UUD 1945 sebagai supremasi tertinggi bangsa Indonesia merupakan rujukan untuk seluruh peraturan yang ada dibawahnya, yang berarti seluruh peraturan perundangan dibawah UUD 1945 tersebut tak boleh bertentangan dengan UUD 1945, dan ini menjadi salah satu tugas Mahkamah Konstusi Republik Indonesia. Seperti tertuang dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjabarkan sejumlah wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
3. Memutuskan pembubaran partai politik; dan
4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dalam Pasal 7B UUD 1945, fungsi Mahkamah Konstitusi juga bertugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Berarti Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Putusan MKRI terhadap pengujian UU terhadap UUD 1945 bersifat final, oleh karenanya diperlukan kredibilitas yang baik bagi para hakim MK.
Pengangkatan hakim MK tak boleh sembarangan, selain harus memiliki kualifikasi khusus seperti yang tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan ketiga Atas Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Juga terdapat syarat umum agar dapat diangkat menjadi hakim MK berdasarkan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 yaitu:
Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Kemudian, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, tiga lembaga negara yakni DPR, Presiden, dan MA mengajukan hakim konstitusi masing-masing tiga orang.