Mohon tunggu...
Ayu Wulan Dari
Ayu Wulan Dari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keberadaan Konten Kreator di Masa Pandemi: Analisis Industri Budaya dalam Pandangan Paul Hirsch

16 Juni 2023   05:22 Diperbarui: 16 Juni 2023   05:34 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seiring dengan perkembangan kapitalisme yang cukup pesat di seluruh penjuru dunia membuat kebudayaan di masyarakat berkaitan erat dengan sistem industri. Sistem industri kebudayaan ini sudah berkembang sejak tahun 1970an yang lalu. Sebagian besar masyarakat di dunia hanya memandang YouTube sebagai sarana untuk menyalurkan bakat atau kreativitas yang dimiliki, namun pada sebagian masyarakat yang lainnya menganggap YouTube sebagai sarana ajang unjuk kreativitas dari setiap orang. 

Seseorang yang bisa membuat konten dan mengunggahnya ke dalam YouTube akan memperoleh penghasilan yang cukup menjanjikan dengan jumlah uang yang jutaan dan bahkan milyaran rupiah yang diperoleh dari iklan yang dipasang maupun dari jumlah subscriber yang dimiliki. Hal tersebut membuat masyarakat luas berlomba-lomba menyalurkan kreativitasnya dengan membuat sebuah konten dan mengunggahnya di YouTube untuk meraup keuntungan. Terlebih lagi di masa pandemi yang sebagian masyarakatnya kehilangan pekerjaan dan merasa jenuh sehingga membuat mereka menggunakan kesempatan ini untuk mengisi waktu luang sekaligus untuk memperoleh penghasilan.

Berdasarkan fenomena tersebut maka keberadaan konten kreator YouTube dapat dianalisis menggunakan pemikiran Paul Hirsch mengenai industri kebudayaan. Sebuah konsep yang diperkenalkan Paul Hirsch berupa "Culture Industry System'" menjelaskan mengenai bagaimana suatu objek atau produk budaya diproduksi secara berlebihan agar bisa diindustralisasikan kepada masyarakat. Menurut Paul Hirsch sistem industri yang pertama yaitu sub-sistem teknikal, dalam hal ini konten kreator sebagai sebuah sub-sistem teknikal yang menjadi sumber dari segala gagasan atau pemikiran kebudayaan di masyarakat luas. 

Hasil pemikiran para konten kreator tersebut akan disaring oleh organisasi industri kebudayaan seperti rumah produksi, studio rekaman atau para editor sebagai bagian dari sub-sistem manajerial yang akan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan minat konsumen. Setelah diproduksi, konten tersebut disaring kembali dengan mempromosikannya melalui media sosial lainnya seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp sebagai sub-sistem institusional agar dapat diterima oleh masyarakat dan menjadi populer. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalkan konten tersebut sehingga mampu bersaing dalam pasar.

Ketika konten tersebut sudah dipasarkan, maka masyarakat akan menyaring kembali konten tersebut dengan memilih konten yang sesuai dengan tren masyarakat saat ini. Inilah yang membuat para konten kreator lebih memilih membuat video yang sesuai tren daripada sesuai dengan keinginan sendiri. Setelah dikonsumsi oleh masyarakat, pihak produsen akan mendapatkan feedback dari konsumen yang dapat dilihat dari jumlah penayangan, jumlah like/dislike, jumlah komentar positif atau negatif dan jumlah subscribernya. 

Berdasarkan penilaian dari konsumen tersebut nantinya akan menjadi sebuah pertimbangan para konten kreator untuk memproduksi konten selanjutnya. Inilah yang disebut sistem industri kebudayaan, dimana konten kreator membuat video yang sesuai dengan kebutuhan pasar dengan tujuan untuk meraup keuntungan melalui komersialisasi yang terdapat dalam media sosial khusunya YouTube.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan konten kreator YouTube yang semakin meningkat di masa pandemi merupakan sebuah bukti adanya keterkaitan industri dengan produk kebudayaan. Hal ini dikarenakan YouTube tidak hanya digunakan oleh konten kreator untuk mengekspresikan diri dan menyalurkan kreativitasnya dalam mengisi waktu luang di rumah, akan tetapi lebih dijadikan sistem komersialisasi yang menjadi ladang pendapatan bagi para kreator. Mereka memproduksi budaya seperti musik, film, komedi, vlog, tutorial, dan lain sebagainya dengan menyesuaikan kebutuhan pasar dan selera konsumen agar menjadi tenar dan memperoleh keuntungan.

Dalam memproduksi konten tersebut tentunya melalui berbagai tahapan dan penyaringan agar bisa sampai ke masyarakat dengan baik. Setelah melalui tahapan tersebut, maka konten yang dihasilkan akan mendapatkan feedback dari konsumen dan media yang kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk memproduksi kebudayaan selanjutnya. Hal seperti ini akan terus terjadi pada kehidupan masyarakat karena tidak bisa terlepas dari cengkeraman kapitalisme dengan begitu saja.

Daftar Pustaka:

Junawan, Hendra., & Nurdin Lagu. 2002. Eksistensi Media Sosial, YouTube, Instagram, dan WhatsApp di Tengah Pandemi Covid-19 di Kalangan Masyarakat Virtual Indonesia. Baitul Ulum: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, 4(1).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun