Mohon tunggu...
Ayu Thalia
Ayu Thalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sosiologi

🌻 Belajar, berkarya, berdakwah, dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mewujudkan Indonesia Tanpa Korupsi Melalui Sosiologi Hukum

6 Juni 2022   10:42 Diperbarui: 6 Juni 2022   11:04 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAGIAN 1

PENDAHULUAN

Pancasila adalah dasar negara bagi bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai serta pedoman hidup bagi rakyatnya. Dalam perkembangan zaman hingga saat ini, keberadaan pancasila nyatanya seringkali dilupakan atau bahkan terdapat pihak-pihak tak bertanggung jawab yang berusaha memaknai pancasila secara tunggal untuk kepentingan pribadi. Keberagaman yang ada di Indonesia juga membuat implementasi nilai-nilai Pancasila sulit dikembangkan. 

Sehingga muncul beberapa penyimpangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Runtuhnya pemerintahan orde baru yang dianggap sebagai akar dari adanya korupsi di Indonesia pada nyatanya tidak memberikan dampak pada bebasnya Indonesia dari tindak pidana korupsi. Lahirnya era reformasi juga pada akhirnya belum menunjukan adanya kemajuan dalam menuntaskan tindak pidana korupsi. 

Menurut Indonesia Curruption Watch setidaknya tercatat169 kasus korupsi selama semester I tahun 2020 (Mustopa, Wahyu, & Fu'adah, 2021). Hal ini menunjukan bahwa Indonesia masih bersikap tidak tegas dalam memperlakukan para koruptor. Terlihat pada kasus korupsi yang menjerat Setya Novanto dan Nazzarudin yang justru diberikan fasilitas sel mewah. 

Pada pemilu tahun 2019 juga tercatat bahwa terdapat 46 calon anggota legislatif yang merupakan mantan narapidana korupsi.
Lemahnya implementasi hukum dan nilai-nilai Pancasila dalam hal ini menjadikan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang merajalela dari tingkat desa hingga negara. 

Penegak hukum di Indonesia seharusnya bisa menjadi ujung tombak dalam menanggulangi setiap penyimpangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Terutama pada tindak pidana korupsi yang mengakibatkan ketidakadilan dimasyarakat. 

Sehingga diperlukan upaya melalui sosiologi hukum bagi negara hukum di Indonesia yang berpedoman pada Pancasila. Pendidikan moral berdasarkan Pancasila juga dibutuhkan sebagai upaya mewujudkan generasi anti korupsi di Indonesia. Pendidikan moral juga sebagai upaya pembentukan jati diri dan identitas bangsa yang berpedoman pada Pancasila.

BAGIAN II
PEMBAHASAN

Sebagai negara hukum, Indonesia masih mencantumkan hukuman mati bagi tindak kriminalitas tertentu, khususnya pada tindak pidana korupsi. 

Hukuman mati tentunya juga menjadi suatu fenomena yang banyak menuai kontraversi. Namun, secara sosiologis adanya kontraversi atau pun perdebatan terkait hukuman mati bagi tindak pidana korupsi merupakan suatu hal yang biasa karena, konflik akan selalu timbul sepanjang manusia hidup. 

Kontraversi terhadap hukuman mati kepada tindak pidana korupsi juga merupakan bagian dari respon masyarakat terhadap UU Tindak Pidana Korupsi. Jika dilihat dari pandangan sosiologi maka produk hukum adalah suatu hal yang mengikat sehingga menuai kontraversi sebagai bagian dari respon masyarakat terhadap hukum yang dibuat. 

Maka pandangan ini disebut interaksionisme simbolik. Berdasarkan perspektif struktural fungsional adanya fenomena tindak pidana korupsi yang meningkat disebabkan oleh kurang berfungsinya hukum dalam menciptakan kepatuhan dan ketertiban dimasyarakat.

Kasus korupsi yang menjerat aparat hukum juga terjadi pada Akil Mochtar dan pada kasus Jaksa Pinangki untuk meloloskan Djoko Tjandra dari vonis hukuman 2 tahun penjara (Mustopa, Wahyu, & Fu'adah, 2021). 

