Mohon tunggu...
Ayu SittaDamayanti
Ayu SittaDamayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Ingin jadi manusia baik

_Berbagi Memori dalam Tulisan _

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutemukan Cermin Untukmu

11 Februari 2023   16:00 Diperbarui: 11 Februari 2023   16:24 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Braaakk... Tubuhnya terpelanting membentur meja tamu yang terbuat dari kayu jati. Pandangannya mulai kabur, tampak ukiran burung rajawali di kursi tamu yang terpampang di depannya, seolah sedang mengejeknya. "Akulah, yang perkasa, berhak menyiksa yang kecil dan lemah macam kau burung pipit." 

Ia hanya mampu memejamkan matanya berharap sosok lelaki kekar dan tinggi yang dahulu sangat dicintainya, kini telah berubah menjadi monster tanpa rasa belas kasihan itu segera berlalu dan meninggalkannya sendirian menikmati rasa sakit di sekujur tubuh dan hatinya. Seperti biasa, wanita itu mengira akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri macam peri gingseng ribuan tahun.  

Laras namanya, ia menikah dengan Probo semenjak 3 tahun lalu. Mereka berkenalan di sebuah pabrik garmen tempat mereka bekerja dahulu. Setelah menikah, Laras berhenti bekerja. Petaka mulai terjadi ketika 2 tahun yang lalu, Probo terkena PHK, ia jadi sering uring-uringan. 

Ditambah kebiasaan barunya berkumpul di dalam lingkungan pertemanan tak sehat, ia jadi hobi mabuk minum-minuman keras. Dalam pengaruh miras itu ia sering marah - marah tak jelas dan melampiaskan segala amarahnya pada Laras. 

Ajaibnya, ketika pengaruh alkohol menghilang, ia akan bersujud menangis memohon ampun. "Maafkan aku Laras, aku pantas mati" Teriaknya sembari menampar kedua pipinya sendiri. " Tapi Laras, ini karena miras berengsek itu yg membuatku gelap mata. "  Ahh, alasan klise bagi lelaki kejam macam dia. Tapi nyatanya cinta terkadang memang buta, berkali-kali hal yang sama selalu terulang dan berkali-kali pula ia berhasil menerima lalu memaafkan suaminya.

***
Ia masih terbaring dilantai, matanya terpejam, air mata kali ini tak tumpah, bibirnya pun sudah lelah berteriak kesakitan. Hanya telinganya yg masih mampu mendengar umpatan " Dasar wanita tak berguna, sudah tahu kondisi ekonomi kita sedang tidak bagus, pakai hamil segala. Kau pikir, aku akan senang, aku tidak mau tahu, akan kucarikan obat penggugur kandungan, dan kau harus meminumnya. " 

Terdengar suara pintu dibanting keras.  Laras membuka matanya, dengan sisa - sisa kekuatan menahan nyeri, ia melangkah tertatih masuk kedalam kamar. Ia duduk di depan meja rias tua warisan ibunya. Dipandanginya wajahnya dalam cermin, lebam di pipi, biru di kelopak mata, mata yg merah, dan darah segar mengalir dari sudut bibirnya, rambutnya yang dulu indah terawat kini kusut tercabik-cabik penderitaan.

 "Salahmu, memilihnya sebagai suamimu." Sosok didalam cermin itu mulai menyeringai kearahnya. "Sebagai perempuan kau harus mandiri, bukan tidak berguna sepertimu, lihatlah dirimu yang berdaster kumal, memakai bedak murahan" Sosok itu semakin menjadi-jadi menertawakannya.


Air matanya mulai meleleh, pantulan dirinya dalam cermin dalam sorotan lampu remang - remang tampak memilukan.

Ia ingin berteriak namun suaranya menghilang, berganti dengan suara tangisan menyeramkan yang mengalahkan lolongan anjing di tengah malam Jumat kliwon.

"Untuk apa kau menangis, perempuan sial. Kau bahkan tak bisa menjaga dirimu sendiri, apa yang kau tangisi? " Matanya menerawang, ia mulai membuka matanya lebar - lebar dan menatap tajam pada bayangan dalam cermin. " Kau hanya burung pipit sawah kecil yang tak berdaya, terimalah nasibmu dan bergabunglah denganku tenggelam dalam cermin tua ini. "

 Praaang.. Laras melempar cermin itu dengan botol parfum murahan, kemudian ia pun tertawa terbahak-bahak " Tidaaak.. Aku tak mau menjadi sepertimu" Tawanya menggema di dalam kamar sempit itu. "Akhirnya kau menghilang, bayangan sialan, aku memang burung pipit sawah. Namun, kau lupa dibalik sosokku yg kecil, tersimpan kekuatan dan kepintaran untuk memilih biji padi terbaik untuk kumakan."

 Kesabarannya kali ini telah pecah, hancur seperti cermin itu. Ia bergegas melangkah keluar rumah, dengan  kekuatan yang tersisa menahan amarah, kalahlah rasa sakit tubuhnya. 

Tetangga kontrakannya, memandang kearahnya. Ia tak mampu lagi menerjemahkan arti berbagai pandangan itu, entah rasa iba, menyalahkan atau menertawakannya ia tak tahu lagi. Ia berlari sekuat tenaga, menyeret tubuhnya diantara lampu jalanan menuju jalan besar.

Hanya satu tujuan di kepalanya, ingin menemukan cermin untuk monster berkedok suaminya itu, supaya bisa baginya melihat betapa kejamnya ia kini.


Dengan nafas yang mulai sesak, akhirnya ia telah tiba didepan cermin yg ia cari. Tempat itu bertuliskan ' Kantor polisi '. Seketika energinya terasa terisi penuh kembali, ia berlari menerobos masuk kantor polisi, namun hanya sesaat ia merasa kuat, hingga tiba - tiba ia merasakan rasa nyeri hebat di perutnya, rupanya darah segar tengah mengalir deras membasahi kedua kakinya. Pandangannya memutih, tubuhnya ambruk dan samar - samar terdengar suara dari telinganya " Ibu, anda baik - baik saja? ". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun