Ia telah berbicara pada para tetua keluarga. Ia telah menata ruangan dengan sempurna. Membersihkan puntung-puntung rokok, melipat sleepingbag -lebih dari satu- bekas anak buahnya yang tak bertanggungjawab. Senin, hari aktif kuliah, membuat sekretariat terlalu sepi dan janggal. Bahkan untuk kejadian sepenting ini.
Ia meramalkan hal ini. Ia akan lebih terkejut apabila semua anggota keluarganya berkumpul. Sebelum hari ini datang dia telah mempersiapkan segala hal. Perundingan, menelaah setiap cerita asal mula, perijinan, administrasi, dan …kerelaan. Karena kerelaan adalah suatu hal yang berat. Ia tahu keluarganya yang lain tak akan datang untuk melepas bendera besar.
“Selamat datang.” Ia mengucapkan salam pada tamunya. Seperti dia, tamu yang datang sendiri ini memiliki perawakan serupa. Rambut panjang, jaket parasit lusuh, dan perawakan wajah tak terurus. Tangan kekar dengan banyak bekas luka serta jabat tangan bertelapak kasar. Dia adalah penjaga yang lebih berhak. Dia adalah pemilik asli kain merah putih.
“Diambil sekarang?” Gilang bertanya demi kesopanan. Menyembunyikan keengganan teramat yang tak akan bisa dideteksi kalau bukan orang yang telah mengenalnya bagai bayangan sendiri. Ia membimbingnya menuju gudang tempat bendera itu bersemayam. Mengingat kembali tiap momen kebanggaan pertunjukan bendera raksasa mereka.
Ujung jalan, di depan pintu kayu tua besar. Meski hanya dua kali dalam setahun bendera itu keluar, kekeramatannya melampaui keris keraton. Memasukkan perlahan kunci ke dalam lubangnya. Ia merekam tiap momen itu dalam kecepatan super slow motion, menguncinya sebagai kenangan yang terpatri.
Pintu terbuka dengan percikan debu mungil beterbangan. Ia membimbing tamunya membuka kotak almari dalam gudang. Bau kapur barus yang mencegah jamur pembusukan merebak keluar dari dalam kotak. Gilang menyentuh halus kain bendera itu, perlahan mengangkatnya dari kotak, dengan tiap kilasan seluruh kejadian jerih payah untuk mendapatkannya. Bendera merah putih raksasa.
“Terima kasih telah meminjami kami. Maaf sekian lama harus mengembalikanya.” Dan keduanya kembali berjabat tangan. Tamu itu pergi membelakanginya bersama merah-putih raksasa.
Gilang harus mengambil keputusan. Bendera yang dulu terbakar bersama sekretariat harus diganti demi nama baik organisasi, demi nama keluarga. Bahkan setelah empat tahun membangun dan mendapatkan sedikit-demi-sedikit pengganti, bendera berukuran dua ratus meter persegi ini adalah bukti perjuangan. Bahkan ia adalah saksi bisu sendiri melebihi usia Gilang berada di keluarga ini.
Dalam sisi lain tembok gudang, Gilang merasakan kembali kehadiran gadis kecil itu, Ella. Ia melihat bayangannya tertunduk, bersandar pada dinding. Gilang mendekatinya, mendengarkan sesenggukan kerapuhan gadis ini ternyata lebih merobek hati.
“Maaf… kamu harus tahu. Itu hanya sebuah kain. Kita akan mendapatkannya lagi, melalui perjuangan lagi. Dan kamu juga harus paham… kita tidak-akan-pernah-sekalipun melupakan pengorbanan semua yang pernah mengibarkannya.” Gilang memberanikan diri untuk menyeka bulir air mata yang terjatuh di pipi Ella.