Mohon tunggu...
Ayu Vinegia
Ayu Vinegia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Makassar, ID

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Sense of Belonging dari Pandemi Corona

25 April 2021   20:23 Diperbarui: 25 April 2021   20:52 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak pandemi virus corona/ covid-19 merebak di Indonesia pada Maret 2020 lalu, aktivitas dari berbagai lapisan masyarakat mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintah langsung memberi anjuran agar masyarakat mengurangi aktivitas di luar ruangan dan mengutamakan untuk melakukan semua kegiatan hanya di dalam rumah atau dengan sebutan work from home. Ada pula istilah yang sampai sekarang sangat familiar dan terus digaungkan, yakni anjuran agar masyarakat dalam beraktivitas senantiasa taat dan menerapkan protokol kesehatan.

Protokol kesehatan dalam hal ini adalah gerakan masyarakat agar menerapkan 5M, yakni: memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilisasi dan interaksi. Protokol ini dianjurkan agar menekan laju penyebaran virus, yang memang menular melalui interaksi langsung antarmanusia.

Setahun lebih anjuran itu diterapkan, tak ada perubahan besar dalam penekanan penyebaran virus yang menggemparkan ini. Alih-alih terjadi perlambatan penyebaran, yang ada justru angka penyebaran virus semakin meningkat secara eksponensial dari hari ke hari hingga saat ini. Harapan ke depan tentu adalah program vaksinasi yang tengah digalakkan pemerintah, agar masyarakat memiliki kekebalan lebih baik untuk melawan covid-19 ini.

Setahun lebih pula, kita berada di kondisi yang serba tak pasti. Perekonomian yang menjadi salah satu alasan kita lebih longgar dalam penanganan virus juga belum kunjung pulih. Dampak lain yang juga tak kalah disoroti hingga hari ini ada di bidang pendidikan, yang menyeret anak didik, baik yang berada di tingkat sekolah maupun universitas, harus menjalani proses belajar-mengajar melalui wahana daring.

Tentu saja ada berbagai macam kendala dalam melakukannya. Dari mulai ketidakmerataan akses internet di daerah-daerah terpencil, hingga kebosanan para anak didik yang mesti belajar dari rumah. Kendala lain yang juga terasa, tentu dimiliki oleh para siswa atau mahasiswa yang sebenarnya membutuhkan pengajaran secara praktik seperti jurusan teknik, mipa, olahraga, hingga kesehatan seperti farmasi.

Di situasi serba tak pasti seperti sekarang ini, sebenarnya kita dipaksa untuk belajar banyak hal dari adanya pandemi ini. Jika melihat ke belakang, yakni di awal-awal pandemi, kita melihat ada masalah serius di negara kita perihal penyediaan alat kesehatan, dari mulai ketersediaan, hingga kualitas yang barangkali sering dipertanyakan kelayakannya. Belum lagi jumlah masker yang dulu sempat lebih sedikit ketersediaannya, memunculkan polemik-polemik di dalam masyarakat.

Bagi akademisi di bidang farmasi, ini menjadi auto-kritik sekaligus penyadaran bahwa, farmasi, memiliki peran besar dan penting dalam hal penyediaan alat kesehatan. Dalam hal ini, bisa mendorong dan memberi masukan pada pemerintah tentang kekurangan dunia kesehatan dalam hal penyediaan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan. Atau juga mendorong pengembangan alat kesehatan yang diproduksi di dalam negeri yang memiliki mutu dan kualitas yang sesuai standar agar tidak selalu impor dan membeli dari luar negeri.

Pelajaran lain yang bisa kita petik dari adanya pandemi adalah, bahwa ternyata kita bisa bertahan dari krisis semacam ini karena masyarakat memiliki tradisi untuk saling bersolidaritas dan membantu. Memang, tidak dipungkiri telah banyak korban berjatuhan akibat virus corona ini. Namun, satu harapan yang juga tak bisa disangkal selalu eksis di tengah masyarakat adalah bahwa adanya pandemi juga menguatkan kembali solidaritas dan kepedulian yang ada di dalam masyarakat.

Kita tentu mengingat, betapa kacaunya, hari-hari ketika pandemi mulai merebak di tanah air kita, Banyak pekerja harus di-PHK, tak sedikit para pedagang dan UMKM lainnya harus menutup usahanya karena rugi, dan telah banyak juga perusahaan yang banting stir, atau bahkan mengalami collapse akibat krisis yang terjadi. Meski begitu, kita tahu, sampai saat ini, kita masih bertahan menghadapi pandemi ini.

Hal ini memberi satu kesimpulan bahwa, selain muncul berbagai macam kreativitas masyarakat untuk bertahan di tengah pandemi, hal yang tak dipungkiri muncul adalah penguatan solidaritas antarmasyarakat. Ini fakta yang tak terbantahkan di lapangan. Lihatlah, lembaga-lembaga sosial hingga kelompok masyarakat tertentu dan individu saling bahu-membahu menghadapi masalah pandemi ini.

Berdasarkan beberapa uraian tersebut, saya ingin menyampaikan bahwa di tengah banyaknya kekurangan, baik dari sisi penanganan pandemi, maupun secara luas adalah fasilitas, sarana, dan prasarana pelayanan kesehatan. Namun, di balik itu, negara kita, selalu punya cara untuk bertahan, yakni melalui daya dukung sosial masyarakatnya.

Tentu, ini bukan merupakan bentuk keinginan dimaklumi dari berbagai kekurangan yang ada. Melainkan sebagai pemicu semangat bahwa betapa pun, kita optimis dapat melewati ujian pandemi ini.

Berkaca dari hal tersebut, saya dapat melihat bentuk nyata hal tersebut dari angkatan 2019 fakultas farmasi—juga dapat mengambil pelajaran dari kekurangan fasilitas kesehatan dan adanya daya dukung sosial yang membuat kita bertahan, yakni bahwa, meskipun hari-hari belakangan, perkuliahan terpaksa dilakukan secara daring yang memiliki banyak kekurangan, angkatan 2019 tak mengendurkan daya dukung sosialnya kepada sesama. Semua hal, barangkali makin berkembang ke arah digitalisasi. Namun, bukan berarti, kita kehilangan sifat-sifat manusiawi dalam diri.

Interaksi dan komunikasi yang hanya bisa dilakukan melalui pesan instan dan media sosial, jangan sampai menjadi penghalang untuk saling mendukung dan bertahan dalam menyelesaikan tanggung jawab di dalam perkuliahan.

Namun, untuk membentuk kesadaran semacam itu, tentu kita membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Barangkali, mula-mula, kita perlu mengasah perasaan saling memiliki atau lebih teoretis lagi disebut sense of belonging. Adapun definisi sense of belonging merupakan aspek sosial individu yang dapat digambarkan sebagai suatu ekspresi diri individu dalam bentuk kebersamaan, solidaritas, menjalin hubungan pertemanan, membangun keluarga, dan berpartisipasi dalam kelompok.

Artinya, sense of belonging ini merupakan bentuk ekspresi dan partisipasi dari masing-masing individu dalam sebuah kelompok. Partisipasi inilah yang kelak menimbulkan rasa nyaman dan pada akhirnya menimbulkan perasaan memiliki. Namun, perlu digarisbawahi, bahwa perasaan memiliki ini, tentu bukanlah tujuan akhir yang ingin kita capai. Melainkan hanya sebuah sarana agar daya dukung sosial antar-sesama terus ada.

Lantas, bagaimana mengasah perasaan saling memiliki? Pertama, beri penekanan pada diri bahwa, semua individu di angkatan 2019 atau pada suatu perhimpunan, melakukan perjuangannya masing-masing. Tak perlu menganggap satu lebih beruntung, satu tak mujur. Cukup tanamkan bahwa kita semua, senasib, sepenanggungan. Jangan ada pertengkaran yang berlarut hingga menjadi kebencian. Jangan pula saling menjatuhkan.

Kedua, saling memberi perhatian terhadap sesama—tentu dengan kadar sewajarnya, tidak mengganggu, juga tidak terlalu kaku. Jalin komunikasi sebaik-baiknya. Saling memberitahu tentang tugas-tugas yang ada. Lebih lanjut, saling berbagi referensi apabila mendapat tugas dan tanggung jawab, di sisi lain, terus mengedepankan jiwa kompetitif dalam diri masing-masing agar mendapat pelajaran yang maksimal.

Ketiga, terus beri dukungan apabila ada salah satu individu yang terkena masalah. Tak mesti muluk-muluk agar bisa menyelesaikan masalahnya. Cukup menjadi pendengar yang baik untuknya. Dukungan ini, tentu akan makin memupuk rasa saling memiliki antar-sesama. Masing-masing individu pada akhirnya akan merasa diakui keberadaannya di dalam angkatan.

Keempat, kita juga harus menekankan, bahwa pada akhirnya, kelak ketika lulus, kita akan sama-sama mengabdi untuk membantu meningkatkan pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat. Sudah tentu setiap individu, mengetahui berbagai kekurangan yang ada di tengah-tengah kita. Daya sosial yang hari ini kita pupuk bersama, saya yakin, kelak dapat menjadi bekal kita untuk sama-sama memperbaiki dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang ada di sekitar kita, utamanya di bidang kita, yakni farmasi.

Perlu untuk diketahui, bahwa membentuk rasa memiliki atau sense of belonging ini juga tidak bisa dilakukan secara instan. Tahapan-tahapan harus senantiasa dilakukan, dengan masing-masing individu memberi toleransi berlebih pada yang lain, dan tegas kepada diri sendiri. Bukan sebaliknya, bertoleransi pada diri sendiri, tetapi tegas kepada yang lain.

Memang, tahapannya panjang dan barangkali melelahkan. Namun, apabila tercapai, bukan tidak mungkin ke depan, kita dapat lebih baik dalam memaknai dan mencintai sebuah ikatan. Hal yang konon sulit didapatkan di hari-hari belakangan karena dianggap, manusia, semakin hari semakin terkikis dan semakin menunjukkan individualitasnya.

Hal itu juga yang tak boleh dianut oleh kita para akademisi di bidang farmasi. Barangkali, pekerjaan kita memang berada di balik layar segala macam obat dan fasilitas kesehatan lain untuk keperluan masyarakat. Meski kadang tidak secara berkala berhadapan langsung dengan manusia, pada akhirnya, hasil kerja kita akan dirasakan oleh manusia.

Oleh karena itu, dengan terlatihnya rasa memiliki atau sense of belonging sejak dini, dimulai dari angkatan di perkuliahan, maka tradisi positif ini juga dapat berlanjut hingga ketika masing-masing kita telah memasuki jenjang karir. Permasalahan-permasalahan yang ada di dunia farmasi, seperti yang di awal tulisan disebutkan, dapat sama-sama kita perbaki.

Modal ini juga berharga, ketika memasuki jenjang karir itu, kita sama-sama memiliki motivasi, komitmen, dedikasi, dan kebanggaan dalam menjalankan amanah. Tak perlu melakukan pendekatan lagi agar menumbuhkan tren positif di lingkungan kerja, sehingga kinerja-kinerja yang dilakukan, dapat melampaui kinerja di generasi sebelumnya.

Kita tahu, seperti penanganan pandemi yang masih perlu banyak pembenahan, di lingkungan kita juga masih banyak hal-hal yang perlu dilakukan perbaikan. Semakin cepat kita bisa menyelesaikan masalah yang ada di dalam diri kita maka semakin cepat pula pembenahan ini bisa kita lakukan.

Musibah pandemi, bisa dijadikan cermin agar kita, sebagai salah satu garda terdepan di bidang kesehatan, hendaknya harus siap siaga untuk kemungkinan terburuk ke depan, yakni dengan terus memaksimalkan potensi yang ada untuk pelayanan kesehatan yang lebih prima. Hal itu, tentu tidak bisa dilakukan oleh satu individu tertentu, akan tetapi, bisa terwujud dengan daya dukung sosial, sense of belonging, dan rasa kemanusiaan yang terus kita pelajari, kita yakini, dan kita jadikan bekal sebagai cara dan sarana mencapai tujuan sesungguhnya.

Maka, pada akhirnya, dari seluruh hal penting yang disebutkan di tulisan ini, seluruh tahapan, semua ajakan untuk menguatkan daya dukung sosial dan sense of belonging, hanyalah sarana agar tercipta lingkungan yang kondusif, sehingga masing-masing kita, dapat menjalankan sebaik-baik amanah sebagai manusia, yakni dengan menjadi manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun