Mohon tunggu...
Siti Rokayah
Siti Rokayah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Telagasari, Kab. Karawang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Puisi "Selamat Idul Fitri" Karya A. Mustofa Bisri

25 Juni 2023   00:45 Diperbarui: 25 Juni 2023   00:52 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Selamat Idul Fitri

Karya: A mustofa Bisri


Selamat idul fitri, bumi
Maafkan kami
Selama ini
Tidak semesa-mena
Kami memperkosamu

Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu

Selamat idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu

Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Kami mengeruhkanmu

Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Memberangusmu

Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu

Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu

Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu.

Mendengar kata "Idul Fitri", hal pertama yang terlintas di pikiran kita pastilah umat Islam, karena Idul Fitri  adalah hari raya yang dirayakan oleh umat Islam setiap tahunnya sebagai wahana untuk saling bermaafan atas kesalahan yang telah dilakukan. Puisi "Selamat Idul Fitri ini membuat kita merasakan nuansa kereligiusan agama Islam ketika baru melihat judulnya pun. 

Sebelum mengkaji puisi ini lebih jauh, berikut ini pemaparan singkat mengenai pengarangnya yakni A. Mustofa Bisri karena ketika berbicara karya sastra itu tidak lepas dari cerminan hidup pengarangnya. Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan pengungkapan pribadi pengarang (Seldan, 1985: 52)

Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan sapaan Gus Mus ini lahir di Rembang, 10 Agustus 1944, ayahnya adalah KH. Bisri Mustofa yang merupakan pengasuh pesantren Raudlatuth Thalibin Rembang. A. Mustofa Bisri menempuh pendidikan di pesantren, sebelum akhirnya ke Al-Qism al'Alie lid Diraasaati 'I-Islamiyah wal 'Arabiyah  Al-Azhar Universitas Kairo, Mesir. 

Terlahir dalam lingkungan keluarga yang taat beragama, A. Mustafa Bisri selain dikenal sebagai pengarang juga sebagai seorang kiai dan tokoh di Jajaran Rais PBNU. 

Kegemarannya menulis membuatnya disebut sebagai kiai yang nyeleneh.  Telah banyak banyak karya sastra yang dihasilkan A. Mustofa Bisri, tidak hanya puisi tetapi juga cerpen. Kumpulan puisi-puisinya yang sudah terbit yaitu: Ohoi (1988), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus (1995), Rubaiyat Angin & Rumput (Diterbitkan atas kerja sama Majalah Humor dan PT Matra Multi Media, Jakart, Tanpa Tahun), Wekwekwek (1996), Gelap Berlapis-lapis, Negeri Daging (2002), Gandrung, Sajak-sajak Cinta (2007), Aku Manusia (2007), Syi'iran Asmaul Husna (2007), Membuka Pintu Langit (2007) . 

Dan puisi-puisi yang diterbitkan dalam berbagai Antologi bersama rekan-rekan Penyair, seperti dalam Horison Sastra Indonesia, Buku Puisi, Horison Edisi Khusus Puisi Internasional 2002, Takbir Para Penyair, Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air, Ketika Kata Ketika Warna, Antologi Puisi Jawa Tengah dan lain-lain.Demikianlah, pemapaparan singkat mengenai latar belakang A, Mustofa Bisri, yang terlahir dalam lingkungan kelurga pesantren dan taat beragama, maka wajarlah jika karya-karyanya bersifat religius atau bernuansa Islami, seperti halnya puisi Selamat Idul Fitri tersebut. 

Untuk memahami isi puisi, salah satu caranya yaitu dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik  puisi tersebut. Berikut ini analisis unsur intrinsik puisi Selat Idul Fitri karya A Mustofa Bisri, analisis meliputi tifografi, diksi, imaji (citraan), rasa, nada, tema , dan amanat. 

Dalam karya sastra, penyair tidak ikut berbicara; yang berbicara adalah seseorang yang disebut Aku atau Subjek Lirik. Dan Aku Lirik bisa bermacam-macam namanya. Dalam puisi Selamat Idul Fitri aku liriknya adalah Kami. Aku lirik Kami mengungkapkan rasa permohonan maaf dan rasa bersalahnya pada alam semesta di momentum Idul Fitri. 

Tifografi (perwajahan) adalah pengaturan dan penulisan kata, larik atau bait dalam puisi. Puisi Selamat Idul Fitri terdiri dari 5 bait, hampir setiap baitnya terdiri dari 5 larik dan hanya 2 bait yang terdiri dari 4 larik yaitu bait ke-4 dan ke-5. Kata-kata pada larik ke-2 dan ke-3 diulang-ulang pada setiap baitnya, hal itu untuk memberikan penegasan tentang permohonan maaf dan rasa bersalahnya pada momentum Idul Fitri 

Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Pemilihan kata-kata pada puisi mencerminkan pemikiran atau pandangan pengarang. Pada puisi Selamat Idul Fitri kata-kata yang digunakan oleh A. Mustofa Bisri yaitu alam semesta yang meliputi bumi, langit, mentari, laut, binatang, tumbuhan dan manusia. 

