Mohon tunggu...
Ayu Vinegia
Ayu Vinegia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Makassar, ID

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Media Sosial, Standar Kecantikan dan Peran Farmasis

25 April 2021   16:20 Diperbarui: 25 April 2021   16:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, fakta di lapangan, sebagaimana kasus yang terjadi sebelum-sebelumnya, para selebriti tak memiliki alat, kemampuan, dan fasilitas untuk memverifikasi mana produk yang sesuai standar, mana produk yang berbahaya. Bahkan, beberapa justru kedapatan mempromosikan produk yang jelas-jelas ilegal. Seperti yang terjadi pada 2018 lalu, artis kenamaan, Nia Ramadhani dan Via Vallen terbukti pernah mempromosikan produk dari Derma Skin Care yang oleh aparat telah dikonfirmasi merupakan produk yang berbahaya karena mengandung merkuri.

Hal ini menjadi masalah yang serius. Sebab, produk yang mengandung merkuri memang terbukti dapat membuat kulit putih dalam waktu singkat. Namun, di balik hasilnya yang instan, bahan kimia ini berbahaya dan telah dilarang penggunaannya di berbagai negara.

Merkuri dapat diserap dengan mudah oleh kulit dan masuk ke dalam aliran darah. Selain itu, merkuri juga bersifat korosif, sehingga dapat membuat lapisan kulit menipis apabila terus digunakan. Bahkan, paparan merkuri yang berlebih juga dapat menyebabkan kerusakan pada sistam syaraf, saluran pencernaan, ginjal, hingga berisiko mengganggu organ tubuh lain seperti otak, jantung, paru-paru, dan sistem kekebalan tubuh.

Tentu, masih banyak efek kerusakan yang diakibatkan penggunaan merkuri. Namun, tidak hanya bahan merkuri saja yang berbahaya dalam penggunaan kosmetik. Masih ada bahan-bahan kimia lain, yang tidak bisa asal dijadikan sebagai bahan untuk membuat produk kosmetik, seperti paraben, hidrokuinon, oxybenzone, sodium lauryl sulfate, dan masih banyak lagi.

Lantas, apa yang harus dilakukan sebagai akademisi atau ahli di bidang farmasi untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang pertama, tentu saja, melalui organisasi profesi farmasi, yakni Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), para ahli perlu untuk terus mendorong pemerintah agar memiliki regulasi yang tepat  dan ketat berkaitan produk-produk kosmetik yang beredar di masyarakat, baik dari sisi pra-produksi, produksi, distribusi, hingga pemasaran dan penggunaan.

Memang, pemerintah melalui undang-undang seperti dalam Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2019  dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), telah membentuk regulasi mengenai pelarangan bahan-bahan berbahaya seperti merkuri. Namun, produk yang mengandung bahan berbahaya itu masih terus beredar. Hal itu terjadi akibat dari peredaran bahan merkuri itu sendiri yang masih sangat banyak di masyarakat. Terlebih, masyarakat juga masih abai terhadap produk-produk kosmetik yang dijual, apakah aman atau tidak untuk kesehatan mereka.

Dalam kasus ini, tentu IAI dapat terus memberi masukan melalui berbagai temuan kasus yang terjadi, misalnya dengan memberi aturan khusus bagi pihak-pihak yang menjual, membeli, dan menggunakan bahan merkuri, yang jika dilanggar mendapat konsekuensi yang membuat para pelaku jera. Artinya, pemerintah juga harus aktif meminta saran dan masukan kepada para ahli, ketika terjadi kasus-kasus yang berkaitan dengan produk kecantikan yang beredar.

Kemudian, hal selanjutnya dapat dilakukan oleh farmasi adalah dengan mengambil peran sebagai pengawal kualitas dan keamanan kosmetik yang beredar, mulai dari bahan baku, proses produksi, hingga penggunaannya di masyarakat. Perusahaan yang memproduksi kosmetik, diberi aturan khusus agar paling tidak memperkerjakan beberapa ahli farmasi di lini-lini yang tersedia, misalnya di bidang riset, penyusunan bahan baku, uji laboratorium, hingga proses produksi kosmetik, dan bagaimana bentuk promosi yang tepat.

Hal ini juga mendorong perluasan tenaga kerja berkaitan profesi farmasi di perusahaan-perusahaan yang memproduksi kosmetik. Ini bisa menjadi win-win solution atau semua pihak mendapat keuntungannya: perusahaan dapat membuat produk yang berkualitas, lulusan farmasi terjaring di lapangan pekerjaan yang tepat, dan masyarakat mendapat produk yang aman bagi kesehatan.

Peran selanjutnya, yang bisa dilakukan oleh farmasis dan apoteker adalah dengan terus mengampanyekan edukasi perihal kesehatan dalam penggunaan produk kecantikan melalui media sosial. Para apoteker dapat ikut andil menggunakan ilmunya untuk membuat konten-konten berkualitas di media sosial. Peran ini juga sangat penting, mengingat, sebagian besar generasi milenial telah mengubah persepsi dan gaya hidupnya berdasarkan platform yang ia ikuti di media sosial. Selain itu, hal ini juga dapat menjadi kontra-narasi melawan artis atau seleb yang kecolongan mempromosikan produk yang berbahaya dan ilegal.

Yang terpenting dari edukasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat dan ini dapat dilakukan oleh siapa saja adalah, dengan terus memberi edukasi perihal kesalahan dalam memberi makna kecantikan yang distereotipkan di dalam masyarakat, yang harus putih, langsing, dan tinggi itu. Bahwa orang berkulit hitam itu juga bisa cantik, orang yang pendek, atau gemuk juga cantik, serta orang berambut keriting dan tak berhidung mancung tetap bisa menjadi cantik, perlu untuk terus digaungkan agar masyarakat juga tidak terpaku pada penampilan fisik semata. Akan tetapi, juga melihat seseorang dari sifat, karakter, skill, hingga kecerdasan-kecerdasan lain yang sering tidak menjadi patokan utama dalam memandang sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun