Kekuasaan ini membentuk norma-norma sosial dan pola interaksi yang ada dalam masyarakat. Di dalam organisasi atau komunitas, kekuasaan sering kali terpusat pada kelompok tertentu yang memiliki pengaruh lebih besar dalam menentukan arah kebijakan atau keputusan. Pemimpin lokal atau tokoh masyarakat, misalnya, sering kali menjadi suara dominan dalam pengambilan keputusan, yang pada gilirannya memengaruhi dinamika sosial di sekitarnya (Ibnu et al., 2024).Â
Dalam organisasi formal seperti sekolah atau lembaga pemerintahan, struktur hierarkis mempertegas pembagian kekuasaan, dengan pemimpin yang memiliki otoritas untuk memengaruhi seluruh anggota organisasi, menciptakan ketidaksetaraan dalam akses ke keputusan dan kebijakan.
Norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat sering kali ditentukan oleh kelompok yang memiliki kekuasaan lebih, yang kemudian menetapkan apa yang dianggap perilaku yang benar atau salah. Pola interaksi sosial pun terbentuk berdasarkan norma yang diterima, seperti hubungan atasan dan bawahan di tempat kerja, yang menciptakan hierarki dalam cara individu berinteraksi.Â
Kelompok dominan sering kali mendefinisikan nilai-nilai budaya yang diterima luas, yang menyebabkan marginalisasi suara-suara dari kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Dominasi sosial ini juga memengaruhi siapa yang dianggap "berhak" untuk berbicara atau memimpin dalam komunitas. Dalam banyak kasus, hanya mereka yang berada dalam posisi kekuasaan atau status tinggi yang diberi ruang untuk menyuarakan pendapat.
 Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam kesempatan berbicara, di mana individu dari latar belakang sosial-ekonomi rendah sering kali merasa kurang berdaya untuk menyuarakan pandangan mereka dalam forum publik. Kekuasaan, dengan demikian, beroperasi bukan hanya dalam menentukan kebijakan, tetapi juga dalam membentuk siapa yang dapat diakui sebagai suara yang layak didengar.
Masyarakat sebagai Pemberi Tantangan: Media Sosial dan Perubahan Kekuasaan
Kemunculan media sosial telah mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan kekuasaan budaya dan sosial. Platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memberi ruang bagi individu untuk menyuarakan pendapat, mengkritik kebijakan, dan membangun gerakan sosial.Â
Gerakan seperti #MeToo dan Black Lives Matter menunjukkan bagaimana media sosial dapat menggerakkan kesadaran global terhadap isu ketidakadilan dan menuntut pertanggungjawaban dari otoritas
. Selain itu, konten kreator seperti Rian Fahardhi yang dikenal sebagai 'Presiden Gen-Z' karena menggunakan platform TikTok untuk mengedukasi dan mengkritik kebijakan publik dengan cara yang menarik, membuat generasi muda semakin berperan dalam mempengaruhi opini public (Aulia, 2024).
Media sosial juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi lebih aktif dalam mengatur norma sosial. Dengan memberi setiap individu kesempatan untuk berbicara dan membagikan pandangannya, media sosial memungkinkan terciptanya kesadaran kolektif tentang isu-isu tertentu, seperti ketidakadilan sosial atau kebijakan pemerintah yang kontroversial.Â
Era digital ini tidak hanya memperkuat demokrasi tetapi juga memberi peluang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam perubahan sosial, membuka jalan bagi dialog yang lebih terbuka dan inklusif dalam pengambilan keputusan.
Kekuasaan yang terdistribusi dalam budaya dan kehidupan sosial memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat. Penting untuk disadari bahwa kekuasaan tidak harus dimonopoli oleh kelompok tertentu, melainkan harus bersifat inklusif. Masyarakat memiliki peran penting dalam menantang norma yang ada dan mengembangkan nilai-nilai bersama.Â