Berdasarkan konsep sosialisasi tidak sempurna dalam kajian hukum sosiologi, maka hukum adalah sumber dan media sosialisasi yang tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik karena, terdapat disfungsi status dan peran dari pada aparat hukum itu sendiri. 

Berdasarkan konsep determinasi startifikasi, maka kedua kasus tersebut cenderung melibatkan seseorang yang berada di lapisan sosial atas sehingga mereka bisa mendapatkan aksebilitas yang tidak di miliki oleh masyarakat kelas bawah. 

Upaya Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi tentunya sudah dilakukan dengan adanya lembaga independen, seperti KPK, namun hal itu tidaklah cukup. Tampaknya pemberian label atau pun sanksi sosial pada para koruptor dan keturunannya harus dilakukan dengan lebih ekstrim serta adanya pencabutan hak-hak politik.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sudah tercantum di dalam sila ke-5 Pancasila dan UU 1945 pasal 28D ayat 1 yang berbunyi "bahwa setiap orang berhak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Dalam realita hukum di Indonesia masih terdapat banyak ketimpangan, seperti kedua aparat yang terjerat kasus korupsi dan ia justru mendapatkan fasilitas sel yang mewah. 

Sedangkan, di lapas lain terdapat banyak narapidana yang harus berdesakan karena, overcapacity. Fenomena ini sesuai dengan teori Karl Marx mengenai kelas, bahwa hidup adalah soal kelas dan selamanya akan terkotak-kotak antara masyarakat kelas atas dan masyarakat yang dikuasai atau kelas bawah. Hukum Marxis berpandangan bahwa hukum adalah media penindasan bagi kaum yang lemah, sedangkan mereka yang kuat akan mendapatkan keuntungan dengan perlindungan hukum (Mustopa, Wahyu, & Fu'adah, 2021). 

Berdasarkan pendapat dari John Rawls melalui teori justice as fairness bahwa semua manusia berhak mendapatkan akses keadilan yang sama  tanpa melihat latar belakang sosial ekonomi, selama latar belakang sosial ekonomi tersebut tidak merugikan pihak lain. 

Maka dari itu, kasus korupsi yang menjerat aparat hukum tidak sesuai dengan prinsip keadilan John Rawls karena, mereka mendapat hak istimewa yang tidak di dapat orang lain. Berdasarkan perlakuan istimewa tersebut maka kasus ini bisa saja terulang kembali karena, kurangnya efek jera dari sanksi hukum itu sendiri.

Indonesia merupakan negara hukum yang berkembang di tengah pesatnya keanekaragaman. Sehingga hukum yang berlaku harus memperhatikan seluruh masyarakat agar tercapai hukum yang harmonis dan sesuai dengan cita-cita Pancasila. 

Namun pada faktanya, nilai-nilai Pancasila sulit ditemukan di dalam hukum. Sehingga harus ditanamkan pemahaman mendasar mengenai harmonisasi sosial masyarakat dan hukum di Indonesia. 

Untuk memahami hal ini maka perlu dimulai dari tingkat desa, karena desa memiliki tingkat sosiologis hukum yang lebih menonjol. Di dalamnya terdapat perpaduan antara hukum adat dan hukum agama. Sehingga dalam hal ini, sosiologi juga erat berkaitan dengan hukum yang mana implementasinya belum melibatkan nilai-nilai Pancasila secara utuh. 

Hukum tidak hanya dipandang dari segi normatif, namun juga harus memperhatikan segi sosiologis yang mana tingkah laku masyarakat adalah sumber utamanya  (Pujiati & Muhsin, 2020). Sosiologi hukum memberikan tempat pada kajian hukum yang di dalamnya juga memahami konteks keanekaragaman di Indonesia, seperti kultur masyarakatnya, ras, budaya, agama, hingga adat istiadat. Sehingga ilmu ini juga perlu dipelihara agar keberhasilan terkait dengan kaidah hukum maupun sosial dapat tercapai. 

Peraturan hukum yang ada di Indonesia tentunya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, karena keberadaan Pancasila diharapkan dapat menjadi pedoman dalam menangani permasalahan maupun dalam pengambilan kebijakan.

Kurangnya akses pendidikan di beberapa pelosok desa seringkali menjadi permasalahan terutama bagi perkembangan ilmu itu sendiri yang tidak merata di setiap kalangan.  

Masyarakat Indonesia membutuhkan pendidikan yang mampu membangun karakter baik masyarakatnya. Sehingga dalam hal ini, sosiologi berupaya untuk memberikan kontribusinya melalui sistem pendidikan yang telah ada agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai Pancasila. Kontribusi yang dilakukan bisa melalui pengabdian masyarakat secara langsung, pembentukan komunitas, pengumpulan donasi, dll. 

Maka dengan hal itu, akan tumbuh sebuah karakter baik masyarakat yang sesuai dengan Pancasila melalui pendidikan. Dengan pendidikan yang ada maka diharapkan agar setiap pembelajaran mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pendidikan kewarganegaraan yang berkaitan dengan Pancasila dan nantinya akan menjadi identitas bangsa. 

Hal ini juga sebagai bekal bagi generasi muda agar fenomena korupsi yang ada saat ini bisa berkurang dan tak lagi merajalela dimasa mendatang. Oleh karena itu, diperlukan pembekalan dan persiapan bagi generasi muda untuk mengakarkan pedoman hidup bernegaranya pada Pancasila.

BAGIAN III
PENUTUP

Berdasarkan fenomena korupsi yang ada di Indonesia, maka sosiologi hukum merupakan sebuah cabang ilmu yang penting terutama dalam mengkaji kasus-kasus hukum di Indonesia. Dalam prosesnya tentu setiap aturan hukum harus berpedoman dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. 

Sosiologi hukum juga telah membuktikan hal tersebut, seperti memberikan tempat pada kajian hukum yang di dalamnya juga memahami konteks keanekaragaman di Indonesia, seperti kultur masyarakatnya, ras, budaya, agama, hingga adat istiadat. Bukan hanya itu, namun sosiologi hukum juga dapat mengaitkan beberapa fenomena yang ada sesuai dengan teori yang dimilikinya. 

Pengoptimalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tentunya juga perlu dilakukan sebagai bentuk pencapaian cita-cita, ide, dan keinginan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang memperhatikan aspek Pancasila. Sehingga dalam hal ini perlu dilakukan upaya secara maksimal untuk dapat mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Agar tercapai cita-cita leluhur bangsa. 

Sosiologi juga sangat diperlukan dalam hal ini untuk mengkaji atau pun menganalisis mengenai tata hukum yang berlaku di Indonesia agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. 

Sehingga sosiologi hukum yang menjadi bingkai bagi masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai Pancasila akan memperkuat negara hukum Indonesia. Bukan hanya itu, namun adanya peran pendidikan juga merupakan hal penting yang harus diutamakan. Bagaimana pun, generasi selanjutnya akan meneruskan cita-cita bangsa. 

Sehingga melalui pendidikan yang mumpuni dan berkualitas akan menghasilkan bibit-bibit yang paham dan tahu akan identitas dirinya. Maka implementasi hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila akan dapat terwujud atau setidaknya berkembang ke arah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA


Pujiati, S., & Muhsin, I. (2020). Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Memperkuat Negara Hukum Indonesia Perspektif Sosiologis. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 5, No. 2, Hal 13-22.

Ananto, P. (2018). Implementasi Pembelajaran Pendidikan Pancasila Pada Kurikulum 2013 Melalu Pendekatani Pendidikan Kecakapan Hidup. Jurnal Ilmiah Jurusan Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif, Vol. 6, No. 2, Hal. 23-36.

Mustopa, Z., Wahyu, R., & Fu'adah, A. T. (2021). Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jurnal Ilmu Hukum, Vol.5, No.2, hal 227-234.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun