Kebijakan publik adalah kebijakan pembangunan, kemudian kebijakan pendidikan
pelaksanaan tujuan pembangunan di bidang pendidikan.Â
Upaya pemerintah untuk mendorong pemerataan pendidikan adalah dengan membangun sistem zonasi yang dituangkan dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018 yaitu penerimaan siswa baru (PPDB) mempertegas jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah, Dengan demikian, mereka yang lebih dekat dengan sekolah lebih berhak mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah. Kebijakan ini bertujuan untuk mempercepat pemerataan Pendidikan berkualitas dan harus mampu memadukan tiga pusat pendidikan: sekolah, masyarakat, dan keluarga untuk mendidik masyarakat tentang tanggung jawab
Tanggung jawab pendidikan bukan hanya milik satu pihak tetapi tanggung jawab bersama.
Hal yang paling penting dari pembagian PPDB adalah agar anak dapat mengenyam pendidikan yang paling dekat dengan rumah atau tempat tinggal, jika terjadi kelebihan norma di suatu daerah, dinas pendidikan wajib menemukan sekolah atau membuka les agar tidak ada anak yang tertinggal sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan zonasi adalah kriteria utama
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tingkat SMP atau SMA. Zonasi atau jarak sekolah menjadi pertimbangan bagi calon siswa yang akan diterima. Menerima
Peserta didik baru (PPDB) saat ini berbasis sistem partisi, dengan tujuan untuk perbaikan sistem pendidikan agar proses pembelajaran berlangsung seefisien dan seefektif mungkin. Untuk kriteria ini kelulusan calon siswa baru berdasarkan zonasi bukan lagi hasil ujian nasional.
Dalam PP No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), pemerintah daerah (provinsi dan kota/kabupaten) memiliki kewajiban untuk memenuhi pelayanan dasar SPM pendidikan. Artinya, pemerintah daerah juga punya andil dan sama-sama memikul beban untuk membangun dan mencapai kualitas pendidikan bermutu di tanah air.
Secara sinkron, terintegrasi dan komprehensif, sistem partisi ini harus berjalan seiring dengan isu-isu berikut.
Pertama, sistem rotasi guru (dengan syarat teknis tertentu). Kedua, meningkatkan kapasitas dan kualitas guru. Ketiga, mengubah model pembelajaran siswa yang diajar oleh guru di sekolah menjadi model kooperatif" bukan sekadar model kompetitif, sesuai dengan persyaratan kompetensi yang relevan yang dituangkan dalam dokumen (komunikasi dan kerjasama). Keempat, pengembangan dan pembangunan infrastruktur sekolah di daerah. Kemudian, kelima, pendataan sekolah, potensi siswa pindahan, demografi siswa benar-benar valid oleh dinas (Dukcapil dan Diknas). Keenam, sistem akreditasi tidak lagi menghasilkan nilai A, B, C, dst. seperti yang terjadi hari ini, mengarah ke pengebirian sekolah. Ketujuh, memperjelas posisi badan peninjau nasional (PBB). Sekedar mengingatkan, mulai tahun 2015 ini, ujian nasional tidak lagi menjadi faktor penentu nilai kelulusan siswa, juga bukan menjadi ukuran unggul atau tidaknya suatu sekolah.