“Yuk bikin film indie…tentang bendera kita? Daripada diam, tak bergerak, tersembunyi, berjamur di dalam gudang…”
“…”, Dia tak menjawab. Langkah kakinya dipercepat dengan segala aksesoris ketenangan dan kedataran ekspresi wajah poker.
“Daripada dia terlupakan… sebelum tak ada yang tahu bahwa kita pernah punya…” gadis kecil itu terus bergerak berusaha menyamai langkah kaki laki-laki di sampingnya.
“…”
“…sebelum kita menyerahkannya!”,
Nadanya meninggi. Barangkali ia hampir berlari menyamai langkah kaki si laki-laki. Ia terpaksa menjambret kerah belakang hem flannel coklatnya. Memaksanya berhenti.
“…”
Kediaman reaksi laki-laki ini telah memaksanya menembus level pembicaraan yang paling dihindari. Topik yang masih melukai dan masih diperdebatkan. Tapi rupanya gadis kecil ini bukan tipikal orang Jawa yang suka berbelit-belit.
Kali ini, meskipun berhenti dari langkah-langkah kakinya yang panjang, ia masih terdiam. Seperti tercekik, dia berusaha mengeluarkan kata-kata pekat, tak mengenakkan, tapi tetap tak mau keluar. Seolah dia akan mati tertelan kata-katanya sendiri.
Dalam hati dia sama sekali tak setuju dengan kata perempuan kecil ini. Yang terus-menerus memuntahkan kalimat tanpa saringan. Bagaimana mungkin gadis dengan tubuh sekecil ini punya nyali yang terlampau besar. Semua orang tahu ia tak akan pernah rela menyerahkan benda keramat itu.
“Kalau laki-laki sudah kupukul, kucaci-maki, kubunuh, dan kukubur kamu.”