REVIEW BUKU HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA
Abstract:Â
Hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris. Hukum kewarisan Islam merupakan persoalan penting sehingga dalam nas keberadaan hukum kewarisan islam diatur secara rinci sistematis konkrit dan realistis. Hukum kewarisan harus mampu diterjemahkan dalam ruang lingkup masyarakat islami sesuai dengan kondisi dan situasi sosial yang melingkupinya dalam operasionalnya memerlukan asas yang menjadi tolak ukur dalam situasi dan kondisi apapun , asas-asas tersebut yaitu : asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas kematian pewaris. Dalam menetapkan kewarisan juga memerlukan sumber hukum, sumber hukum kewarisan dapat dilihat dari Al-Qur'an, hadist, ataupun ijtihad. Dalam penyelesaian atau pembagian kewarisan terdapat beberapa hal yang harus kita ketahui di antaranya : sebab-sebab warisan, ahli waris dan bagiannya, rukun kewarisan, penghalang kewarisan, dan beberapa hal lainnya.
Keywords : Waris; Islam; Hukum.
PendahuluanÂ
Hukum kewarisan Islam merupakan suatu kajian yang telah lama dikaji dan dipelajari oleh para pakar ilmu faraidh. Untuk memahami tentang hukum kewarisan Islam seseorang harus mampu memahami dan menafsirkan secara akurat teks Al-Qur'an maupun hadis yang dijadikan dasar dalam penentuan waris. Hukum kewarisan biasanya sangat terkait erat dengan sistem normatif dan struktur sosial masyarakat serta sistem kekeluargaan. Hal tersebut sudah ada sejak zaman masyarakat Arab sebelum Islam. Pada masyarakat Arab sebelum Islam waris sangat ditentukan berdasarkan prinsip persaudaraan dan peperangan kekuatan tiap individu dan partisipasi dalam peperangan. Oleh karena itu, kaum wanita tampak terabaikan bahkan bukan termasuk ahli waris.
Pada masa sahabat hukum kewarisan mengalami banyak perubahan. Begitu pula perubahan dan pembaruan kewarisan Islam juga terjadi pada masyarakat Islam di Indonesia. Beberapa pembaharuan hukum waris diantaranya pembagian waris berdasarkan faraidh, pelaksanaan hibah, pembagian harta waris berdasarkan musyawarah dan mufakat, serta pembagian harta bersama dan ahli waris pengganti dan bagiannya, serta penerapan wasiat wajibah.
Â
Judul Buku : Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia
Penulis : Dr. Hj. Siah Khosyi'ah, M.Ag.
Penerbit : Simbiosa Rekatama Media
Tahun Terbit : 2021
Cetakan : Pertama, Agustus 2021
Buku Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia karya Dr. Hj. Siah Khosyi'ah, M.Ag. ini terdapat beberapa bab yang diantaranya membahas tentang gambaran umum kewarisan Islam, asas-asas kewarisan Islam, sumber hukum kewarisan islam, hukum kewarisan islam dalam tatanan hukum nasional, sebab-sebab hukum kewarisan, penghalang kewarisan, rukun kewarisan, menentukan harta waris, ahli waris dan bagiannya, aplikasi bagian saudara dalam kalalah, ahli waris pengganti, keutamaan sesama ahli waris, aplikasi pembagian warisan, 'aul dan rad, perdamaian dalam menyelesaikan waris (takharuj), dan yang terakhir yaitu masalah-masalah khusus dalam kewarisan Islam.
Gambaran Umum Kewarisan IslamÂ
Pada bab ini diterangkan tentang pengertian hukum kewarisan Islam dan filosofis hukum kewarisan. Hukum kewarisan Islam merupakan hukum yang mengatur perpindahan hak milik seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris. Hukum kewarisan Islam biasa disebut faraidh, sedangkan ilmu yang mempelajari hukum kewarisan islam dinamakan ilmu faraidh atau ilmu waris. Harta yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia dengan sendirinya akan beralih kepada ahli waris yang mempunyai hunungan hukum degannya. Menutrut KHI pasal 171 harta peninggalan dan harta waris itu berbeda. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris, baik harta yang menjadi miliknya atau pun hakya. Sedangkan harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, bianya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian utuk kerabat.
