Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, setiap menjelang momentum hari kemerdekaan saya sering terlibat dalam kompetisi sepakbola. Event tersebut biasanya dibuat berjenjang. Mulai dari antar Rukun Tetangga (RT), lalu naik ke level antar Rukun Warga (RW), terus melaju ke antar kelurahan, kecamatan, dan antar kota/daerah.
Takdir tak bisa dilawan, saya kebetulan tinggal di wilayah RT yang anak laki-lakinya tidak terlalu banyak. Mau tak mau, ketersediaan pemain sangat terbatas. Seingat saya, dulu tim dari RT saya hanya memiliki dua orang cadangan. Padahal dari tim RT lain, cadangannya bisa sampai 5-6 orang.
Di beberapa RT yang kebetulan jumlah anak laki-lakinya banyak, seringkali sampai menggelar seleksi sederhana untuk mencari pemain potensial. Berbeda dengan di RT saya, tanpa adanya seleksi pun jumlah pemain sudah benar-benar pas-pasan.
Di RT yang jumlah laki-lakinya banyak tentu saja sering melangsungkan laga latihan yang efektif. Jumlah mereka cukup untuk dua tim dan bertanding sebagai sparing partner. Di RT saya, kalau bertanding pasti jumlahnya berbeda dengan jumlah yang dipersyaratkan dalam kompetisi. Lapang yang digunakan pun lebih kecil, karena memang jumlah pemainnya lebih sedikit.
Dan saya, suka sekali main bola. Kenyataan tersebut membuat saya sering galau. Ah.. takdir. Kenapa saya harus tinggal di sini, sehingga saya mustahil berada dalam tim unggulan yang memiliki bekal personil yang cakap. Hilang sudah mimpi saya untuk bisa bertanding ke level berikutnya. Tim saya lemah, karena pemainnya memang seadanya.
Saya curhat sama ayah. Saya ceritakan kegalauan saya padanya. Untuk apa ayah membelikan sepatu lengkap dengan kaos kaki keren, kalau tim saya lemah. O ya, karena posisi saya sebagai kiper, saya juga dibelikan sarung tangan yang bagus. Tapi ya itu tadi, rasanya mubazir. Mustahil rasanya tim kami menjadi pemenang, dan melaju ke level selanjutnya.
Mendengar kegalauan saya, ayah saya tersenyum. Wajah ayah ketika itu rasanya masih lekat dalam pandangan saya. Padahal, kejadian ini sudah berlalu kurang lebih 30 tahun silam. Ya, saya masih ingat sekali wajah ayah ketika mendengar kegalauan saya.
"Jangan kecil hati, Nak. Kalau kamu mau main di level yang lebih tinggi, syaratnya hanya satu. Besok, bermainlah sekuat kemampuanmu. Jangan menyerah sebelum bertanding," ujarnya, seraya menatap mata saya, seolah ingin menancapkan pesan tersebut di hati saya.
Sepakat! Singkat cerita saya berjanji akan bermain sebaik mungkin. Meski sejujurnya, hati saya masih dilingkupi kegalauan.
Sore itu, kami sudah berbaris di salah satu sisi lapangan. Tim lawan kami pun demikian. Sebentar lagi kami akan merumput. Adrenalin saya mulai naik. Saya menggerak-gerakkan tubuh saya agar lentur, sekaligus membuang rasa gelisah yang masih menggelayuti hati. Lalu sebuah tepukan ringan hinggap di pundak saya...
"Nak, jangan pernah merasa kalah sebelum peluit terakhir terdengar!"
Ternyata ayah. Saya mengangguk. Peluit tanda pertandingan dimulai terasa seperti menendang adrenalin saya ke langit, membuat saya tidak bisa mendengar dengan jelas sorak sorai para supporter.
Sesuai pesan ayah, saya bermain habis-habisan. Di babak pertama kami masih relatif imbang. Tapi memasuki babak kedua, gawang yang saya jaga benar-benar dibombardir. Bek tim saya kelelahan. Sementara pemain cadangan sangat terbatas. Saya terus bermain, berjibaku sekuat yang saya mampu. Rasanya, semua detik yang berlalu dalam laga tersebut, bagi saya adalah detik pertama. Sampai akhirnya saya terkulai lemas di bawah tiang gawang, menyerah pada takdir kalah tipis 0-1 dari tim lawan.
"Saya kalah, Yah..." Â gumamku, lemas.
"Buat ayah, kamu juaranya. Kamu hebat. Ayah yakin akan ada hadiah terbaik buat kamu, Nak," jawab Ayah. Ini dialog ketika kami pulang dari lapang, setelah tim saya kalah.
Hampir tiap sore saya pergi ke lapang, tapi hanya sebagai penonton. Sistem yang digunakan sistem gugur. Satu kali main lalu kalah, ya sudah. Selama satu minggu kompetisi itu digelar. Sepanjang itu pula saya dan ayah selalu hadir menyaksikan jalannya pertandingan. Hingga pertandingan final usai, kami masih berada di sisi lapangan.
Panitia lalu memberikan hadiah pada kesebelasan juara. Dari mulai juara pertama hingga harapan satu, semua mendapat hadiah. Dan saya, hanya bisa menonton. Pelukan ayah di pundak ketika itu, seolah memberikan pesan; "Sabar, Nak!"
Usai pembagian hadiah, panitia kompetisi lalu menyampaikan pengumuman penting.
"Mohon perhatian, pada kesempatan ini kami sebagai panitia akan mengumumkan personil untuk tim yang akan mewakili RW kita di kompetisi antar RW. Tim ini hasil seleksi dari pertandingan selama kompetisi antar RT kemarin."
Surprise! Nama saya ternyata masuk dalam daftar personil tim yang terpilih untuk mewakili RW saya, meski hanya sebagai kiper cadangan. Dan saat kompetisi antar RW berlangsung, kebetulan kiper utama tim saya cidera di laga pertama. Saya mendapat kesempatan untuk kembali mengemban pesan ayah.
Terimakasih, Ayah. Sejak itu, saya kerap menyadari untuk selalu memberikan yang terbaik,. Sekecil apapun arena yang diberikan pada kita, bermainlah semampu yang kita bisa!
[abu-ayyub]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H