Selain terasa digambarkan secara berlebihan, permajasan dalam kalimat  Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, caf, dan warung-warung tegal juga dapat diidentifikasi menggunakan sinekdoki Totum Pro Parte, karena menyebutkan bagian-bagian yang dimaksudkan tempat umum secara keseluruhan.Â
Dalam penggalan kalimat pada puisi di atas bisa dimaksudkan sebagai keadaan/ fenomena di dalam masyarakat kita, bahwa dalil yang disebut dalam puisi sebagai ayat-ayat suci sedang ramai dicari atau barangkali dibicarakan di tempat umum. Kalimat-kalimat selanjutnya akan menggambarkan lebih lanjut fenomena-fenomena masyarakat--atau dalam konteks pada puisi ini rakyat--beramai-ramai mencari ayat-ayat suci tersebut.
"Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, rakyat antre siang malam memunguti sisa-sisa tiang negara yang roboh."
Kembali pada penggalan di atas, penulis mengambarkan keadaan masyarakat sebagai Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, Â dengan sarana retorika hiperbola, juga dengan majas sinekdoki totum pro parte dengan menyebutkan bagian-bagian dari penggambaran bagaimana perasaan rakyat.Â
Hal itu juga terasa pada, rakyat antre memungut sisa-sisa tiang negara yang roboh. Hiperbola dalam keadaan penggambaran rakyat, dan tiang negara juga diidentifikasi sebagai sinekdoki pars pro toto, dalam penggambaran keseluruhan negara, salah satu unsur di dalam negara yaitu tiang yang berfungsi untuk penyangga negara, digambarkan secara hiperbola pula bahwa tiang itu kini telah roboh. Menurut saya, apa yang penulis sampaikan adalah keadaan masyarakat yang kacau-balau karena hal yang dimaksud tiang negara roboh adalah unsur penyangga dalam sebuah negara telah megalami kehancuran, sehingga dihiperbolakan seakan-akan roboh.
"O, tsunami, gempa, tanah longsor, dan banjir yang susul-menyusul, menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban."
Penggalan puisi di atas, menggunakan sarana retorika pengkontrasan berupa ironi, sekaligus menggunakan totum pro parte karena menyebutkan berbagai bencana alam, yang kemudian ironinya digambarkan dengan menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. Seolah-olah bencana yang disebutkan tadi telah memporak-porandakan tatanan masyarakat, bagaimana pula digambarkan air bersih, sebagai hal yang paling dasar dalam kebutuhan manusia lenyap. Untuk menekankan sebuah ironi dalam puisi ini. Ironi tersebut dilanjutkan dengan gaya sedikit sarkasme yang digambarkan dari penggalan puisi selanjutnya seperti berikut :
"Orang-orang bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling."
Pada dasarnya, penulis menggunakan hiperbola sebagai dasar sarana retorika, melebih-lebihkan apa yang terjadi, hal itu dibungkus juga dengan menjelaskan ironi dalam penggalan puisi di atas. Bagaimana orang-orang digambarkan bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara.Â
Selain hiperbola tentang kekacauan yang pada dasarnya ada dalam dimensi mental manusia, penggambaran kekacauan itu menciptakan ironi, yang diperkuat dengan sarkasme dalam kalimat selanjutnyaÂ
Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling. Ini merupakan sindiran betapa ayat-ayat suci yang harusnya menjadi penenang batin, dinarasikan digondol maling. Ironinya, padahal ayat-ayat suci tersebut sedang amat dibutuhkan demi memperbaiki kekacauan yang digambarkan sebelumnya.Â