Ternyata ayah. Saya mengangguk. Peluit tanda pertandingan dimulai terasa seperti menendang adrenalin saya ke langit, membuat saya tidak bisa mendengar dengan jelas sorak sorai para supporter.
Sesuai pesan ayah, saya bermain habis-habisan. Di babak pertama kami masih relatif imbang. Tapi memasuki babak kedua, gawang yang saya jaga benar-benar dibombardir. Bek tim saya kelelahan. Sementara pemain cadangan sangat terbatas. Saya terus bermain, berjibaku sekuat yang saya mampu. Rasanya, semua detik yang berlalu dalam laga tersebut, bagi saya adalah detik pertama. Sampai akhirnya saya terkulai lemas di bawah tiang gawang, menyerah pada takdir kalah tipis 0-1 dari tim lawan.
"Saya kalah, Yah..." Â gumamku, lemas.
"Buat ayah, kamu juaranya. Kamu hebat. Ayah yakin akan ada hadiah terbaik buat kamu, Nak," jawab Ayah. Ini dialog ketika kami pulang dari lapang, setelah tim saya kalah.
Panitia lalu memberikan hadiah pada kesebelasan juara. Dari mulai juara pertama hingga harapan satu, semua mendapat hadiah. Dan saya, hanya bisa menonton. Pelukan ayah di pundak ketika itu, seolah memberikan pesan; "Sabar, Nak!"
Usai pembagian hadiah, panitia kompetisi lalu menyampaikan pengumuman penting.
"Mohon perhatian, pada kesempatan ini kami sebagai panitia akan mengumumkan personil untuk tim yang akan mewakili RW kita di kompetisi antar RW. Tim ini hasil seleksi dari pertandingan selama kompetisi antar RT kemarin."
Surprise! Nama saya ternyata masuk dalam daftar personil tim yang terpilih untuk mewakili RW saya, meski hanya sebagai kiper cadangan. Dan saat kompetisi antar RW berlangsung, kebetulan kiper utama tim saya cidera di laga pertama. Saya mendapat kesempatan untuk kembali mengemban pesan ayah.
Terimakasih, Ayah. Sejak itu, saya kerap menyadari untuk selalu memberikan yang terbaik,. Sekecil apapun arena yang diberikan pada kita, bermainlah semampu yang kita bisa!
[abu-ayyub]