"Untuk apa kau menangis, perempuan sial. Kau bahkan tak bisa menjaga dirimu sendiri, apa yang kau tangisi? " Matanya menerawang, ia mulai membuka matanya lebar - lebar dan menatap tajam pada bayangan dalam cermin. " Kau hanya burung pipit sawah kecil yang tak berdaya, terimalah nasibmu dan bergabunglah denganku tenggelam dalam cermin tua ini. "
 Praaang.. Laras melempar cermin itu dengan botol parfum murahan, kemudian ia pun tertawa terbahak-bahak " Tidaaak.. Aku tak mau menjadi sepertimu" Tawanya menggema di dalam kamar sempit itu. "Akhirnya kau menghilang, bayangan sialan, aku memang burung pipit sawah. Namun, kau lupa dibalik sosokku yg kecil, tersimpan kekuatan dan kepintaran untuk memilih biji padi terbaik untuk kumakan."
 Kesabarannya kali ini telah pecah, hancur seperti cermin itu. Ia bergegas melangkah keluar rumah, dengan  kekuatan yang tersisa menahan amarah, kalahlah rasa sakit tubuhnya.Â
Tetangga kontrakannya, memandang kearahnya. Ia tak mampu lagi menerjemahkan arti berbagai pandangan itu, entah rasa iba, menyalahkan atau menertawakannya ia tak tahu lagi. Ia berlari sekuat tenaga, menyeret tubuhnya diantara lampu jalanan menuju jalan besar.
Hanya satu tujuan di kepalanya, ingin menemukan cermin untuk monster berkedok suaminya itu, supaya bisa baginya melihat betapa kejamnya ia kini.
Dengan nafas yang mulai sesak, akhirnya ia telah tiba didepan cermin yg ia cari. Tempat itu bertuliskan ' Kantor polisi '. Seketika energinya terasa terisi penuh kembali, ia berlari menerobos masuk kantor polisi, namun hanya sesaat ia merasa kuat, hingga tiba - tiba ia merasakan rasa nyeri hebat di perutnya, rupanya darah segar tengah mengalir deras membasahi kedua kakinya. Pandangannya memutih, tubuhnya ambruk dan samar - samar terdengar suara dari telinganya " Ibu, anda baik - baik saja? ".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H