juga memungkinkan individu untuk melihat kekuasaan budaya dengan perspektif yang lebih tajam. Ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana masyarakat bisa menantang atau menggugat kekuasaan budaya yang sudah mengakar?
 Dengan adanya kebebasan berpikir dan berbicara, masyarakat kini memiliki peluang lebih besar untuk memperbarui atau bahkan mereformasi tradisi yang sudah lama berlaku.
Kekuasaan di Kehidupan Sosial: Dominasi yang Tidak Terlihat
Kekuasaan dalam kehidupan sosial sering kali beroperasi dengan cara yang halus dan tak terlihat, namun dampaknya sangat besar terhadap interaksi antara individu, kelompok, dan komunitas.Â
Kekuasaan ini membentuk norma-norma sosial dan pola interaksi yang ada dalam masyarakat. Di dalam organisasi atau komunitas, kekuasaan sering kali terpusat pada kelompok tertentu yang memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan arah kebijakan atau keputusan. Pemimpin lokal atau tokoh masyarakat, misalnya, sering kali menjadi suara dominan dalam pengambilan keputusan, yang pada gilirannya memengaruhi dinamika sosial di sekitarnya (Ibnu et al., 2024).Â
Dalam organisasi formal seperti sekolah atau lembaga pemerintahan, struktur hierarkis mempertegas pembagian kekuasaan, dengan pemimpin yang memiliki otoritas untuk memengaruhi seluruh anggota organisasi, menciptakan ketidaksetaraan dalam akses ke keputusan dan kebijakan.
Norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat sering kali ditentukan oleh kelompok yang memiliki kekuasaan lebih, yang kemudian menetapkan apa yang dianggap perilaku yang benar atau salah. Pola interaksi sosial pun terbentuk berdasarkan norma yang diterima, seperti hubungan atasan dan bawahan di tempat kerja, yang menciptakan hierarki dalam cara individu berinteraksi.Â
Kelompok dominan sering kali mendefinisikan nilai-nilai budaya yang diterima luas, yang menyebabkan marginalisasi suara-suara dari kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Dominasi sosial ini juga memengaruhi siapa yang dianggap "berhak" untuk berbicara atau memimpin dalam komunitas. Dalam banyak kasus, hanya mereka yang berada dalam posisi kekuasaan atau status tinggi yang diberi ruang untuk menyuarakan pendapat.
 Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam kesempatan berbicara, di mana individu dari latar belakang sosial-ekonomi rendah sering kali merasa kurang berdaya untuk menyuarakan pandangan mereka dalam forum publik. Kekuasaan, dengan demikian, beroperasi bukan hanya dalam menentukan kebijakan, tetapi juga dalam membentuk siapa yang dapat diakui sebagai suara yang layak didengar.
Masyarakat sebagai Pemberi Tantangan: Media Sosial dan Perubahan Kekuasaan
Kemunculan media sosial telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan kekuasaan budaya dan sosial. Platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memberi ruang bagi individu untuk menyuarakan pendapat, mengkritik kebijakan, dan membangun gerakan sosial.Â
Gerakan seperti #MeToo dan Black Lives Matter menunjukkan bagaimana media sosial dapat menggerakkan kesadaran global terhadap isu ketidakadilan dan menuntut pertanggungjawaban dari otoritas
. Selain itu, konten kreator seperti Rian Fahardhi yang dikenal sebagai 'Presiden Gen-Z' karena menggunakan platform TikTok untuk mengedukasi dan mengkritik kebijakan publik dengan cara yang menarik, membuat generasi muda semakin berperan dalam mempengaruhi opini public (Aulia, 2024).
Media sosial juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi lebih aktif dalam mengatur norma sosial. Dengan memberi setiap individu kesempatan untuk berbicara dan membagikan pandangannya, media sosial memungkinkan terciptanya kesadaran kolektif tentang isu-isu tertentu, seperti ketidakadilan sosial atau kebijakan pemerintah yang kontroversial.Â
Era digital ini tidak hanya memperkuat demokrasi tetapi juga memberi peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam perubahan sosial, membuka jalan bagi dialog yang lebih terbuka dan inklusif dalam pengambilan keputusan.
Kekuasaan yang terdistribusi dalam budaya dan kehidupan sosial memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat. Penting untuk disadari bahwa kekuasaan tidak harus dimonopoli oleh kelompok tertentu, melainkan harus bersifat inklusif. Masyarakat memiliki peran penting dalam menantang norma yang ada dan mengembangkan nilai-nilai bersama.Â
Dengan memanfaatkan alat komunikasi modern seperti media sosial, masyarakat dapat memperjuangkan keadilan, keberagaman, dan perubahan positif dalam struktur sosial. Oleh karena itu, untuk menciptakan komunitas yang lebih adil dan berdaya, setiap individu perlu aktif terlibat dalam pembentukan dan pemeliharaan nilai-nilai sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H