Permasalahan yang saya hadapi adalah saya penasaran, mengapa tanggal sidang perkara pelanggaran lalu lintas tidak bisa diajukan lebih cepat? Mengapa semuanya serentak tanggal 31 Juli atau minimal setelah hari raya? Mungkin ada rekan kompasiana yang dapat memecahkan misteri ini.
Begini cerita selengkapnya. Hari ini (6 Juli 2015) saya melaksanakan ritual mudik, perjalanan dari Kota Malang menuju Kabupaten Tulungagung yang jaraknya bila ditempuh dengan kecepatan sepeda motor stabil 60 km/jam tidak sampai tiga jam. Di tengah perjalanan, tepatnya di Kota Blitar perbatasan, saya dihentikan oleh sekelompok polisi lalu lintas. Tidak sendirian, kami dhentikan ramai-ramai. Lalu bapak polisi lalu lintas Kota Blitar itu memberikan kode menepi dan mengingatkan bahwa lampu sepeda motor saya tidak menyala. STNK dan sim saya diambil.
Astaghfirullah, saya teledor tidak menyalakan kembali lampu kendaraan setelah saya matikan saat beristirahat di Waduk Lahor Karangkates. Sungguh mulia dan baiknya bapak polisi ini, bayangkan apa yang akan menimpa saya bila lampu motor saya terus tidak menyala hingga sampai di Tulungagung. Jujur... saya nggak tau, apa fungsinya lampu dinyalakan di siang bolong. Tapi aturan adalah aturan. Mematuhinya adalah keharusan. Hehe :-D
Seperti yang diduga, kena tilang lah saya. Bersama puluhan orang baik yang berada di depan maupun belakang saya. Tanpa basa-basi Bapak Polisi mendata kami satu persatu, tidak dicatat, hanya dipanggil. Lalu diberitahukan pilih bayar Rp 50.000,00 atau sidang tanggal 31 Juli 2015.
Sebagai orang yang waras dan penuh perhitungan, semua orang membayar. Bayangkan kerepotan antri sidang tilang, apalagi sidang tidak bisa dimajukan sebelum hari raya. Sedangkan saat hari raya, kendaraan pasti sangat dibutuhkan untuk mengunjungi sanak saudara.
Tapi, alhamdulillah, Tuhan memberi saya anugrah banyak waktu luang dan rasa penasaran yang nggak banyak gunanya. Saya memilih sidang. Ini bakalan jadi kali pertama bagi saya merasakan sidang tilang.
Apakah saat itu saya tidak membawa uang lima puluh ribu? Pasti adalah. Tapi, saya sedang merasa baik hati dan tidak ingin menjerumuskan bapak-bapak ini kedalam hal buruk yang lebih dalam.
Sambil menunggu giliran nama saya untuk dipanggil, saya celingukan sendirian. Sedikit berharap bakalan ada polwan cantik seperti dalam serial 86, ajang pencitraan kepolisian :), yang mengingatkan saya pada banyak hal mengenai keselamatan berkendara. Tak ada. Yang ada hanyalah bapak-bapak polisi berbadan tegap, berkeringat, yang terburu-buru 'mengkoordinasikan' kami, "Yang bayar lima puluh ribu silahkan ke belakang".
Akhirnya nama saya dipanggil. Pilihan saya nggak berubah. Tapi sebagai orang yang tidak berdomisili di Blitar, saya tidak tau letak resort Blitar. Saya tanya bapaknya (dalam nota dituliskan nama penyidik tersebut V*ndh* dengan pangkat BRIG), dimana letak resort tersebut. "Pokoknya nanti kamu masuk Kota Blitar, sudah cari-cari saja di situ pasti ketemu", jawabnya terburu-buru. Mungkin karena antrian baru mulai mengular.
Saya tanya lagi, "Nggak bisa dimajukan pak tanggal sidangnya?" "kenapa harus tanggal segitu?". Rupanya saya kebanyakan nanya. Bapak itu mengisyaratkan saya segera pergi tanpa jawaban jelas.
Saya terngiang peringatan teman-teman sebelum saya berangkat. Jangan sampai kena tilang polisi di bulan puasa. Bakalan repot, karena polisi hanya akan memberi dua pilihan: (1) sidang setelah hari raya (2) "bayar!". Tentu saja, peristiwa ini menciptakan prasangka buruk. Bulan puasa pastilah menjadi bulan panen bagi yang katanya oknum.