Hukum kewarisan telah berlangsung sejalan dengan berlakuya ajaran agama dalam bidang-bidang hukum Islam yang lainnya. Melaksanakan ajaran Islam yang berkaitan dengan kewarisan bagi umat Islam merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil nash lain yang menunjukkan ketidakwajibannya itu.
Asas-asas Kewarisan IslamÂ
      Terdapat beberapa asas kewarisan menurut Amir Syarifuddin dan Muhammad Daud Ali, yaitu :
- Asas Ijbari, Kata ijbari dalam bahasa Indonesia mengandung arti paksaan.Asas ijbari merupakan asas yang men ciptakan adanya proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris yang terjadi dengan sendirinya menurut ketetapan syariat, tanpa ada kaitan dengan kemauan pewaris. asas ini akan berlaku dengan sendirinya jika ada kematian pewaris.
- Asas Bilateral, Jika dikaitkan dengan sistem kekeluargaan, kata bilateral berarti menarik garis keturunan seseorang, baik melalui jalur keturunan bapak maupun jalur keturunan ibu. Jika dikaitkan dengan hukum kewarisan, ahli waris dapat menerima hak waris dari kedua belah pihak, baik dari keturunan bapak maupun dari keturunan ibu. Anak laki-laki berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya, Â begitu pula halnya anak perempuan la berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya.
- Asas Individual, Asas individual menunjukkan bahwa harta warisan akan dibagikan kepada ahli waris secara perorangan, bukan kolektif. Hal ini berarti bahwa setiap ahli waris dapat memilik harta waris secara murlak, tidak terkecuali ahli waris yang belum dewasa atau di bawah pengampuan.
- Asas Keadilan Berimbang
- Kata keadilan berasal dari bahasa Arab yang akar katanya adl. Dalam Al- Quran, istilah 'all meliputi beberapa hal, di antaranya :
- a. Keadilan dalam penegakan hukum
- b. Keadilan dalam perkataan, yaitu berbicara jujur.
- c. Keadilan berarti tebusan, bahwa setiap perbuatan akan dibalas sesuai dengan apa yang dikerjakan.
- d. Keadilan berarti menyamakan atau membandingkan Allah dengan makhlukNya.
- e. Struktur anatomi tubuh manusia, Hukum kewarisan Islam menggambarkan adanya asas keadilan yang berimbang. Asas keadilan berimbang merupakan asas yang menggam- barkan bahwa seseorang sebagai ahli waris memperoleh hak dalam harta warisan seimbang dengan keperluannya. Seimbang yang dimaksud adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikan.
- f. Asas kematian pewaris, hukum kewarisan Islam menentukan bahwa perpindahan hak milik seseorang kepada ahli waris akan berlaku setelah pewaris meninggal.
Sumber Hukum Kewarisan Islam
Sumber hukum kewarisan Islam adalah dari Al-Qur'an, Â hadis Rasulullah Saw, dan ijtihad.
1. Sumber hukum dari Al Qur'an , Norma hukum yang terkait dengan hukum kewarisan Islam dalam Al-Quran termuat dalam Surah An-Nisaa (4) ayat 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 32, 33, 176, dan Surah Al-Anfal (8)ayat 75. Ayat-ayat tersebut turun di Madinah sesudah tiga tahun Rasulullah berada di Madinah. Ayat lain dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 221 dan Surah An-Nur (24) ayat 32 tentang dasar-dasar keabsahan perkawinan yang mencerminkan bentuk-bentuk kekerabatan sekaligus berpengaruh terhadap sistem kewarisan.
2. Sumber hukum dari hadits, Beberapa hadis yang berkaitan dengan pengaturan kewarisan diantara:
- Hadis dari Ibnu 'Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Berikanlah bagian fara idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dehat (nasabnya)." (HR. Bukhari dan Muslim).
- Hadis dari Imran ibn Hushain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi."Dari Imran ibn Hushain bahwasanya ada seorang laki-laki datang pada Rasulullah dan berkata, "Sesungguhnya anak saya meninggal dunia, berapa yang saya peroleh dari harta warisnya?" Rasulullah bersabda, "Engkau men- dapat seperenam".
3. Sumber hukum kewarisan dari ijtihad
      Dalam kewarisan Islam sangat banyak kasus kewarisan yang penetapan hukumnya didasarkan pada ijtihad. Sebagai contoh kewarisan orang yang berkallamin ganda (waria). Sebelumnya tidak ada dalil yang menetapkan sebagai sumber rujukan. Akan tetapi, ulama fiqih sepakat bahwa penetapan waria termasuk kelompok ahli waris laki-laki atau ahli waris perempuan dilihat dari dua aspek: pertama, keluarnya air seni dari jenis kelamin yang mana yang lebih dahulu; kedua, tanda-tanda kedewasaannya mengarah ke jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
Di Indonesia penetapan waris berdasarkan ijtihad yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia salah satunya ahli waris pengganti yaitu keturunan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, juga keturunan saudara pewaris, jika orang tuanya meninggal lebih dahulu dari pewaris dengan bagian sebesar yang digantikannya. Contoh lainnya, wasiat wajibah yang diberikan kepada anak angkat atau orang tua angkat sebesar 1/3 dari harta peninggalan pewaris.
Hukum Kewarisan Isalam dalam Tatanan Hukum Nasional Â
Di Indonesia, hukum kewarisan Islam berkembang sejalan dengan perkembangan hukum Islam pada umumnya, sebagai konsekuensi logis terhadap pengamalan ajaran Islam yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Indonesia. Di daerah-daerah tertentu hukum kewarisan Islam telah melebur dengan kultur setempat bahkan dijadikan tolak ukur dalam melaksanakan ajaran agamanya sebelum masa penjajahan sampai sekarang. Hukum waris yang berlaku masih bersifat pluralistik. Hal tersebut terbukti dengan berlakunya hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris BW (Burgelijk Wetboek) yang secara bersamaan berdampingan mengatur hal waris bagi para subjek hukum yang tunduk pada masing-masing sistem hukum tersebut. Penyelesaian kewarisan bagi umat Islam di Indonesia menjadi wewenang pengadilan Agama yang telah ditetapkan pada pasal 49 Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang tugas dan wewenang pengadilan agama.
Sebab-Sebab Hukum Kewarisan IslamÂ
- Sebab Kewarisan Pra-Islam
- Hubungan darah, Hak mewarisi atas hubungan darah hanya berlaku pada laki-laki dengan syarat, seperti pandai memanah, bisa menunggang kuda, bisa berperang, dan sanggup merampas harta musuh dalam perang.
- Hubungan sebagai anak angkat, Apabila seseorang diangkat menjadi seorang anak secara hukum adat kedudukannya sama seperti anak kandung dalam hal memperoleh hak hukum termasuk dalam kewarisan. Secara hukum anak angkat mempunyai hak-hak yuridis dalam waris atau menerima hak dan kewajiban sebagai ahli waris baik materiel maupun imateriel seperti memperoleh martabat keturunan.
- Hubungan perkawinan, Hubungan perkawinan menjadi salah satu sebab adanya hubungan kewarisan pada masa sebelum Islam. Namun hal tersebut hanya berlaku bagi suami jika istrinya meninggal, Â sedangkan jika suaminya meninggal istri bukan sebagai ahli waris.
- Sebab Kewarisan Menurut Ulama Fiqih
- Perkawinan, perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah antara ayah dan ibu si anak semenjak mulai mengandung. Perkawinan yang sah sudah cukup dijadikan alasan untuk menetapkan keturunan yang sah dan memudahkan dalam menetapkan kewarisan apabila ada salah satu yang meninggal dunia.
- Keturunan (nasab), Nasab dalam ilmu waris berarti mereka yang berhak menerima hak waris karena pertalian darah atau keturunan yaitu anak (laki-laki maupun perempuan) dan sebagainya. Adanya hubungan darah yang sah menurut syarak dalam ikatan keluarga berakibat timbulnya hubungan hukum dalam masalah waris, perwalian, kewajiban nafkah, larangan perkawinan, dan sebagainya. Hubungan darah merupakan salah satu sebab yang terkuat untuk memperoleh waris.
- Persaudaraan seagama Islam, Yang dimaksud dengan persaudaraan seagama Islam adalah hubungan perjanjian moral. Harta warisan diperoleh berdasarkan ikatan perjanjian ini diselesaikan dengan jalan wasiat. Contohnya apabila seorang anak angkat orang tua angkatnya meninggal maka ia tidak dapat memperoleh hak waris melainkan ia bisa mendapat wasiat dari orang tua yang meninggal dunia. Dengan kata lain bukanlah pembagian warisan melainkan pengeluaran bagian wasiat.
- Wala', adalah memerdekakan hamba sahaya. Apabila seorang tuan memerdekakan hamba sahaya ketika hamba sahaya nya meninggal dunia dan memiliki harta peninggalan namun tidak memiliki ahli waris maka ia berhak mewarisi harta peninggalan hamba sahaya tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku sebaliknya, nama saya yang dimerdekakan tidak bisa menerima waris dari tuan yang memerdekakannya.
- Sebab Kewarisa Dalam KHI
- Beragama Islam, Pada pasal 171 poin b dan c sebutkan bahwa pewaris saat meninggal baik mati hukmi maupun hakiki beragama Islam, Â dan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggalnya pewaris beragama Islam. Untuk membuktikan bahwa ahli waris beragama Islam pada pasal 172 dijelaskan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas, pengakuan, amal sehari-hari, dan kesaksian, sedangkan bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut agama orang tuanya.
- Perkawinan, Perkawinan sebagai salah satu sebab adanya hubungan kewarisan antara suami istri yakni suami ahli waris bagi istrinya dan istri ahli waris bagi suaminya.  Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah menurut hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang sah dijelaskan pada undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat  (1 dan 2), dan pada KHI pasal 4.
- Keturunan yang sah, dalam pasal 99 menyebutkan bahwa keturunan yang sah adalah : anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut, contoh: bayi tabung.
Penghalang KewarisanÂ
- Berbeda Agama, Dalam hukum Islam orang yang bukan Islam tidak berhak menerima waris dari seorang muslim. Menurut jumhur ulama ahli waris non muslim tetap tidak mendapatkan harta waris dari pewaris muslim. Fatwa MUI Nomor : 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang kewarisan beda agama menetapkan bahwa hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang yang berbeda agama. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
- Pembunuhan, Pembunuhan terhadap pewaris merupakan salah satu tindakan yang mengakibatkan seseorang tidak memperoleh hak waris. Di Indonesia, pembunuhan menjadi penghalang kewarisan terdapat pada pasal 173 KHI poin (a), diantaranya: Membunuh pewaris; mencoba membunuh pewaris; dan menganiaya berat terhadap pewaris.
- Perbudakan, Ulama sepakat bahwa seorang yang menjadi hamba sahaya menjadi penghalang kewarisan. Q.S. An-Nahl (16) : 75 menggambarkan hilangnya kecakapan hukum seseorang ketika menjadi hamba sahaya. Bahwa hamba Saya tidak memiliki kecakapan hukum dalam menguasai hak kebendaan dengan jalan apapun termasuk hal waris mewarisi. Dan diri hamba saya tersebut milik tuannya sama seperti benda-benda kekayaan tuannya, oleh karena itu hamba sahaya terhalang dari dua aspek: menerima harta waris dari ahli warisnya dan memberikan harta waris kepada ahli warisnya.
Â
Rukun KewarisanÂ
- Meninggalnya Pemilik Harta (Muwarits), Meninggalnya muwaris merupakan suatu yang mutlak atau sesuatu yang harus ada dalam menyelesaikan harta waris. Kematian muwarits dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: mati hakiki (kematian yang dapat dibuktikan dengan pancaindra / melalui medis), mati hukmi (kematian oleh dasar pertimbangan hakim pengadilan), mati taqdiry (kematian bukan karena kematian hakiki dan hukmi).
- Harta Waris (Mauruts), Ulama membedakan harta waris (mauruts) dan harta peninggalan (tirkah). Dalam fiqih Al-Sunnah, imam Hanafi berpendapat bahwa tirkah adalah apa yang ditinggalkan seseorang dari harta benda secara mutlak sedangkan hak atas tirkah tersebut tidak diwariskan. Menurut malikiyah Syafi'iyah dan hanabilah tirkah dapat diartikan secara umum mencakup semua yang ditinggalkan seseorang berupa benda dan hak baik hak kebendaan maupun bukan hak kebendaan. KHI pasal 171 membedakan pengertian mauruts dan tirkah. Disebutkan bahwa tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan mauruts adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah, pembayaran utang, dan pemberian kepada kerabat.
- Ahli Waris, adalah orang-orang yang berhak mendapatkan waris menurut hukum. Dalam surah An-Nisa' (4) ayat 7 ahli waris adalah laki-laki dan perempuan yang lahir dalam keadaan hidup sampai meninggalnya dan berhak mendapat bagian dari harta peninggalan kedua orang tuanya serta kerabatnya. Menurut KHI pasal 171 poin (c) ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Menentukan Harta WarisÂ
- Harta Bawaan, merupakan harta asal yang diperoleh seseorang, suami atau istri, dalam kekuasaannya dan menjadi hak masing-masing, baik sebelum perkawinan maupun sesudah perkawinan. Misalnya setelah menikah istri atau suami mendapatkan harta waris dari orang tuanya, mendapatkan hibah, mendapatkan harta dari wasiat, jual beli, tukar-menukar dan lain-lainnya.
- Harta Bersama, merupakan harta dari hasil usaha bersama yang diperoleh setelah perkawinan sampai putusnya perkawinan baik karena perceraian maupun kematian. Serta bersama dapat berupa harta benda yang berwujud atau tidak berwujud. Harta berwujud meliputi harta bergerak, harta tidak bergerak, dan surat-surat berharga, sementara harta tidak berwujud berupa hak serta kewajiban.
Ahli Waris dan Bagiannya
- Pendapat Hazairin
- Dhaw al-faraidh, Orang-orang yang mendapat bagian tertentu dalam keadaan tertentu, diantaranya: Anak perempuan yang tidak didampingi oleh anak laki-laki; Ibu; Bapak dalam hal ada anak; Duda; Janda; Saudara laki-laki dalam hal kalalah; Saudara laki-laki dan saudara perempuan bersyarikah dalam hal kalalah; Saudara perempuan dalam hal kelalah.
- Dhaw al-qarabat, Orang-orang tertentu yang mendapat bagian tidak tertentu karena faktor-faktor yang dipengaruhi oleh ahli waris yang lain, diantaranya: Anak laki-laki; Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki; Bapak; Saudara laki-laki dalam hal kalalah; Saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalalah.
- Mawali, Mawali dipersamakan dengan ahli waris pengganti. Dalam pasal 185 ayat 1 dan 2 KHI, mawali adalah ahli waris yang menggantikan orang tuanya yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris dan bagian yang diperoleh ahli waris pengganti sebesar orang yang digantikannya.
- Pendapat Asaf A.A.Fyzee, Asaf A.A. Fyzee mengemukakan pendapat imam Hanafi yang menggolongkan ahli waris menjadi 7 golongan ; tiga golongan utama dan 4 golongan pelengkap.
- a. Tiga golongan utama : Ahli waris Alquran ( dhaw al-faraidh); Ahli waris digaris bapak ( 'ashabah); Ahli waris di garis ibu (dhaw al-arham)
- b. Empat golongan pelengkap : Ahli waris karena perjanjian; Anggota keluarga yang diakui; Ahli waris satu-satunya; Negara, dalam hal pewaris tidak punya ahli waris.
Ketentuan Penbagian Harta Waris Kepada Ahli Waris
- Dhaw al-faraidh
- Kedudukan anak perempuan, anak perempuan tunggal tanpa diikuti anak laki-laki memperoleh dari harta waris. Jika lebih dari satu orang, ia mendapat dari harta waris.
- Kedudukan Ibu, Ibu mendapat jika pewaris meninggalkan anak atau turunan baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan mendapatkan dari harta waris apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak dan turunannya atau tidak ada saudara jaminan.
- Kedudukan suami-istri, Suami mendapat dari harta waris jika mendiang istri tidak meninggalkan anak dan turunannya. Jika istri meninggalkan anak suami mendapat bagian dari harta peninggalan. Â Istri mendapat bagian jika mendiang suami tidak meninggalkan anak atau turunannya. Apabila suami meninggalkan anak atau keturunannya istri mendapat bagian dari harta peninggalan. Jika istrinya lebih dari satu maka bagian tersebut dibagi sama rata dari bagian / tadi;Â
- Kedudukan bapak, Bapak bertindak sebagai dhaw al-faraidh jika didampingi oleh anak-anak pewaris atau keturunannya, bagian yang diperoleh adalah ;Â
- Kedudukan Saudara, Saudara mendapat bagian atau sebesar-besarnya karena hendak membuka kemungkinan bagian untuk bapak.
- Dhaw al-Qarabat, Anak laki-laki dan anak Perempuan , Anak laki-laki memperoleh bagian bersama-sama dengan anak perempuan sebagai dhaw al-qarabat dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan; Bapak, Bapak bisa bertindak sebagai dhaw al-qarabat apabila bersama-sama dengan saudara dalam hal kalalah. Saudara akan terus muncul sebagai pewaris selama anak pewaris tidak ada; Saudara, Saudara sebagai dhaw al-qarabat, baik saudara laki-laki seorang atau lebih maupun saudara laki-laki dan saudara perempuan yang bergabung menjadi dhaw al-qarabat dengan ketentuan bagian saudara laki-laki dua kali lipat dari bagian saudara perempuan.
Aplikasi Bagian Saudara dalam Kalalah
Menurut ahlussunnah kalalah adalah seseorang yang meninggal dunia yang tidak meninggalkan anak dan ayah. Anak yang dimaksud adalah anak laki-laki atau cucu laki dari anak laki-laki. Anak perempuan atau cucu dari anak perempuan dan ibu tidak menghijab saudara pewaris. Para sahabat berpendapat kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan keturunan dari anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Ulama fiqih menafsirkan pengertian kalalah adalah seorang yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki dan keturunannya melalui jalur laki-laki.
Dari surah An-Nisa' ayat 12 dijelaskan bahwa pembagian waris yang diterima oleh saudara seibu jika satu orang baik saudara si ibu laki-laki maupun saudara seibu perempuan bagiannya . Jika saudara si ibu lebih dari dua orang bagiannya . Bagian saudara kandung atau bapak sesuai dengan ayat 176 surah An-Nisa', yaitu jika saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan ke bapak bagiannya . Jika saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan setapak dua orang lebih bahagianya .
Ahli Waris PenggantiÂ
Pada kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 185 ayat (1) & (2) menjelaskan bahwa ahli waris pengganti adalah ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Kedudukannya dapat digantikan oleh keturunannya baik keturunan anak maupun keturunan saudara. Dalam konteks perkembangan warisan Islam menurut Hazairin ahli waris dikenal dengan istilah mawali. Dalam istilah kewarisan hukum Islam, mawali lebih relevan diartikan sebagai orang yang mengikuti, dalam arti mengikuti orang tuanya sebagai ahli waris. Jika orang tuanya sebagai ahli waris orang yang mengikuti pun sebagai ahli waris.
Keutamaan Sesama Ahli WarisÂ
Dalam hukum kewarisan Islam ahli waris dikelompokkan menjadi ahli waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah. Tidak menurut kemungkinan ketika seseorang meninggal dunia kedua ahli waris tersebut ada, baik nasabiyah maupun sababiyah. Kondisi tersebut akan menimbulkan persoalan ahli waris mana yang harus didahulukan untuk mendapatkan hak atas harta waris dari pewaris. Keutamaan ahli waris yang ada hubungan darah (keturunan yang sah) dengan pewaris tidak hanya bergantung pada jauh dekatnya derajat hubungan darah di antara mereka, tetapi bergantung juga pada jenis kelamin.
Hazairin mengelompokkan ahli waris ke dalam beberapa kelompok keutamaan, diantaranya :
1. Keutamaan pertama adalah anak laki-laki dan perempuan sebagai dhaWal-faraidh atau sebagai dhaw al-qarabat, bersama ahli waris pengganti mereka, bapak dan ibu sebagai dhaw al-faraidh serta janda atau duda sebagai dhaw al-faraidh.
2. Keutamaan kedua adalah saudara laki-laki dan perempuan sebagai dhaw al-faraidh atau sebagai dhaw al-qarabat, bersama ahli waris pengganti saudara dalam kalalah, ibu sebagai dhaw al-faraidh, bapak sebagai dhaw al-qarabat dalam kalalah, dan janda atau duda sebagai dhaw al-faraidh.
3. Keutamaan ketiga adalah ibu sebagai dhaw al-faraidh, bapak sebagai dhaw al-qarabat, dan janda atau duda sebagai dhaw al-faraidh.
4. Keutamaan keempat adalah janda atau duda sebagai dhaw al-faraidh.
Aplikasi Pembagiam WarisanÂ
- Bagian Anak : Anak laki-laki dan anak perempuan atau ahli waris pengganti dari anak laki-laki dan anak perempuan, bagian anak laki-laki dua kali dari anak perempuan ('ashabah bil ghairi); Anak perempuan dua orang atau lebih, atau ahli waris pengganti dari anak perempuan tersebut, bagiannya ; Seorang anak perempuan tanpa anak laki-laki atau ahli waris pengganti dari anak perempuan tersebut, bagiannya ; Anak laki-laki tanpa anak perempuan bagiannya adalah 'ashabah bi al-nafsihi.
- Bagian Bapak dan Ibu
- Bapak : a. Bapak mendapat bagian jika pewaris mempunyai anak laki-laki dan keturunan anak laki-laki sebagai ahli waris pengganti; b. Bapak mendapat ditambah 'ashabah jika pewaris mempunyai anak perempuan atau keturunan anak perempuan sebagai ahli waris pengganti; c. Bapak mendapat 'ashabah bi al-nafsihi jika pewaris tidak mempunyai anak baik laki-laki maupun perempuan atau keturunan anak laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris pengganti.
- Ibu : a. Ibu mendapat bagian jika pewaris mempunyai anak baik laki-laki maupun perempuan atau keturutan anak sebagai ahli waris pengganti baik laki-laki maupun perempuan. Mempunyai saudara baik laki-laki maupun perempuan dua orang atau lebih, keturunan saudara laki-laki atau keturunan anak perempuan sebagai ahli waris pengganti dalam hal kalalah; b. Ibu mendapat bagian jika pewaris meninggal dalam keadaan tidak mempunyai anak baik laki-laki maupun perempuan atau keturunan anak laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris pengganti. Atau mempunyai satu orang saudara atau keturunan saudara sebagai ahli waris pengganti dalam hal kalalah; c. Ibu mendapat bagian dari sisa bagian istri atau sisa bagian suami jika hanya bersama suami atau istri dan ayah (kasus gharawain).
3. Bagian Suami dan Istri
Suami : a. Suami mendapat bagian jika pewaris tidak mempunyai anak dan keturunan anak sebagai ahli waris pengganti ; b. Suami mendapat bagian jika pewaris mempunyai anak atau keturunan anak sebagai ahli waris pengganti.
Istri : a. Istri mendapat bagian jika pewaris tidak mempunyai anak atau keturunan anak sebagai ahli waris pengganti; b. Istri mendapat jika pewaris mempunyai anak atau keturunan anak sebagai ahli waris pengganti.
'Aul dan Rad
Dalam konteks hukum kewarisan Islam, 'Aul adalah bertambahnya jumlah bagian dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris yang disebabkan ashhab al-furudhnya. Jika harta waris yang harus dibagikan tidak mencukupi harus disesuaikan dengan jumlah bagian ahli waris, bahkan mungkin saja ada sebagian ahli waris yang tidak mendapatkan bagian warisan. Untuk menyelesaikan masalah 'aul, asal masalah harus diperbesar sesuai dengan jumlah bagian ahli waris yang ada. Pada pasal 192 KHI dijelaskan bahwa pembagian harta waris diantara ahli waris dhaw al-faraidh, angka pembilang lebih besar dari angka penyebut. Dengan demikian, angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, kemudian harta warisan dibagi secara 'aul menurut angka pembilang.
Rad adalah berkurangnya pembagian (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal tersebut disebabkan oleh sedikitnya ashhab al-furudh, sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum mencapai nilai 1 hingga ada harta warisan yang masih tersisa dan tidak ada seorangpun 'ashabah yang berhak menerimanya. Maka dalam keadaan seperti ini harus menurunkan atau mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhab al-furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah.
Perdamaian dalam Menyelesaikan Waris (Takharuj)Â
Perdamaian dalam penyelesaian warisan dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu:
- Perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak ahli waris.
- Perdamaian dalam bentuk jual beli.
- Perdamaian dalam bentuk perjanjian tukar menukar.
- Memberikan bagian yang sama di antara ahli waris jika seluruh ahli waris sepakat atas pembagian warisan dan telah diketahui bagiannya masing-masing sesuai hukum kewarisan Islam.
Masalah-Masalah Khusus dalam Kewarisan Islam
- Muqasamah ( Kakek Bersama saudara, baik sekandung, sebapak, maupun seibu), Jika saudara sebagai ahli waris, kewarisan kakek akan menjadi berbeda, tidak sebagaimana halnya waris selain saudara. Menurut Abu Bakar as Siddiq, Ibnu 'Abbas, Ibnu Umar, Al Hasan, Ibnu Sirin, dan Abu Hanifah, jika bersama saudara kakek dapat menghijab saudara. Menurut Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Zaid Ibn Tsabit, dan Mazhab Syafi'i, kakek tidak dapat menghijab saudara tetapi kakek mendapatkan waris bersama saudara dengan cara muqasamah dan bagian untuk kakek adalah bagian mana yang lebih menguntungkan dari bagian bersama saudara tersebut.
- Munasakhah, Secara istilah munasakhah diartikan memindahkan bagian sebagian ahli waris kepada orang yang berhak mewarisinya disebabkan ahli waris meninggal dunia sebelum menerima bagian harta waris. Terdapat beberapa unsur mengenai munasakhah yaitu : Harta peninggalan pewaris belum dibagikan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan hukum kewarisan yang berlaku bagi hak-hak ahli waris; Ada ahli waris yang meninggal sementara ahli waris yang lain masih hidup; Ada pemindahan harta waris kepada ahli waris dari orang yang seharusnya menerima warisan disebabkan ia meninggal sebelum menerimanya.
- Mafqud (Kewarisan orang hilang), Dalam pewarisan Islam orang hilang dikategorikan sebagai ahli waris dan pewaris. Ulama sepakat, harta peninggalan orang yang hilang ditahan terlebih dahulu sampai ada berita yang jelas bahwa ia telah meninggal dunia berdasarkan putusan hakim. Dalam pembagian warisan apabila orang hilang tersebut berstatus ahli waris menurut Imam Ahmad Ibn Hambal ada dua kemungkinan cara pembagiannya. Pertama, dianggap masih hidup dan bagian harta orang hilang tersebut ditangguhkan. Kedua, dianggap meninggal setelah ada penetapan dari hakim bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia.
- Khuntsa Musykil, Â adalah seseorang yang memiliki alat kelamin ganda atau tidak memiliki alat kelamin. Dalam menentukan kewarisan khuntsa musykil, harus ditetapkan terlebih dahulu status hilang kemusykilannya. Untuk mengidentifikasi jenis kelamin dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni: Dari air seni yang keluar, jika air seni keluar dari alat kelamin laki-laki terlebih dahulu, khuntsa tersebut dikelompokkan laki-laki. Namun jika air seni keluar dari alat kelamin perempuan, khuntsa tersebut dikelompokkan perempuan. Maka hal waris pun mengikuti dari mana air seni keluar; Dari tanda-tanda kedewasaannya; Melalui kedokteran.
- Kewarisan Anak dalam Kandungan. Janin yang masih dalam kandungan seorang ibu karena ditinggal wafat oleh ayahnya baik jenis kelaminnya laki-laki maupun perempuan belum dapat dipastikan mendapat warisan karena hidup janin tersebut belum pasti, sementara salah satu syarat dari ahli waris yang mendapat warisan adalah lahir dalam keadaan hidup. Tetapi tidak menutup kemungkinan, karena untuk antisipasi dan kehati-hatian dalam mengedepankan kemaslahatan, jika terlahir hidup anak tetap mendapat warisan. Untuk menggambarkan pembagian waris kepada anak dalam kandungan para ulama memperkirakan terlebih dahulu bagiannya sesuai dengan jenis kelaminnya apakah laki-laki perempuan atau khuntsa.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya buku ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Diantaranya yaitu tentang asas-asas kewarisan Islam yang terdiri dari asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, asas kematian pewaris. Kemudian tentang sumber hukum kewarisan Islam, pada dasarnya sumber hukum kewarisan Islam ditetapkan dari Al-Qur'an, hadist, dan ijtihad. Selain itu juga membahas tentang sebab-sebab hukum kewarisan Islam, penghalang kewarisan kemudian rukun kewarisan. Lalu menentukan harta waris ahli waris dan bagiannya. Kemudian tentang pengaplikasian bagian saudara dalam kalalah, tentang siapa saja ahli waris pengganti, keutamaan sesama ahli waris (siapakah yang harus didahulukan). Selanjutnya tentang 'Aul dan Rad. Serta dipaparkan juga tentang perdamaian dalam menyelesaikan waris dan masalah-masalah khusus dalam warisan Islam.
Daftar Pustaka
Khosyi'ah, S. (2021). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H