Pemilihan kosakata tersebut mewakili perasaan Kami (aku lirik dalam puisi Selamat Idul Fitri) terhadap Idul Fitri. Gema Idul Fitri tidak hanya dirasakan oleh manusia, khususnya umat Islam tetapi juga seantero jagat raya. Idul Fitri sebagai momentum pembersihan dosa dan saling bermaafan sesama manusia, juga merenungi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan terhadap alam semesta. 

Sementara itu, maji yang dominan pada puisi Selamat Idul Fitri yaitu imaji visual, hal tersebut tergambar dalam seluruh baitnya. Misalnya pada bait ke-2 terdapat kalimat 'Kami mengelabukanmu', terbayang dalam pikiran kita sesuatu tindakan yang membuat sesuatu menjadi warna abu-abu, yang dibuat menjadi warna abu-abu dalam puisi tersebut adalah langit. Kemudian, pada bait ke-3  mentari yang cerah dibuat menjadi kabur atau pudar cahaya, dapat kita bayangkan ketika membaca kalimat; 'Kami mengaburkanmu'.

Tema puisi Selamat Idul Fitri, yaitu ungkapan maaf atas segala kesalahan yang dilakukan. Secara lebih luas, puisi ini juga bertemakan kritik sosial terhadap lingkungan. Bagaimana manusia menghancurkan alam dengan eksploitasi secara besar-besaran terhadap lingkunagan. 

Dalam momentum Idul Fitri, setiap orang saling bermaafan atas kesalahan yang dilakukan, begitu pun dengan manusia hendaknya menyadari kesalahanya pada lingkungan yang menjadi tidak asri lagi karena sebagaimana disebutkan di atas bahwa secara universal gema Idul Fitri menjadi milik semesta alam atau segala sesuatu yang ada di bumi baik makhluk hidup ataupun benda mati. Selain itu pula, saya menafsirkan bahwa A. Mustofa Bisri juga mencoba mengungkapkan bahwa Islam Rahmatan Lil'alamin (kasih sayang bagi seluruh alam).

Idul Fitri sebagai hari raya umat Islam yang digunakan untuk saling bermaafan dan menebar kasih sayang yang tidak hanya terbatas pada seluruh umat Islam saja, tapi seluruh alam semesta.

Selain itu, hal yang menarik dalam puisi A. Mustofa Bisri ini yaitu pada bait ke-7 dan ke-8, pada bait ke-7 dan 8 tersebut mengindikasikan kritik sosial terhadap pemerintah dan masyarakat. Rakyat meminta maaf terhadapa pemimpin, karena tidak mematuhi pemimpin dan pemimpin pun meminta maaf pada rakyat karena sering mempergunakannya. 

Dalam konteks sosial saat ini, di mana banyak orang yang melakukan protes terhadap pemerintah karena dianggap tidak bias memimpin dengan baik, dan juga pemerintah yang menjalankan tugasnya atau amanah dari rakyat secara tidak bertanggung jawab sehingga membuat rakyatnya sengsara, puisi ini menjadi bahan renungan untuk saling introspeksi diri dan saling memafkan. 

Saling memaafkan tidak hanya pada saat momen Idul Fitri saja, tetapi  Idul Fitri itu sendiri dalam makna yang luas bahwa kita kembali ke suci atau fitrah, yakni setiap melakukan kesalahan terhadap orang lain seharusnya kita meminta maaf dan menjaga diri dari perbuatan yang salah, sehingga Idul Fitri (kembali pada kesucian) selalu melekat dalam jiwa kita, dan itulah yang harus dimiliki setiap orang dalam kehidupan ini sehingga menciptakan lingkungan yang aman, damai, dan sejahtera.

Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya[16]. Rasa yang diungkapkan oleh Kami (aku lirik) dalam puisi tersebut adalah ungkapan perasaan bersalah dan permohonan maaf di hari raya Idul Fitri. Sementara itu,  Nada adalah sikap penyair terhadap pembacanya. Ada penyair yang menyampaikan tema dengan gaya mendikte, atau menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca. Nada yang digunakan dalam puisi ini adalah bekerja sama dengan pembaca untuk bermaafan pada momen hari raya Idul Fitri, pembaca diajak merasakan rasa bersalah dan ungkapan maaf di haari yang fitri tersebut kepada seluruh alam semesta. 

Amanat dalam puisi ini, yaitu bahwa ketika kita melakukan kesalahan seharusnya meminta maaf, pentingnya menjaga lingkungan alam dan tidak semena-mena terhadap lingkungan, menyambut gema Idul Fitri dengan rasa haru dan suka cita. Sedangkan tujuan penulisan puisi ini oleh A, Mustofa Bisri adalah untuk berkomunikasi dan mengaktualisasikan diri. Terlahir dalam lingkungan kelurga yang taat beragaman, tentunya menjadikan A. Mustofa Bisri memiliki wawasan yang luas tentang ilmu agama Islam. Kehidupan yang bernuansakan keislaman telah mendarah daging, sehingga diungkapkannya dalam puisi Selamat Idul Fitri. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun