Standar dan stereotip terhadap kecantikan harus terus diubah, sebab, Indonesia memang merupakan negara yang multikultural dan heterogen hingga memiliki ratusan suku dan etnis. Suku yang satu, tidak bisa mengklaim diri memiliki standar lebih baik dibanding yang lain.
Hal ini, juga bisa dijadikan pedoman para apoteker dalam membuat promosi, yakni dengan terus menggaungkan produk kecantikan yang dapat membuat kulit sehat, alih-alih kulit putih yang sering berseliweran di Indonesia, tapi justru mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan.
Edukasi ini juga, barangkali dapat mengatasi masalah perempuan yang merasa insecure karena tidak dianugerahi kulit yang putih, badan yang tinggi, dan langsing. Sebab, hal ini sering menjadi momok yang dapat mendegradasi kepercayaan diri perempuan ketika hendak mengekspresikan diri dan kreativitasny di luar.
Nah, pada akhirnya, kehadiran media sosial juga barangkali akan lebih kondusif. Sebab, dengan makin teredukasinya masyarakat dalam memandang kecantikan, membuat ajang 'pamer' di media sosial ini menjadi lebih reda. Terlebih, kondusifitas ini juga dapat mendorong fungsi media sosial di masyarakat Indonesia yang selama ini lebih acap digunakan sebagai semata ajang aktualisasi diri, pamer, dan hal-hal kontra-produktif lainnya, menjadi wahana yang lebih arif. Yakni dapat berfungsi sebagai wahana berjejaring, memperluas relasi, bisnis, dan kebermanfaatan informasi atau ilmu yang dimiliki, hingga sebagai wahana untuk menyebarkan pemikiran untuk kemajuan peradaban.
Dan tentu, farmasi dapat mengambil peran-peran penting di sana sebagaimana yang telah disebutkan di tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H